Rangkaian pertemuan Xi Jinping di Bali dan Bangkok menunjukkan sisi lain diplomasi China. Sampai sebelum ke Bali, rangkaian diplomasi China lebih banyak ke Rusia dan mitranya. Di Bali dan Bangkok, terjadi sebaliknya.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
Setelah dua tahun mengurung diri di dalam negeri selama pandemi Covid-19, Presiden China Xi Jinping akhirnya bertatap muka dengan pemimpin berbagai negara. Bali dan Bangkok menjadi tempat persuaan Xi dengan mereka.
Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida bertemu Xi di Bangkok, Kamis (17/11/2022) malam. Mereka sama-sama di sana untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC). Sebenarnya, Kishida-Xi juga sama-sama berada di Bali untuk menghadiri KTT G20. Walakin, Xi sudah banyak agenda selama di Bali.
Di sela KTT G20, Xi bertemu Presiden Amerika Serikat Joe Biden, Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol, Presiden Perancis Emmanuel Macron, dan Presiden Argentina Alberto Fernandez. Ia juga bertemu PM Australia Anthony Albanese. Kebetulan delegasi China dan Australia menginap di sanggraloka yang sama selama KTT G20.
Awalnya Xi juga direncanakan bertemu PM Inggris Rishi Sunak di Bali. Pada waktu yang disepakati, Sunak harus menghadiri rapat darurat yang antara lain diikuti Biden, Kishida, dan Macron.
Pada Rabu dini hari waktu Denpasar, kamar para pemimpin negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), Uni Eropa, dan G7 diketuk bawahannya. Mereka memberitahu: ada rudal meledak di Polandia, anggota UE sekaligus NATO.
Informasi itu membuat mereka menggelar rapat dadakan. Untunglah rapat itu tidak menghasilkan deklarasi perang. Sebab, seperti diumumkan Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg di Brussels, Belgia, rudal yang meledak di Polandia terindikasi milik Ukraina.
Mencari kesamaan
Dalam pertemuan 36 menit dengan Kishida, Xi kembali membahas soal kesamaan China dengan mitranya. Ia berharap kerja sama China-Jepang bisa terus dibangun sesuai perkembangan era baru.
Kishida juga mengajak Xi membangun hubungan yang stabil. Hubungan China-Jepang, menurut Kishida, menghadapi banyak tantangan. Meski demikian, potensi kerja sama tetap terbuka.
Pesan relatif sama juga disampaikan Xi kepada pemimpin negara lain. Kepada AS yang secara terbuka menetapkan China sebagai ancaman dan lawan sekali pun, Xi menekankan soal kerja sama. Dalam pertemuan hampir 3,5 jam dengan Biden di Bali, Xi mengajak AS bekerja sama dengan China. Beijing-Washington perlu mencari cara hidup berdampingan dengan damai.
Bukan hanya pesan Xi yang sama dari rangkaian pertemuan itu. Mitra yang ditemui juga relatif sama: sekutu AS. Rangkaian pertemuan itu terjadi saat hubungan China dengan berbagai negara memburuk. Beijing memutuskan hampir seluruh saluran komunikasi resmi dengan Washington. Beijing juga bersitegang dengan Canberra dan Tokyo.
Dalam rangkaian pertemuan dengan AS dan sekutunya, Xi juga menegaskan batas yang tidak boleh dilanggar. Kepada Biden, Xi menekankan isu Taiwan adalah hal yang tidak boleh dilanggar. Selepas pertemuan itu, Biden menyebut AS tidak pernah mendukung kemerdekaan Taiwan. AS juga akan tetap menghormati kebijakan Satu China.
Pernyataan Biden selepas pertemuan itu amat berbeda dengan pernyataan di waktu lain. Biden pernah menyebut AS akan mendukung penuh Taiwan jika diserang China. Pemerintahan Biden juga menyetujui penjualan senjata besar-besaran ke Taiwan.
Demikian pula Kishida. Di Kamboja pekan lalu, ia secara terbuka menyebut China berkontribusi pada ketidakstabilan kawasan. Tokyo resah karena kapal-kapal China berlayar dekat kepulauan yang disengketakan Jepang dan China.
“Hubungan China-Jepang pada titik kritis karena banyak sekali tantangan. Ada peluang kerja sama untuk pemulihan bersama di kawasan. Semua itu membutuhkan kesepakatan para pihak untuk mengelola perbedaan secara layak dan mengembangkan hubungan positif,” tutur Direktur Institute of Northeast Asian Studies, Da Zhigang, kepada media China, Global Times.
Beijing memandang Tokyo semakin aktif merapat ke blok anti-China yang digalang AS. Meski demikian, pertemuan langsung para pemimpin kedua negara akan menjaga peluang para pihak saling memahami dan tidak melakukan hal yang berujung pada konflik terbuka.
Sisi lain diplomasi China
Rangkaian pertemuan Xi di Bali dan Bangkok juga menunjukkan sisi lain diplomasi China. Sampai sebelum ke Bali, rangkaian diplomasi China lebih banyak ke Rusia dan mitranya. Di Bali dan Bangkok, terjadi sebaliknya.
Pakar China pada CSIS AS Scott Kennedy menyebut, Xi tidak meninggalkan Presiden Rusia Vladimir Putin lewat manuvernya di Bali dan Bangkok. Xi hanya menunjukkan hal yang selama ini dilakukan China: pragmatis dan netral.
Pragmatisme dan netralitas China terkait perang Ukraina sebenarnya sudah berkali-kali ditunjukkan. Beijing secara terbuka mendesak seluruh anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa menghormati kedaulatan negara lain. China juga menentang penggunaan senjata nuklir. Bagi China, keutuhan dan kedaulatan wilayah adalah isu pokok yang tidak bisa ditawar.
Pengajar pada Nanjing University, Zhu Feng, mengingatkan, China tidak pernah mengakui pendudukan Rusia pada Semenanjung Crimea. Rangkaian sikap China itu seharusnya dipandang AS dan sekutunya selaras dengan permintaan mereka. “Sekarang, giliran AS dan sekutunya menunjukkan balasan kepada China,” kata dia kepada Financial Times.
Zhu menyebut, tidak tepat mendesak China untuk berpihak pada salah satu kubu dalam perang Ukraina. China tidak bisa melakukan apa pun dalam perang itu. (AFP/REUTERS)