BADUNG, KOMPAS - Kegiatan pendamping menuju Konferensi Tingkat Tinggi G20 sejauh ini berjalan lancar. Akan tetapi, butuh kepastian sikap dan aksi dari Indonesia untuk menunaikan segala komitmen agenda agar oleh dunia tidak sekadar dianggap sebagai panitia acara yang baik. Salah satunya ialah menunjukkan kepemimpinan di negara berkembang dan Asia untuk isu peralihan energi fosil ke energi terbarukan.
Dalam peresmian forum B20 yang mewakili kalangan bisnis serta industri pada Jumat (11/11/2022) di Nusa Dua, Badung, telah disepakati bahwa sektor industri harus melakukan dekarbonisasi. Indonesia juga menargetkan per tahun 2030 bisa menurunkan 31,8 persen emisi dengan usaha sendiri dan 43 persen dengan bantuan dana serta teknologi dari pihak asing, terutama negara-negara maju. Terdapat pula 50 perusahaan yang menandatangani komitmen untuk mencapai target nirkarbon.
Meskipun begitu, kalangan masyarakat sipil yang bergerak di isu lingkungan hidup menanti aksi nyata komitmen tersebut. Salah satu aspek yang mereka ingin dalami lebih lanjut adalah perkataan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan ketika berdiskusi dengan Menteri Keuangan Amerika Serikat Janet Yellen. Luhut mengatakan, Indonesia memproduksi 2,3 juta ton emisi per kapita setiap tahun, sementara itu AS memproduksi 14,7 juta ton. Oleh sebab itu, ia mengusulkan agar Indonesia menaikkan jumlah emisi dan pada saat yang sama, AS menurunkan. Begitu sampai di titik yang sama, kedua negara menurunkan emisi berbarengan.
"Perkataan ini mengesankan Indonesia memberi sinyal yang tidak serius dengan penurunan emisi. Negara-negara berkembang dan Asia memandang Indonesia sebagai panutan karena presidensi di forum 20 negara berperekonomian terbesar dunia ini," kata pakar energi untuk Greenpeace Indonesia dan Asia Tenggara Adila Isfandiari ketika dihubungi pada hari Sabtu (12/11/2022). Menurut dia, jika Indonesia tidak tegas, negara-negara lain juga akan mengikuti seenaknya sehingga target nirkarbon global sukar tercapai.
Adila menuturkan, skema peralihan ke energi terbarukan Indonesia belum jelas. Oleh sebab itu, rakyat tidak memiliki persepsi jernih mengenai hal tersebut. Akibatnya, muncul penolakan, terutama dari daerah maupun anggota masyarakat yang sumber penghasilannya berasal dari eksploitasi dan pengolahan energi fosil beserta turunannya. Padahal, prinsip peralihan energi adalah bertahap, berkeadilan sehingga tidak meminggirkan masyarakat, transparan, dan lestari. Masyarakat harus disiapkan untuk menghadapi perubahan lahan perekonomian mereka agar bisa lepas dari energi fosil.
Ia menerangkan, aksi iklim sejatinya berhubungan erat dengan pembangunan ekonomi Indonesia. Uni Eropa telah menyiapkan pajak karbon yang akan diterapkan sejak tahun 2026. Segala komoditas yang diekspor dari negara-negara dengan emisi karbon tinggi atau belum memiliki sistem peralihan ke energi terbarukan akan dikenakan tambahan pajak.
Pada saat yang sama, di kawasan Asia Tenggara, Vietnam telah memulai proses peralihan ke energi terbarukan. Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Ekonomi dan Sosial Asia Pasifik (UN ESCAP) mencatat, Vietnam di tahun 2021 bisa menghasilkan 16 gigawatt energi terbarukan dari sinar matahari. Adapun Greenpeace mencatat pencapaian ini dilakukan Vietnam dalam kurun lima tahun karena pada tahun 2012 mereka hanya memproduksi 4 megawatt energi surya.
"Ini akan mengakibatkan persaingan serius di kawasan karena nanti industri-industri di Indonesia bisa mengalihkan investasi ke Vietnam. Pasalnya, Vietnam patuh dan mempraktikkan peraturan internasional untuk insentif dan peralihan ke energi terbarukan," tutur Alida.
Komitmen peralihan ke energi terbarukan ini, lanjut Alida, jangan disumirkan dengan solusi semu. Ia mengacu kepada gagasan mengganti pembangkit listrik tenaga uap yang berbahan bakar batubara dengan batubara dicairkan ataupun batubara digaskan. Ada pula gagasan mencampur pembakaran batubara dengan biomassa. Ketiga langkah ini tidak menurunkan emisi karena hanya mengganti cara pengolahan energi fosil.
Itu baru dari segi industri. Emisi karbon juga mengakibatkan perubahan iklim yang menghasilkan berbagai cuaca ekstrem. Di Indonesia, Badan Nasional Penanggulangan Bencana mendata dari 3.090 bencana yang terjadi, 90.persen adalah akibat cuaca ekstrem. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menghitung, perkiraan kerugian negara periode 2020-2024 akibat krisis iklim mencapai Rp 544 triliun.
Di negara-negara kepulauan kecil seperti Tuvalu, setiap tahun mereka mengalami kenaikan air laut yang kian meninggi. Dalam Konferensi Tingkat Tinggi ke-27 Perubahan Iklim di Mesir, Perdana Menteri Tuvalu Kausea Natano menyampaikan gagasan mengenai perjanjian proliferasi atau penghentian energi fosil. "Bagi negara sepeti Tuvalu, dampaknya emisi karbon nyata dan dirasakan sekarang. Dunia harus saling membantu, jika tidak kami kehilangan tanah air," tuturnya dikutip CNBC.