Bank Dunia: Negara Miskin Butuh Keringanan Utang G-20 Lebih Cepat
Negara miskin dan berkembang membutuhkan keringanan utang lebih cepat dari G-20. Kebangkrutan negara akan memengaruhi upaya pemulihan global pascapandemi Covid-19.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
AFP/ALBERTO PIZZOLI
Sejumlah aktivis dari Amnesti Internasional, Emergency, dan Oxfam menggelar aksi untuk mengecam situasi ketimpangan akses vaksin di dunia, menjelang berlangsungnya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Piazza Vittorio, Roma. Italia, Jumat (29/10/2021). Negara-negara G-20 telah mendukung pembagian vaksin melalui program Covax yang didukung PBB untuk mengatasi kekurangan vaksin yang parah di sejumlah negara miskin.
WASHINGTON, RABU — Negara miskin dan berkembang membutuhkan keringanan utang dari negara-negara G-20 lebih cepat, termasuk dari China, kreditor terbesar dunia. Perekonomian global akan melihat bangkrutnya negara miskin dan berkembang, sebuah kemungkinan yang perlu diwaspadai di tengah upaya pemulihan pascapandemi Covid-19.
Presiden Bank Dunia David Malpass, saat peluncuran laporan ekonomi terbaru mereka, Selasa (11/1/2022), mengatakan, sejak 2020 resesi ekonomi dunia yang diinduksi pandemi Covid-19 telah menyebabkan 60 persen negara berpenghasilan rendah berisiko tinggi mengalami kesulitan keuangan. Negara berkembang juga mengalami situasi yang sama.
Dalam laporannya, Bank Dunia menyebut, tingkat utang negara-negara yang pasar dan ekonominya tengah tumbuh meningkat dengan laju tercepat dalam tiga dekade terakhir. Sementara, pertumbuhan ekonomi negara-negara berpenghasilan rendah diproyeksikan menguat pada 2022 menjadi 4,9 persen dan meningkat menjadi 5,9 persen pada 2023. Sementara pendapatan per kapita warga di separuh negara berpenghasilan rendah diperkirakan tetap berada di level masa sebelum pandemi.
Pada 2022 saja, menurut laporan tersebut, negara-negara termiskin di dunia menghadapi persoalan kewajiban utang senilai 35 miliar dolar AS, baik kepada kreditor bilateral maupun swasta. Lebih dari 40 persen total nilai kewajiban itu harus disetor ke China setelah masa pembekuan pembayaran utang berakhir tahun lalu.
”Risiko default yang tidak teratur tumbuh. Pengetatan kebijakan moneter di negara maju akan memiliki efek riak,” kata Malpass, mengulangi seruannya untuk mereformasi kerangka umum yang diluncurkan negara ekonomi utama G-20 dan Paris Club pada November 2020.
Kompas
Warga Etiopia yang mengungsi akibat konflik Tigray melindungi diri mereka dari sengatan matahari menggunakan ranting pohon dan dedaunan di kamp pengungsi Um Rakuma, Provinsi Gedaref, Sudan, 18 November 2020. Pandemi Covid-19 dan konflik bersenjata di Etiopia memperparah situasi di negara itu.
Kerangka kerja ini bertujuan memberikan keringanan utang, terutama melalui perpanjangan waktu jatuh tempo dan pengurangan suku bunga bagi negara-negara yang memenuhi syarat moratorium di bawah Inisiatif Penangguhan Layanan Utang (debt service suspension initiative). Namun, kemajuannya dinilai sangat lamban.
”Pengurangan utang yang sangat besar dibutuhkan negara-negara miskin. Jika kita menunggu terlalu lama, akan terlambat,” kata Malpass.
Laporan terbaru Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi di sejumlah negara ekonomi maju, seperti AS, China dan negara-negara di kawasan Eropa dari semula menjadi hanya 4,1 persen pada tahun 2022, dari proyeksi semula 5,5 persen.
Pada 2023, proyeksi ekonomi bahkan lebih suram dengan tingkat pertumbuhan hanya 3,2 persen. Beberapa penyebabnya adalah inflasi, dan permasalahan pada rantai pasokan serta problem-problem yang melingkupi para pekerja. Tak ketinggalan, pandemi Covid-19 serta variannya yang memaksa ekonomi bergerak sangat lambat.
