Dominasi China atas Ekspor Nikel Sultra
Sebagai lumbung nikel, Sulawesi Tenggara mencatatkan ekspor olahan nikel yang melesat. Lebih dari 95 persen ekspor ini bergantung ke China.
Sejak melesatnya permintaan kendaraan listrik, baja tahan karat, dan produk teknologi, pamor nikel terus melambung. Daerah lumbung nikel, seperti Sulawesi Tenggara, pun mencatatkan ekspor olahan yang melesat. Namun, lebih dari 95 persen ekspor ini bergantung ke satu negara, yaitu China. Ungkapan ”menaruh semua telur dalam satu keranjang yang sama” pun segera terlintas.
Pengembangan kendaraan listrik menjadi komoditas baru yang bersinar beberapa tahun terakhir. Nikel, mineral yang salah satunya menjadi bahan dasar pembuatan baterai kendaraan listrik, kian menjelma sebagai primadona yang dicari banyak negara. Nikel juga diolah menjadi baja tahan karat yang jamak ditemui di perkakas rumah tangga, kendaraan, hingga telepon pintar.
Nikel di Sultra pun semakin gencar diproduksi. Ekspor nikel daerah ini tercatat terus menanjak. Daerah ini adalah penghasil nikel terbesar Indonesia, bersama segelintir daerah lainnya. Pemerintah lalu menggelorakan hilirisasi dan melarang ekspor barang mentah berupa bijih (ore) nikel sejak 2020. Hilirisasi tahap pertama menunjukkan performa positif. Nilai ekspor olahan nikel pun semakin dominan.
Pada 2022, periode Januari hingga Oktober, ekspor Sultra semakin melambung. Nilainya mencapai 4,8 milliar dollar AS atau setara Rp 72 triliun di kurs rata-rata Rp 15.000. Nilai ini meningkat 36 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang hanya mencapai 3,5 milliar dollar AS. Nilai ini bahkan lebih tinggi dibandingkan ekspor selama 2021 yang hanya 4,2 milliar dollar AS.
Dari total ekspor hingga Oktober 2022, sebanyak 99,53 persen atau 4,7 milliar dollar AS berasal dari golongan besi dan baja. Nilai ini setara Rp 71 triliun. Produk ekspor besi dan baja ini berupa feronikel (feNi), nickel pig iron (NPI), hingga produk baja tahan karat yang diproduksi oleh smelter atau pabrik pengolahan nikel yang berproduksi di wilayah ini. Ekspor lain dengan jumlah di bawah 1 persen adalah ikan dan udang, serta olahan daging.
Namun, berdasarkan negara tujuan, sebanyak 4,6 milliar dollar AS atau lebih dari Rp 70 triliun dikirim ke China. Nilai ini mencapai 96 persen dari total ekspor. Dengan konfigurasi golongan besi dan baja yang dominan, berarti hampir semua produk olahan nikel tersebut dikirim ke China. Dominasi ekspor ke China ini lebih tinggi dari tahun 2021 yang berada di angka 93,78 persen.
Baca juga: Ekspor Olahan Nikel Sultra Capai Rp 71 Triliun
Peningkatan ini merupakan gambaran ekspor ke China selama lima tahun terakhir. Pada 2020, total ekspor ke China 93,69 persen, meningkat dari tahun 2019 yang hanya 86,65 persen. Pada 2018, proporsi ekspor ke negara ini baru di angka 75,75 persen.
Syamsu Anam, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Muhammadiyah Kendari, menjabarkan, selama lima tahun terakhir, ekspor ke China semakin tinggi. Komposisinya bahkan hampir mencapai 100 persen dari total ekspor provinsi ini.
Setelah China, segelintir barang diekspor ke India, Amerika Serikat, Korea Selatan, hingga Belanda. ”Kondisi ekspor kita sangat tinggi. Tetapi juga di satu sisi sangat timpang karena terlalu bergantung pada satu negara saja,” tutur Syamsu di Kendari, Selasa (6/12/2022).
Kondisi ini, ia melanjutkan, membuat pasar menjadi tidak stabil. Terkonsentrasinya negara tujuan membuat harga tidak bisa bersaing. Sebab, hal tersebut menghilangkan kesempatan untuk mendapatkan harga terbaik.
Jauh dari itu, risiko terhadap daerah juga semakin tinggi, terutama jika terjadi sesuatu dengan negara tujuan tersebut, dalam hal ini China. Hal ini bisa menyebabkan efek domino ke daerah yang terlalu bergantung ke pertambangan.
Jika keranjang jatuh, semua telur pecah.
”Jika terjadi suatu keadaan ekonomi yang sulit di negara tujuan, permintaan dari negara tersebut akan berhenti. Jika ekspor berhenti, produksi tentu akan berkurang atau berhenti. Hal tersebut akan menyebabkan rentetan efek ke rantai pasok paling bawah,” ujar Syamsu.
Dia menambahkan, saat itu terjadi, semuanya akan melambat. Ia menganalogikan, ”Komposisinya seperti menaruh semua telur dalam satu keranjang yang sama. Jika keranjang jatuh, semua telur pecah. Padahal, prinsip dasar investasi, kan, keranjangnya harus beragam.”
