Dua Remaja Iran Divonis Hukuman Gantung
Pengadilan Iran kembali menjatuhkan hukuman mati pada tahanan yang ditangkap saat aksi protes. Kali ini, ada dua remaja 18 dan 19 tahun yang akan dihukum mati. Masih ada 100 tahanan yang juga berisiko dihukum mati.
TEHERAN, SELASA — Dua remaja di Iran divonis, dan salah satunya telah dieksekusi, dengan hukuman mati terkait keterlibatan keduanya dalam unjuk rasa yang terus melanda di negara itu sebagai protes atas kematian perempuan muda, September 2022. Mehdi Mohammadi Fard (18), salah satu dari keduanya, dijatuhi hukuman ganda, berupa hukuman penjara dan hukuman mati, oleh Pengadilan Revolusi Wilayah Sari, Iran.
Ia divonis hukuman gantung atas dasar dakwaan ”korupsi dan mengobarkan perang melawan Tuhan”.
Selain dihukum gantung, Fard juga dijatuhi hukuman penjara setelah juga dinyatakan bersalah atas sejumlah pelanggaran ringan. Fard ditangkap oleh aparat kepolisian di Nawshahr, Provinsi Mazandaran, pada 30 September 2022, setelah dituduh membakar kios polisi lalu lintas, sembilan hari sebelumnya.
Namun, aktivis hak asasi manusia dan pakar hukum Iran, Moin Khazaeli, kepada harian The Mirror, Senin (2/1/2023), mengatakan, satu-satunya bukti yang memberatkan Fard hanyalah pengakuannya yang diperoleh secara paksa setelah ia disiksa selama berjam-jam. Selama menjalani peradilan, ia juga tidak diberi akses pengacara.
Baca juga : Gelombang Protes di Iran Meluas, Pasukan Garda Revolusi Bergerak
Selain Fard, menurut situs berita peradilan, Mizan Online, pengadilan Iran juga sudah menghukum mati remaja lain yang bernama Mohammad Boroghani (19), Desember lalu. Dakwaannya pun sama. Boroghani dituding ”mengobarkan permusuhan terhadap Tuhan”.
Ia dituduh melukai aparat kepolisian dengan pisau dengan maksud membunuh dan menebar teror di masyarakat serta membakar kantor gubernur di Pakdasht, kota yang berjarak sekitar 43 kilometer dari Teheran. Laporan Mizan Online ini muncul setelah sejumlah laporan mengindikasikan bahwa eksekusinya sudah dibatalkan.
”Aksi protes yang sudah berlangsung 109 hari belum mampu dikendalikan sehingga butuh intimidasi dan eksekusi,” kata Mahmood Amiry-Moghaddam, Direktur Kelompok Hak Asasi Manusia Iran (IHR).
Sebelum vonis dijatuhkan pada kedua remaja itu, sudah ada dua laki-laki berusia 23 tahun yang dieksekusi mati juga karena terlibat dalam aksi protes yang sama. Keduanya adalah Majidreza Rahnavard dan Mohsen Shekari. Rahnavard digantung di depan umum pada 12 Desember 2022, sedangkan Shekari dihukum gantung empat hari sebelumnya.
Rahnavard dinyatakan bersalah atas tuduhan membunuh dua aparat keamanan dengan pisau. Sementara Shekari divonis bersalah karena melukai seorang aparat keamanan.
Sampai sejauh ini pengadilan Iran sudah menjatuhkan 11 hukuman mati sehubungan dengan aksi protes yang dipicu oleh kematian Mahsa Amini.
Sejauh ini pengadilan Iran sudah menjatuhkan 11 hukuman mati sehubungan dengan aksi protes yang dipicu oleh kematian Mahsa Amini.
Perempuan yang berasal dari Saqqez di Provinsi Kurdistan itu dipaksa masuk mobil patroli polisi moral ketika sedang berjalan-jalan dengan keluarganya, 13 September lalu. Alasan penangkapan itu ialah jilbab Amini terlalu longgar. Ia lalu dibawa ke pusat penahanan Vozara yang terkenal sebagai tempat menahan perempuan yang melanggar aturan pemakaian jilbab.
