Para Anggota G-20 Saling Sikut dan Gagal Fokus
Pertarungan geopolitik Barat versus China telah membuat G-20 gagal fokus. Potensi korbannya adalah puluhan negara yang kini sedang terancam beban utang.
”Ada perang ekonomi yang belum pernah kita lihat dalam beberapa dekade. Kita melihat para anggota G-20 aktif mencoba merugikan anggota G-20 lainnya. Ini adalah dunia yang berbeda,” kata Adam Posen, Presiden Peterson Institute for International Economics. Demikian dituliskan harian The Wall Street Journal, edisi 28 Oktober 2022.
Konsekuensinya akan ada kehilangan produktivitas dan lenyapnya potensi keuntungan. Ada invasi di Ukraina oleh Rusia. AS enggan melihat akar invasi adalah perluasan keanggotaan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) ke Eropa Timur. Arab Saudi dan para mitra produsen minyak menolak permintaan AS agar Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC+) menaikkan produksi minyak. Perang cip antara AS dan China terus berlanjut.
”Dunia dengan kerja sama global yang pernah mekar di bawah Presiden George HW Bush kini terjebak pada percecokan luar bisa,” demikian tulis The Wall Street Journal. Jika krisis buruk global berikutnya terjadi, Posen meragukan negara-negara kuat akan bersatu seperti saat meletusnya krisis 2008-2009 di AS dan Eropa.
Baca Juga: 17 Pemimpin Dunia Nyatakan Hadiri KTT G-20
Hantaman berikutnya adalah kenaikan suku bunga oleh AS. Negara-negara berkembang ketiban beban luar biasa. Dalam istilah Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva, ada tiga letupan yang menimpa negara-negara berkembang akibat kenaikan suku bunga.
Kenaikan kurs dollar AS akibat kenaikan suku bunga menaikkan beban utang dalam denominasi mata uang lokal negara-negara berkembang. Kenaikan suku bunga meningkatkan bunga utang. Akibat kenaikan suku bunga AS, terjadi pelarian modal yang mengeringkan likuiditas global.
Baru saja pulih dari pandemi Covid-19, negara berkembang ketiban lagi masalah baru. Berdasarkan data IMF, 14 Oktober, seperempat negara berkembang dengan perekonomian dinamis mengalami gagal bayar utang obligasi atau sedang tertekan. Lebih 60 persen negara-negara berpendapatan rendah dalam risiko tinggi gagal bayar (default).
Baca Juga: Kebijakan The Fed Sengsarakan Negara Termiskin
Sejak pandemi Covid-19 merebak pada 2020, IMF telah mengucurkan 260 miliar dollar AS dana talangan. Sejak kenaikan suku bunga AS pada awal 2022, ditambah efek invasi Rusia ke Ukraina, IMF telah menyediakan dana talangan sekitar 98 miliar dollar AS.
”Sekarang ada lagi 28 negara yang menyatakan niat mendapatkan dana talangan IMF,” ujar Georgieva. Ia menyerukan upaya untuk menolong 345 juta warga yang terancam kekurangan pangan di 48 negara, terutama di Subsahara Afrika.
Kerangka bersama G-20
IMF, Bank Dunia, kelompok G-7 hingga kelompok G-20 menyerukan solusi untuk mengurangi beban utang negara-negara berkembang. Tekanan ekonomi telah menyebabkan rangkaian default di Sri Lanka, Zambia, Argentina, Ekuador, Suriname, dan lainnya.
Khusus untuk kelompok 20, skema yang disebut Common Framework (Kerangka Bersama) dibentuk pada November 2020 untuk meringankan utang negara-negara berkembang. Skema ini dicoba diintensifkan untuk menghadapi tantangan baru.
