Dubes Lu Kang: Visi Pembangunan China 2035 untuk Kerja Sama Tanpa Syarat dan Inklusif
China menetapkan kebangkitan bangsa yang diiringi kemakmuran bersama dengan negara-negara berkembang. Benarkah tanpa syarat, seperti yang diutarakan?
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kedutaan Besar China di Jakarta menekankan sekali lagi mengenai visi pembangunan China 2035 yang mengutamakan kerja sama saling menguntungkan, tanpa syarat, dan inklusif. Meskipun demikian, pengamat mendorong Indonesia tidak bergantung pada satu sumber investasi saja.
Visi Pembangunan China 2035 tersebut diutarakan Duta Besar China untuk Indonesia Lu Kang dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (21/12/2022). Kegiatan itu digelar karena Kedubes China ingin memberi taklimat media mengenai hasil serta makna kongres ke-20 Partai Komunis China (PKC) yang berlangsung pada November lalu. Kongres itu juga mengukuhkan Xi Jinping sebagai Sekretaris Jenderal PKC serta Presiden China untuk masa jabatan ketiga.
”Kongres memantapkan secara teoretis ataupun praktis visi modernisasi dan kebangkitan China 2035 yang berlandaskan semangat sosialisme khas China,” kata Lu.
Ia menjelaskan, refleksi pada kongres itu ialah selama beberapa dekade terakhir China mengalami pembangunan yang pesat, tetapi tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Oleh sebab itu, dalam visi pembangunan yang baru bukan hanya kesejahteraan material yang dikejar, melainkan juga kesejahteraan rohani, keselarasan dengan lingkungan hidup, kemajuan peradaban, dan kehidupan berdampingan dengan bangsa lain dalam kedamaian.
Menurut Lu, visi ini cocok menjadi pilihan bagi negara-negara berkembang karena menjadikan semua saudara senasib dan sepenanggungan. Ini adalah konsep ekspansionisme yang tidak berlandaskan hegemoni politik, tetapi menekankan kepada kebersamaan dan saling menguntungkan. Oleh sebab itu, Lu mengatakan penting menjaga keterbukaan rantai pasok global.
”China tak setuju jika rantai pasok global, terutama di bidang pangan dan energi, dipolitisasi negara-negara tertentu karena hal itu menghalangi pertumbuhan negara-negara berkembang,” ujarnya.
Lu memaparkan, di Asia Tenggara, China selalu siap mendukung Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN), termasuk dalam persoalan konflik dan krisis politik di Myanmar. China memprioritaskan penyegeraan perdamaian dan penghentian kekerasan di negara tersebut.
”Kami percaya ASEAN bisa melaksanakan fungsi dominan sebagai pemimpin dalam penanganan isu Myanmar,” kata Lu.
Secara umum, sejak Konferensi Tingkat Tinggi G20 pada November, China dan Indonesia memperkuat kerja sama di bidang politik, kebudayaan, ekonomi, dan kelautan. Lu turut mengungkapkan sinergi Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) dengan Poros Maritim Dunia. Kedekatan China dengan Indonesia, lanjut Lu, ditunjukkan dengan posisi sebagai penanam modal asing nomor satu.
Keragaman investasi
Sementara itu, peneliti isu China di Universitas Indonesia, Ardhitya Yeremia Lalisang, mengamati bahwa terlepas China berupaya menunjukkan kenetralan, visi mereka tetap merupakan cara mewujudkan hegemoni. Visi selepas Kongres PKC kental dengan nuansa melawan Amerika Serikat dan negara-negara Barat, terutama dari aspek persaingan dagang dan rantai pasok, penguasaan teknologi, serta geopolitik di kawasan.
China, menurut Yeremia, enggan melepaskan diri dari status negara berkembang karena ini membuat mereka terlihat ramah di mata negara-negara berkembang lain. Secara pendapatan domestik bruto, China sudah setara dengan negara-negara maju. Akan tetapi, jika PDB itu dibagi dengan per kapita penduduk sebanyak 1,4 miliar jiwa, jumlahnya masuk kategori negara berkembang.
”Faktanya, China tetap lebih besar dan kaya daripada mitra-mitranya sehingga hubungan tetap timpang,” tutur Yeremia.
Terkait dengan kerja sama tanpa syarat, menurut Yeremia, China menerapkan pola serupa dengan negara-negara maju sebelum krisis moneter 1998, yaitu kurang memberi keterbukaan. Ini yang kemudian memunculkan tuduhan China memasang jebakan utang kepada mitra. Oleh Lu, dalam jumpa pers, hal ini dibantah karena setiap negara mitra bebas memilih mau bekerja sama terkait suatu proyek dengan China.