Kematian Amini kemudian memicu aksi protes besar-besaran di Iran hingga kini. Sedikitnya 476 pengunjuk rasa dilaporkan tewas.
Baca juga : Iran, Perlawanan Kultural Perempuan Iran
IHR yang berbasis di Oslo, Norwegia, mengkhawatirkan setidaknya 100 pengunjuk rasa yang sekarang berada dalam tahanan polisi karena aksi protes itu juga berisiko dihukum mati atau didakwa dengan kejahatan berat. Iran dianggap menggunakan vonis hukuman mati sebagai taktik intimidasi untuk meredam protes.
Amiry-Moghaddam mengatakan, berdasarkan informasi yang diterima, Fard tampaknya menjadi orang termuda yang dijatuhi hukuman mati karena aksi protes itu. Praktik hukuman gantung bagi para pengunjuk rasa ini yang memicu kecaman komunitas internasional. Kelompok-kelompok HAM menyerukan agar tekanan pada Iran diperberat untuk mencegah lebih banyak eksekusi.
Sidang ulang
Pengadilan Tinggi Iran sudah memerintahkan pengadilan ulang terhadap Sahand Nourmohammad-Zadeh (26) yang juga dilaporkan dijatuhi hukuman mati. Ia dijatuhi hukuman mati karena dituduh merobohkan pagar jalan raya serta membakar tong sampah dan ban. Ia membantah tuduhan itu dan sempat mogok makan pekan lalu.
Tanpa menyebutkan putusan aslinya, situs Mizan Online menyebutkan, Nourmohammad-Zadeh diberikan persidangan ulang. Ia dirujuk ke pengadilan lain untuk diadili lagi.
Dalam sebuah pernyataan tertulis disebutkan bahwa banding Nourmohammad-Zadeh terhadap keputusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Revolusi Islam Teheran ditolak di Mahkamah Agung. Pengacara Nourmohammad-Zadeh, Hamed Ahmad, kepada kantor berita ILNA, menyebutkan pada 21 Desember lalu kliennya dijatuhi hukuman mati setelah dinyatakan bersalah dalam dakwaan moharebeh, yang berarti ’permusuhan terhadap Tuhan’.
”Saya sangat berharap Mahkamah Agung membatalkan hukuman mati klien saya,” kata Ahmad.
Nourmohammad-Zadeh adalah orang ketiga yang dilaporkan menjadi terpidana mati yang diizinkan diadili ulang. Sebelumnya, ada penyanyi rap Iran, Saman Seydi, yang juga dikenal sebagai Saman Yasin, dan Mahan Sadrat.
Sementara itu, ada juga seorang mahasiswa yang diadili di pengadilan lainnya yang sudah dijatuhi hukuman sembilan bulan penjara dan 60 cambukan karena diduga berada di lokasi aksi protes. Pengadilan Revolusi Zahedan memutuskan Aida Portaki (21) bersalah atas ”gangguan keamanan dan ketertiban publik dengan menghadiri pertemuan ilegal”.
Baca juga : Iran Dihujani Sanksi
Portaki, mahasiswa Matematika Teknik di Universitas Sistan dan Baluchestan, dikabarkan menghadiri demonstrasi antipemerintah di Zahedan pada 15 November 2022. Pengadilan juga memerintahkan Portaki untuk melakukan studi banding tentang jilbab dan pakaian perempuan Iran sebagai bagian dari hukumannya.
Polisi moral
Kecaman dan aksi protes baik dari dalam maupun luar negeri tidak membuat Iran mengendurkan aturannya. Kepolisian moral Iran, Senin (2/1/2023), masih tetap mengirimkan pesan-pesan kepada ponsel perempuan yang terlihat tidak mengenakan jilbab di mobil mereka untuk mengingatkan mereka soal aturan pemakaian jilbab.
Pemerintah juga akan menutup bisnis yang melayani perempuan yang tidak memakai jilbab. Sejumlah manajer bank dilaporkan sudah dipecat dari pekerjaannya karena memberikan layanan kepada perempuan yang tidak mematuhi aturan itu.
Kecaman dan aksi protes, baik dari dalam maupun luar negeri, tidak membuat Iran mengendurkan aturannya.