Baca Juga: Bank Dunia: Negara Miskin Butuh Keringanan Utang G-20 Lebih Cepat
Dalam skema ini, upaya saling sikut, seperti diungkapkan Posen, juga sangat terasa. Skema Common Framework meminta semua negara yang hendak meminta keringanan utang agar mengungkapkan semua kewajiban yang ada. Ini menjadi dasar bagi proses pemberian keringanan, meniru pola Paris Club, dengan menugasi IMF sebagai penengah.
Perang di antara anggota G-20 sudah dimulai sejak tahap awal tersebut. China tidak suka dengan pola yang didominasi Barat dengan tampilnya IMF. Dubes China untuk Zambia Du Xiaohui mengatakan, China lebih menyukai pemberian keringanan utang secara bilateral (Reuters, 7 September 2022). ”Kerja sama bilateral dengan suasana bersahabat adalah cara terbaik untuk membahas utang di antara dua sahabat,” kata Du.
China curiga pola Paris Club yang ditengahi IMF hanya akal-akalan, bukan solusi serius tentang utang. Pengungkapan semua kewajiban utang negara berkembang yang hendak minta tolong dicurigai menjadi cara Barat untuk menelanjangi prosedur pemberian pinjaman oleh China.
”Perjanjian rahasia adalah hal sangat biasa dalam pinjaman komersial internasional,” kata Profesor Lee Jones dari Queen Mary University of London, BBC, 6 Januari 2022.
Kompak tembaki China
Kerangka Common Framework G-20 sejauh ini belum efektif karena tidak bisa menyatukan opini para kreditor. Penasihat Menteri Keuangan AS Brent Neiman pada 20 September 2022 menyuarakan sulitnya kolaborasi di antara para kreditor. Akibatnya, restrukturisasi utang secara multilateral dalam praktiknya menjadi lebih sulit.
Baca Juga: Merajut Kerja Sama di Tengah Rivalitas
Namun, Barat menggunakan berbagai forum internasional melulu untuk menekan China. AS mempersalahkan China soal kurangnya koordinasi. ”Kami konstan menyerukan agar China bersedia duduk bersama dalam Common Framework,” kata Menkeu AS Janet Yellen (The New York Times, 7 Oktober 2022).
Sebagaimana diberitakan Reuters, 15 Oktober 2022, Menkeu Spanyol Nadia Calvino, dalam pertemuan IMF-Bank Dunia di Washington, menyatakan prihatin atas sikap China karena tidak mengirim pejabatnya dalam pertemuan tersebut.
Menkeu Jerman Christian Lindner turut menyerang. Ia mengatakan, China juga tidak mau hadir dalam pertemuan G-7 untuk membahas Afrika. Hanya tiga restrukturisasi utang yang tercapai lewat Common Framework G-20 dengan keikutsertaan China, yakni untuk restrukturisasi utang Chad, Etiopia, dan Zambia.
Perang informasi
Argumentasi di balik kritikan Barat terhadap China tidak kuat. ”Kekurangan Common Framework G-20 terletak pada pemikiran Barat yang terbelenggu,” demikian dituliskan Professor Harry Verhoeven (dosen hubungan internasional di Columbia University) dan Nicolas Lippolis (peneliti di Centre for the Study of African Economies, University of Oxford) pada 1 Agustus di blog London School of Economics.
Barat terbelenggu keinginan untuk memeriksa pengaruh China atas kerja sama Global South, sebutan bagi kawasan Afrika, Asia, dan Amerika Latin tempat China gencar berinvestasi. Barat ingin mendalami prosedur pemberian pinjaman di Global South. Argumentasi Barat, yakni bahwa China berusaha ”meningkatkan utang negara berkembang” dengan tujuan mencaplok aset-aset berharga milik Global South.
”Isu ini berulang kali disebarkan oleh pejabat AS. Opini serupa turut ditiupkan Kanselir Jerman Olaf Scholz,” demikian Verhoeven dan Lippolis. ”Wacana semacam itu memiliki efek buruk terhadap kelancaran solusi atas utang-utang Afrika.”