Investasi terbesar
Menurut Syamsu, kondisi ini terjadi karena sejak awal investasi hilirisasi nikel di Sultra didominasi oleh China. Selain smelter milik BUMN PT Antam di Kabupaten Kolaka, program terbesar di wilayah ini adalah pembangunan smelter di Kecamatan Morosi, Kabupaten Konawe, oleh investasi China. Investasi puluhan triliun rupiah ini menjadi lokomotif baru yang didukung penuh pemerintah pusat. Bahkan, kawasan industri Morosi menjadi proyek strategis nasional.
Di kawasan ini, berdiri PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) dan PT Obsidian Stainless Steel (OSS). PT VDNI berdiri sejak 2014 dan merupakan anak usaha De Long Nickel Co Ltd yang berasal dari Jiangsu, China. Perusahaan ini berinvestasi puluhan triliun rupiah untuk membangun fasilitas smelter berteknologi modern. Kapasitas produksinya 600.000-800.000 ton nickel pig iron per tahun. Hingga akhir 2018, PT VDNI telah berkontribusi 142,2 juta dollar AS terhadap ekspor RI.
Sementara itu, induk PT OSS adalah Hong Kong Xiangyu Hansheng Co Ltd dan Singapore Xiangyu Hansheng Pte Ltd. Perusahaan ini berdiri sejak 2016 di area seluas 398 hektar dengan nilai investasi 2 miliar dolar AS. Sejak 2018, perusahaan ini telah mengajukan izin prinsip untuk membangun fasilitas produksi baja nirkarat 400.000 ton, steel lab 800.000 ton, dan feronikel 800.000 ton. Hingga saat ini, PT OSS telah membangun 17 tungku smelter dari 30 tungku yang direncanakan.
Baca juga: Indonesia dan China Ingin Jadi Pemain Besar di Dunia
Kepala Bidang Pengendalian dan Pelaksanaan Penanaman Modal Pemprov Sulawesi Tenggara Rasiun mengungkapkan, investasi terbesar di Sultra sejauh ini berasal dari China. Pengembangan perusahaan yang telah berjalan dan yang sedang membangun berasal dari China.
”Tidak bisa dipungkiri bahwa yang menanamkan investasi besar untuk nikel berasal dari China. Jadi, tidak heran juga jika ekspor olahan nikel lebih banyak ke sana,” katanya. Untuk tahun ini, rencana investasi di dua perusahaan di Morosi tersebut mencapai Rp 40 triliun. Kondisi yang sama terjadi di 2021, di mana dari Rp 27 triliun realisasi investasi, Rp 21 triliun dari PT VDNI dan PT OSS.
Kepala Laboratorium Ilmu Ekonomi Universitas Halu Oleo Syamsir Nur menyampaikan, tingginya ekspor nikel Sultra didorong pulihnya ekonomi China yang menjadi mitra dagang utama sekaligus negara utama tujuan ekspor tersebut. Belum lagi dengan hubungan mesra pemerintah dengan China, termasuk dengan pemberian insentif pajak (tax holiday) kepada investor.
Hal ini juga berkaitan dengan kebutuhan dalam negeri China dalam hal industri baja tahan karat hingga penguasaan bahan mineral ini untuk jangka panjang. Wilayah Sultra yang sejak awal juga menjadi lokasi penanaman modal oleh investor asal China secara otomatis ekspornya akan ke negara tersebut.
Meski melonjak tinggi, Syamsir menyampaikan, ekspor olahan nikel tersebut merupakan nilai yang semu karena tidak banyak dinikmati daerah. Hal itu bisa terlihat dari penerimaan daerah yang rendah, angka pengangguran yang tinggi, angka kemiskinan yang naik 15.500 orang pada Februari 2021, hingga ketimpangan antardaerah.
Salah satu kuncinya adalah hilirisasi industri dan menggandeng investor dari negara lain atau BUMN.
Kondisi ini terjadi karena industri pengolahan merupakan sektor padat modal yang terbatas bagi banyak orang. Para pekerja yang masuk juga sebagian merupakan tenaga terampil, baik yang didatangkan dari wilayah Sultra maupun daerah lain.
”Salah satu kuncinya adalah hilirisasi industri dan menggandeng investor dari negara lain atau BUMN. Sebab, dalam kondisi seperti sekarang, secara makroekonomi kita bergantung ke China,” kata Syamsir, yang banyak melakukan riset industri pengolahan nikel di Sultra.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sultra Siti Saleha mengungkapkan, sektor pertambangan belum berperan besar terhadap kemajuan perekonomian masyarakat secara luas. Sumbangan pendapatan daerah dari sektor ini juga terbilang kecil.
Oleh karena itu, menurut Saleha, sejumlah upaya memajukan ekspor di luar pertambangan terus dilakukan. Sebab, potensi di luar pertambangan sangat besar jika bisa dikelola. Berbagai upaya yang dilakukan antara lain pendampingan bagi petani kakao, kelapa, dan jambu mete serta nelayan yang membudidayakan rumput laut dan udang.
Namun, kendala permodalan hingga keberlanjutan produksi masih membayangi. Oleh karena itu, dibutuhkan kerja sama kuat dari lintas sektor untuk menggenjot kualitas, produksi, hingga mencari pembeli.
Baca juga: Sinyal Bahaya Ekonomi Sultra