Yeremia menjelaskan, di sini pola ketimpangan hubungan terlihat karena walaupun hak mitra untuk meneken kerja sama, tetap harus ada keterbukaan mengenai berbagai risiko ataupun kesalahan perhitungan. Jangan sampai ketika proyek mangkrak, negara mitra yang menanggung akibat sepenuhnya, padahal soal hitung-menghitung semestinya dilakukan kedua belah pihak.
”Dalam hal ini, Indonesia memang harus meragamkan investasi agar tidak datang dari satu negara atau lembaga keuangan global saja. Proyek-proyek investasi tidak harus berupa infrastruktur, tetapi juga kerja sama strategis lainnya,” kata Yeremia.
"Restart" China-Australia
Terkait dengan hubungan China-Barat, Menteri Luar Negeri Australia Penny Wong berkunjung ke Beijing dan bertemu Menlu China Wang Yi. Mereka menjalin kembali hubungan kedua negara yang sempat menurun sejak tahun 2020 akibat komentar mantan Perdana Menteri Australia Scott Morrison soal China sebagai sumber pandemi Covid-19.
Itu merupakan kunjungan pertama oleh seorang menteri Australia ke China sejak tahun 2019 dan pembicaraan resmi pertama di Beijing antara kedua negara sejak 2018. "Kita bisa menumbuhkan hubungan bilateral kita dan menguatkan kepentingan-kepentingan nasional kita jika kedua negara menavigasi perbedaan-perbedaan kita secara bijak," kata Wong pada awal pertemuannya dengan Wang.
Dalam konferensi pers seusai pertemuan, Wong mengungkapkan bahwa ia dan Wang membahas masalah blokade perdagangan, hak asasi manusia, dua warga Australia yang ditahan, serta aturan-aturan global dan norma-norma yang menopang keamanan dan kemakmuran. "Kami mempunyai perbedaan-perbedaan pandangan tentang bagaimana sistem politik kami seharusnya bekerja dan kami juga mempunyai perbedaan-perbedaan kepentingan, tetapi kami harus berupaya mengelola perbedaan-perbedaan itu," ujar Wong.
Pernyataan bersama yang dirilis Australia menyebutkan, kedua pihak sepakat untuk "memulai kembali atau me-"restart" dialog dalam perdagangan dan isu-isu ekonomi, perubahan iklim, pertahanan, serta isu-isu regional dan internasional". "Kami harus memperluas pemahaman melalui kontak dan menemukan solusi-solusi yang dapat diterima bagi satu sama lain melalui konsultasi," ujar Wang kepada Wong.
Tonggak rujuk hubungan antara Beijing dan Canberra ditancapkan di Bali di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT), November lalu. Saat itu, Perdana Menteri Australia Anthony Albanese menggelar pertemuan bilateral dengan Presiden China Xi Jinping. Keduanya memberikan sinyal untuk menghangatkan kembali hubungan antara negara mereka yang menegang pada era PM Morrison.
China adalah salah satu mitra dagang terbesar Australia. Namun, hubungan kedua negara memburuk dalam beberapa tahun terakhir. Ini bermula saat Canberra, mengikuti irama yang ditiupkan Washington, mendesak digelarnya penyelidikan internasional mengenai asal-usul virus korona pada awal pandemi Covid-19. Beijing merespons tindakan itu dengan melarang produk-produk ekspor asal Australia senilai hingga 20 miliar dollar Australia.
Dalam pertemuan dengan Wong, Wang menyampaikan, China dan Australia tidak memiliki perbedaan fundamental tentang kepentingan mereka. Kementerian Luar Negeri China mengatakan, kedua negara seharusnya memanfaatkan momentum perayaan 50 tahun hubungan mereka untuk menata kembali dan memulai lagi hubungan.
"China dan Australia tidak punya keluhan sejarah dan tidak memiliki benturan kepentingan mendasar, dan seharusnya bisa menjadi mitra yang saling membutuhkan," ujar Wang dalam pertemuan itu, seperti dilansir dalam pernyataan Kemenlu China.
Sebelum pertemuan Wong dan Wang berlangsung, Presiden China Xi Jinping mengirim telegram kepada PM Australia Anthony Albanese. Seperti dilaporkan media Pemerintah China, Xi berjanji, China akan mendorong kemitraan strategis komprehensif. Telegram itu dikirimkan Xi sebagai bagian dari perayaan 50 tahun hubungan kedua negara.
"Saya memberi perhatian besar pada perkembangan hubungan China-Australia dan saya bermaksud untuk bekerja sama dengan Australia," kata Xi dalam telegram itu, seperti dilaporkan CCTV.
Albanese menjawab dengan ucapan terima kasih atas kiriman telegram dari Xi. "Hal yang penting bahwa kami menjalin hubungan yang lebih baik dengan mitra dagang utama kami di masa depan," kata Albanese dalam konferensi pers di Sydney. (REUTERS/SAM)
Editor:
MUHAMMAD SAMSUL HADI, BONIFASIUS JOSIE SUSILO HARDIANTO