Kampanye serupa digencarkan Menlu AS Antony Blinken. Saat berada di Abuja, Nigeria, seperti diberitakan Reuters, 19 November 2021, Blinken mengatakan bahwa proyek-proyek infrastuktur China di Afrika sering kali bernuansa pemaksaan, menjebak, dan tidak menguntungkan Afrika.”Kami akan melakukan hal berbeda,” demikian Blinken yang menjanjikan proyek infrastuktur AS di Afrika.
Menlu AS itu juga kembali melakukan kampanye serupa saat singgah di Pretoria, Afrika Selatan, seperti diberitakan The Los Angeles Times, 8 Agustus 2022. Hingga Menlu Afrika Selatan Naledi Pandor mengatakan, negara-negara Afrika tidak seharusnya dipaksa memilih antara Barat atau Rusia dan China. ”Saya benci didikte untuk memilih salah satu pihak atau pihak lainnya,” kata Pandor dalam jumpa pers bersama dengan Blinken.
Baca Juga: Indonesia Optimistis Songsong KTT G-20
Ada lagi cara lain untuk menyudutkan China, menurut Verhoeven dan Lippolis. Pemerintah AS dan Bank Dunia mengategorikan pinjaman dari China Development Bank serta Industrial and Commercial Bank of China (ICBC) sebagai pinjaman resmi pemerintah. Kategori ini kemudian membuat lembaga-lembaga keuangan China itu dikenakan pembekuan pembayaran piutang berdasarkan skema debt service suspension initiative (DSSI).
China Development Bank dan ICBC merupakan kreditor swasta. Di sisi lain, AS dan Bank Dunia membebaskan kebanyakan kreditur swasta dari Barat dari kategori serupa. Di samping itu, ada banyak tuduhan terhadap China, seperti pengenaan suku bunga pinjaman yang tinggi.
Jawaban China
Serangan bertubi-tubi terhadap China telah membuat G-20 gagal fokus. Ding Yifan, mantan Deputi Direktur Institute of World Development, mengatakan bahwa semua kritikan AS dan sekutunya bertujuan membuat China menanggung beban utang-utang negara-negara berkembang yang sedang bermasalah (The South China Morning Post, 14 Oktober 2022).
China terus dipojokkan hingga G-7, termasuk G-20, pura-pura lupa akar masalah utang negara-negara berkembang. Ada masalah ketidakdisiplinan keuangan oleh pemerintahan di negara-negara yang terjebak utang. Ada efek pandemi yang menekan penerimaan negara-negara tersebut. Kini ada efek kenaikan suku bunga AS yang turut menambah beban utang.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin mengatakan, isu ”jebakan utang” menjadi hal utama yang ditiupkan oleh AS, bukan solusi bersama. Hal itu bertujuan melepas tanggung jawab, kata Wang (Xinhua, 19 Agustus 2022).
Wang memunculkan data Bank Dunia pada akhir 2020. Terlihat, Barat adalah kreditor utama negara-negara berkembang. Dari total 475,2 miliar dollar AS pinjaman, sebesar 40 persen berasal dari kreditor komersial dan multilateral Barat dan menjadi utang 82 negara berpendapatan rendah.
Sebesar 34 persen lainnya berasal dari kreditor komersial dan multilateral Barat yang menjadi utang pemerintah negara berpendapatan menengah. Sisanya, sebesar 26 persen berasal dari pinjaman pemerintahan bilateral; dan di dalam kategori ini peran China kurang dari 10 persen.
Baca Juga: Afrika Minta Keringanan Utang kepada China
Wang menambahkan, berdasarkan perkiraan Bank Dunia, semua negara tersebut harus membayar 940 miliar dollar AS utang pokok dan bunganya dalam 7 tahun mendatang. Dari jumlah itu, sebesar 67 persen dibayar ke kreditor komersial dan multilateral Barat. Sisanya dibayar ke donatur bilateral. Dari porsi bilateral, hanya 14 persen yang akan dibayar ke China.