Bahkan, ada rencana penggunaan teknologi identifikasi wajah pada perempuan tanpa jilbab yang tertangkap CCTV. Kantor berita Fars menyebutkan, ini tahapan baru dari program Nazer-1 atau pengawasan yang akan diberlakukan di seluruh negeri.
Program Nazer, yang diluncurkan pada tahun 2020, menyangkut aturan melepas jilbab di mobil. Pemilik mobil akan dikirimi pesan teks SMS di ponsel yang memperingatkan mereka tentang pelanggaran aturan berpakaian di kendaraan mereka. Jika pelanggaran itu berulang, akan muncul peringatan bakal ada tindakan ”hukum”.
Namun, menurut pesan yang diunggah di platform media sosial, aparat keamanan tampaknya telah menghentikan ancaman tindakan hukum. ”Di kendaraan Anda terlihat ada pelepasan jilbab: Penting untuk menghormati norma masyarakat dan memastikan tindakan ini tidak terulang kembali,” sebut pesan yang dilaporkan dikirim polisi dan diunggah posting di media sosial.
Polisi moral Iran—yang dikenal sebagai Gasht-e Ershad atau ”Patroli Bimbingan”—memiliki mandat memasuki area publik untuk memeriksa penerapan aturan berpakaian secara ketat. Namun, sejak aksi protes terjadi, banyak perempuan yang tinggal di distrik kelas atas ibu kota Teheran dan di pinggiran daerah selatan yang lebih sederhana dan tradisional tampak tidak mengenakan jilbab dan tidak dihentikan polisi.
Mobil van polisi moral yang berwarna putih dan hijau pun kini jarang terlihat di jalanan Teheran. Pada awal Desember lalu, Jaksa Agung Iran Mohammad Jafar Montazeri mengatakan, polisi moral sudah tidak beroperasi. Namun, banyak yang tak percaya pada pernyataannya karena pesan-pesan aturan berjilbab masih saja diterima warga.
Baca juga : Amini dan Kejenuhan Terhadap Negara Yang Jadi Polisi Moral
Sekelompok tokoh pro-oposisi terkemuka Iran yang berada di pengasingan, termasuk para tokoh di bidang budaya, HAM, dan olahraga, mengeluarkan pesan bersama yang memprediksi tahun 2023 akan menjadi tahun kemenangan. Diaspora Iran selama ini dianggap kurang bersatu, terpecah menjadi faksi politik yang berbeda.
Namun, sejak aksi protes terkait kematian Mahsa Amini, mereka mulai mengeluarkan satu suara. Pesan-pesan berbunyi ”Tahun 2022 adalah tahun solidaritas yang gemilang bagi warga Iran dari setiap kepercayaan, bahasa, dan orientasi”.
Dengan organisasi dan solidaritas, 2023 akan menjadi tahun kemenangan bangsa Iran. Tahun kebebasan dan keadilan di Iran bertebaran di media sosial dan disebarkan oleh berbagai tokoh, mulai dari tokoh pembangkang berpengaruh di Amerika Serikat, Masih Alinejad, hingga putra Syah terguling, Reza Pahlavi, yang juga tinggal di AS. Aktor terkemuka Golshifteh Farahani dan Nazanin Boniadi juga mengunggah cuitan itu.
Begitu pula dengan Zar Amir Ebrahimi yang memenangi penghargaan aktris terbaik di Festival Film Cannes di Perancis tahun lalu. ”Kita bersatu untuk meraih kebebasan,” tulis Farahani di akun Instagramnya. ”Kami akan berdiri bersama dan tidak akan diam”.
Aktivis HAM terkemuka yang mengunggah pesan itu termasuk peraih Hadiah Nobel Perdamaian Shirin Ebadi dan Hamed Esmaeilion. Keduanya memimpin kampanye keadilan berbasis di Kanada bagi para korban penerbangan Ukraine Airlines yang ditembak jatuh oleh Iran pada Januari 2020.
Dari bidang olahraga, mantan bintang sepak bola internasional Iran, Ali Karimi, selama ini juga gencar mendukung gerakan protes. ”Pesan-pesan itu menjadi tanda harapan di masa-masa kelam,” kata Guru Besar Sejarah di London School of Economics, Roham Alvandi. (REUTERS/AFP)