Strategi Indonesia mengedepankan hasil konkret presidensi G20 berhasil mempertemukan banyak pihak. Konferensi Tingkat Tinggi G20 diharapkan mampu menumbuhkan harapan.
JAKARTA, KOMPAS - Dibayangi dampak konflik Rusia-Ukraina serta sejumlah krisis global, Indonesia tetap optimistis menyambut Konferensi Tingkat Tinggi G20. Optimisme itu, antara lain, dilihat dari pencapaian kesepakatan proyek, program, dan inisiatif kerja sama yang masuk dalam daftar hasil nyata, concrete deliverables.
Dalam wawancara dengan Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, Jumat (28/10/2022), disebutkan, hingga saat ini ada lebih dari 300 proyek dan program kerja sama dalam daftar hasil nyata tersebut. Sebanyak 92 persen dari ratusan rencana pertemuan dapat digelar tanpa satu pun dibatalkan.
”Hingga pekan lalu, pada track sherpa saat saya mengecek ke negosiator, mereka mengatakan sudah 70 persen selesai. Namun, bukan berarti yang 30 persen itu mudah, bisa juga yang 30 persen adalah yang tersulit. Tetapi, yang 70 persen itu menumbuhkan optimisme. Untuk keuangan, masih menyisakan beberapa isu. Negosiasi-negosiasi itu akan dibahas bersama pada 13 November,” kata Retno.
Salah satu kesepakatan kerja sama yang dihasilkan adalah pembentukan Financial Intermediate Fund. Program dalam bidang kesehatan ini diarahkan untuk membangun ketahanan dunia menghadapi pandemi di masa depan. ”Sudah terkumpul komitmen sebesar 1,4 miliar dollar AS,” kata Retno.
Selain itu, terkait isu transformasi digital, dihasilkan kesepakatan untuk membangun koneksi usaha rintisan antarnegara. Demikian pula dalam isu transisi energi.
Retno tidak menampik fakta bahwa isu Ukraina membuat sejumlah pertemuan berlangsung ”hangat”. Bahkan, banyak diketahui, isu Ukraina memicu perbedaan mendalam antarnegara anggota G20. Namun, ketika para pihak diajak kembali membicarakan persoalan substansial, baik dalam bidang ekonomi, sosial, maupun kesehatan, mereka memberi respons positif. ”Jadi, bagi saya, hal ini menumbuhkan optimisme,” kata Retno.
Diplomasi
Capaian itu tidak dapat dipisahkan dari upaya diplomasi para pemangku kepentingan di Indonesia. Dalam wawancara tersebut, Retno menceritakan bagaimana Indonesia terus menjalin komunikasi dengan setiap mitra dialog di setiap negara anggota G20.
”Satu per satu kita datangi dan terus kita ajak bicara. Bahkan, dalam pertemuan menlu G20—yang nadanya sangat politik—sampai saya membacakan catatan ketua, semua menlu tetap duduk mengikuti dan tidak ada keberatan apa pun,” kata Retno.
Awalnya, ia sempat bimbang apakah Indonesia akan mampu menghadirkan dan mendudukkan mereka bersama. Apalagi, pada periode Maret-April, setelah Rusia menyerang Ukraina, suasana pembicaraan sangat suram.
Namun, dengan pendekatan dan komunikasi intensif secara personal, para mitra pun hadir. Ajakan Indonesia kepada para mitra di G20 untuk mengedepankan tanggung jawab bersama—collective responsibility— membuat mereka bersedia duduk bersama. ”Di titik itulah membuat kita percaya diri.
Kerja keras kita menumbuhkan optimisme,” kata Retno.
Di sisi lain, Retno mengapresiasi tanggapan para mitra di G20. Sikap positif mereka turut menumbuhkan optimisme tersebut, bahkan ketika dunia ada dalam situasi yang tidak kondusif.
”Ini bukan soal Indonesia sebagai presiden, tetapi ini adalah bagaimana kita semua bertanggung jawab. Sekeras apa pun Indonesia bekerja, kalau yang lain tidak memberikan dukungan, tidak menunjukkan tanggung jawab kolektifnya, ya, tidak akan ke mana-mana. Karena ini adalah grup, tho, ini bukan individual. Kita saling menghormati. Kita memerlukan kolaborasi dari setiap anggota,” kata Retno.
Modal sosial
Sejauh ini, menurut Retno, capaian positif Indonesia dalam pergaulan internasional ditopang modal sosial yang terbangun sejak lama, yaitu kepercayaan para negara mitra. ”Dalam politik luar negeri, rekam jejak adalah sesuatu. Yang saya rasakan, mereka percaya pada kita. Mereka melihat Indonesia sebagai mitra yang dapat dipercaya, yang berupaya menjembatani segala perbedaan, dan kita tidak pernah bersikap intrusive atau menyerang negara lain,” kata Retno menjelaskan.
Akan tetapi, pada saat yang sama, hal itu bukan berarti Indonesia dapat ditekuk-tekuk. ”Karena kita menghormati prinsip, kita melakukan semua berdasarkan penghormatan pada prinsip, nilai-nilai, dan hukum internasional. Itulah yang saya rasakan, modal utama yang membuat mitra terus mau berbicara dengan Indonesia untuk menyelamatkan G20,” kata Retno.
Indonesia, menurut Retno, memang membidik hasil-hasil konkret sebagai upaya ”membumikan” forum multilateral sekelas G20. Sebagai kumpulan negara dengan PDB besar, G20 diharapkan mampu menunjukkan kepada dunia bahwa seberapa pun besarnya perbedaan yang ada, mereka masih dapat ”dipersatukan” untuk kerja-kerja yang hasilnya dapat dinikmati oleh dunia. ”Itu saja harapan kita sesungguhnya. Let us make multilateralism deliver…,” kata Retno.
Hal senada tampak pada isu lain. Peneliti ekonomi dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Dandy Rafitrandi, mengatakan, G20 kali ini mengutamakan perspektif negara berkembang. Selama ini, kebijakan G20 lebih condong ke kepentingan negara-negara maju.
”Pada dasarnya akademisi memang selalu lebih cair dan tidak terpengaruh sentimen geopolitik karena semua harus berlandaskan fakta,” katanya.
Diskusi di antara lembaga penelitian yang turut melibatkan perwakilan G20 ini bertujuan menciptakan rekomendasi kebijakan berdasarkan data dan kenyataan. Harapannya, Indonesia bisa membuka pintu agar lebih banyak lembaga riset dari negara berkembang
bisa didengar karena memiliki perspektif yang lebih kaya.