Wang menambahkan, suku bunga pinjaman Barat lebih tinggi ketimbang China. Pinjaman komersial dan Pemerintah China ke negara-negara Afrika ada di bawah 5 persen atau di bawah suku bunga yang dikenakan kreditor komersial dari negara lain. Di samping itu, China mengenakan pinjaman dengan suku bunga tetap, sementara Barat mengenakan suku bunga mengambang.
Gencar beri keringanan
Wang menambahkan, China telah mengimplementasikan penundaan pembayaran utang negara-negara berkembang, termasuk lewat kerangka G-20, dengan porsi terbesar. Kontrasnya, kreditor komersial dan multilateral Barat menolak langkah serupa. Dubes China di Zambia Du Xiaohui mengatakan, China telah menghapuskan 23 jenis pinjaman bebas bunga terhadap 17 negara di Afrika.
”China melakukan langkah serius dan sehat saat menangani krisis utang. Untuk itu, China harus diberi pujian,” kata Profesor Kevin Gallagher, Direktur Global Development Policy, Boston University (Reuters, 7 September 2022).
Kenyataan ini senada dengan ungkapan Neiman. ”Secara individual, masing-masing kreditor lebih suka piutangnya dilunasi dan membiarkan yang lain menanggung beban,” kata Neiman.
Gallagher sekaligus menyerukan agar Departemen Keuangan AS serius memaksa kreditor swasta untuk meringankan beban utang. ”Pada dekade 1990 AS bisa memaksa kreditor swasta untuk tugas itu, tetapi kini tidak ada niat melakukan hal serupa,” kata Gallagher seraya menambahkan rezim restrukturisasi utang tetap menjadi persoalan besar.
Pakar menyanggah
Para pakar juga sekaligus mengkritik AS secara implisit. Banyak komentator menuduh pinjaman China bertujuan geopolitik. ”Tentu saja, negara-negara lain juga menggunakan pinjaman sebagai kepentingan strategis,” demikian dituliskan oleh Layna Mosley, profesor politik dari Princeton University, serta B Peter Rosendorff, profesor politik di New York University dalam artikel mereka di The Washington Post, 12 September 2022.
Keduanya mengatakan, tuduhan terhadap China telah berlebihan, termasuk soal utang Sri Lanka, di mana kreditor terbesar Sri Lanka bukanlah China.
Baca Juga: China Sangkal Memberikan “Jebakan Utang” pada Sri Lanka
Profesor Deborah Brautigam dari Johns Hopkins University, menurut The Brussels Times, 26 Agustus 2022, mengatakan, semua tuduhan terhadap China terkait erat dengan persaingan geopolitik. Deborah yang menganalisis semua pinjaman China selama bertahun-tahun menyimpulkan pinjaman China ke Afrika tidak bertujuan menjerat.
Berdasarkan data dari Johns Hopkins University’s China Africa Research Initiative (CARI), China telah menghapusbukukan setidaknya 3,4 miliar dollar AS utang Afrika selama 2000-2019. Pinjaman independen asal China dan pinjaman milik perusahaan negara China telah merestrukturisasi dan memperpanjang utang 15 miliar dollar AS terhadap Afrika.
Pertarungan geopolitik Barat versus China telah membuat G-20 gagal fokus. Potensi korbannya adalah puluhan negara yang kini sedang terancam beban utang.
Georgieva bukan tidak melihat masalah itu. Untuk para pembuat kebijakan, kata Georgieva, ini adalah waktu yang jauh lebih kompleks dan membutuhkan upaya kuat lewat kebijakan. ”Biaya akibat langkah yang salah, biaya akibat komunikasi yang buruk sangat tinggi,” kata Georgieva.
Ucapan tersebut merujuk pada langkah Inggris yang semborono. Akan tetapi, kalimatnya sangat pas untuk semua angotra G-20. (AFP/AP/REUTERS)