Foto yang diambil pada pertengahan April 2020 di Nairobi, Kenya, memperlihatkan seorang bocah laki-laki melintasi mural yang berisikan pesan bahwa penyakit Covid-19 adalah nyata. Afrika menjadi benua yang paling tertinggal proses vaksinasinya dan hal ini menjadi bukti bahwa nasionalisme vaksin, oleh negara-negara maju, adalah nyata.
Pertumbuhan di negara berkembang diproyeksikan turun menjadi 4,6 persen pada tahun 2022 dan hanya 4,3 persen pada tahun 2023. Sementara di negara-negara yang perekonomiannya rapuh serta masih dalam situasi konflik, proyeksi pertumbuhan ekonomi mereka diperkirakan 7,5 persen di bawah tren pra-pandemi mereka. Bagi negara-negara kepulauan keci, yang perekonomiannya bergantung pada pariwisata, situasinya lebih mengenaskan lagi, dengan proyeksi adalah 8,5 persen di bawah situasi pra-pandemi.
”Perlambatan yang nyata sedang berlangsung. Kebijakan yang mendukung pemulihan ekonomi ditarik dan ada banyak risiko menghadang di hadapan kita,” kata Ayhan Kose, Direktur Kelompok Prospek Bank Dunia.
Kose mengatakan, penyebaran varian Omicron yang cepat menyebabkan gangguan berkelanjutan. Lonjakan kasus Covid-19 yang mulai membebani sistem perawatan kesehatan global telah menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi hingga 0,7 poin.
Tindakan cepat
Malpass mengatakan, klausula tambahan untuk tindakan kolektif ke semua instrumen utang pemerintah dan swasta yang baru diyakini bisa menyeimbangkan kekuatan negara-negara debitur dan kreditur.
Dia mencontohkan situasi yang tengah dihadapi Chad, negara pertama yang meminta restrukturisasi utang di bawah kerangka kerja G-20 setahun yang lalu, hingga kini masih menunggu penyelesaian prosesnya. Sejauh ini, dalam catatan Malpass, baru tiga negara yang mengajukan restrukturisasi utang. Tapi, bukan berarti negara lainnya tidak membutuhkannya.
AP PHOTO/GREGORIO BORGIA
Pekerja memeriksa spanduk yang terpasang di pusat konvensi La Nuvola tempat berlangsungnya Konferensi Tingkat Tinggi G-20 di Roma, Italia, Kamis (28/10/2021).
Kepala Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva dan Direktur Departemen Strategi, Kebijakan, dan Tinjauan IMF Ceyla Pazarbasioglu memiliki pandangan serupa dengan Malpass. Pengalaman Chad, Etiopia, dan Zambia, kata mereka, memperlihatkan bahwa kerangka bersama restrukturisasi utang di luar kerangka DSSI harus ditambah.
Alasan keterlambatan yang dialami Chad bermacam-macam, mulai dari mengoordinasi negara-negara anggota Paris Club dan kreditor lainnya. Selain itu, lembaga pemerintah di negara kreditor membuat proses pengambilan keputusan berjalan lambat. Dalam kasus Chad, merestrukturisasi utang yang salah satunya dilakukan pihak swasta kepada sejumlah bank serta lembaga keuangan swasta, memperumit prosesnya.
”Juga sangat penting bahwa kreditor sektor swasta memberikan keringanan utang dengan persyaratan yang sebanding,” kata Georgieva dan Pazarbasioglu.
Anak-anak korban konflik Suriah menyaksikan sebuah acara peringatan Hari Anak Internasional di kamp pengungsi Harabush, Provinsi Idlib, Suriah, 20 November 2021. Konflik telah mempersulit negara-negara miskin keluar dari kemiskinan.
Malpass mengatakan, di bawah Presidensi Indonesia, negara-negara anggota G-20 bisa memberikan jalan keluar soal permasalahan utang negara-negara miskin dan berkembang. Selain itu, perlu membangun dialog dengan Pemerintah China serta mendorong investasi di negara-negara seperti Chad, Zambia, dan Sri Lanka jika permasalahan utang ini bisa diatasi.
Tingkat utang yang tinggi dan terus meningkat membuat pasar dan institusi akan semakin rentan mengalami tekanan keuangan. Hal ini terutama bisa terjadi di negara-negara yang situasi fiskalnya lemah dan utang negara yang besar sehingga membuat pemerintah memiliki ruang sempit untuk mengeluarkan kebijakan efektif untuk memperbaiki situasi ekonominya. (AP/AFP/Reuters)