Di balik rivalitas kekuatan dunia yang kian mengeras selalu ada ruang untuk merajutnya menjadi kerja sama. Semua ini sedang diupayakan Indonesia lewat G20.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
AFP/DEVI RAHMAN
Warga berjalan di depan gerbang Istana Kepresidenan Yogyakarta, yang memajang logo G20 di Yogyakarta, 30 Oktober 2022. Sebagai Ketua G20 tahun ini, Indonesia akan menggelar KTT G20 di Bali, 15-16 November 2022.
Pandangan optimistis dalam menyikapi konflik dan rivalitas di dunia, termasuk di antara kekuatan-kekuatan utama global, sudah beberapa kali diangkat. Salah satunya, yang dapat dikutip di sini, yakni pemaparan dua pakar dari Harvard Kennedy School, Dani Rodrik dan Stephen M Walt. Dalam artikelnya di jurnal Foreign Affairs (September/Oktober 2022), keduanya yakin betul bahwa di tengah dunia yang anarkistis seperti saat ini, rivalitas kekuatan-kekuatan dunia itu bisa dibatasi.
Bahkan, dengan kerangka kerja yang tepat, rivalitas mereka dapat dikelola untuk mewujudkan tata dunia lebih ramah. Kekuatan-kekuatan dunia, seperti Amerika Serikat dan China, tulis Rodrik dan Walt, mungkin ”bersaing di beberapa area, (tetapi) bekerja sama pada area-area lain, serta mencermati aturan-aturan baru dan lebih fleksibel dalam perjalanan yang dirancang untuk menjaga elemen-elemen utama ekonomi dunia terbuka dan mencegah konflik bersenjata”.
Melalui kerangka kerja yang disebut dengan ”meta-rezim”, kedua pengamat itu optimistis akan terwujud dunia tempat kekuatan-kekuatan utama dunia bekerja sama secara aktif di beberapa area. Misalnya, dalam upaya mengurangi efek perubahan iklim, meningkatkan kesehatan global, mengurangi ancaman senjata pemusnah massal, dan bekerja sama mengelola krisis-krisis kawasan.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyampaikan keterangan kepada wartawan terkait pertemuannya dengan Presiden Joko Widodo di Istana Presiden, Jakarta, Senin (31/10/2022). Pertemuan tersebut membahas G20 khususnya terkait pimpinan negara yang akan hadir pada KTT G20 di Bali, 15-16 November 2022.
Tidak butuh seperangkat aturan detail dan jelimet, seperti di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) atau organisasi-organisasi internasional lainnya, untuk menopang kerangka kerja tersebut. Upaya ini hanya mensyaratkan kesepakatan yang minimal pada prinsip-prinsip utama serta pengakuan bahwa akan selalu ada perbedaan untuk menangani banyak isu.
Membaca uraian penuh optimistis dalam memandang situasi dunia saat ini, seperti di atas, hingga batas tertentu kelihatannya seperti itu yang sedang dijalankan Indonesia sebagai Ketua G20. Kurang dari dua pekan lagi, Indonesia menggelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali.
Seperti dipaparkan Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, ada optimisme dalam perhelatan akbar KTT itu. Optimisme ini didasarkan pada pencapaian kesepakatan proyek, program, dan inisiatif kerja sama.
KOMPAS
Dibayangi dampak konflik Rusia-Ukraina serta sejumlah krisis global, Indonesia tetap optimistis menyambut Konferensi Tingkat Tinggi G20. Optimisme itu, antara lain, dilihat dari pencapaian kesepakatan proyek, program, dan inisiatif kerja sama yang masuk dalam daftar hasil nyata, concrete deliverables. Selengkapnya dalam wawancara Harian Kompas dengan Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi.
Hingga saat ini sudah disepakati 300 proyek dan program kerja sama, salah satunya pembentukan Financial Intermediate Fund untuk membangun ketahanan dunia menghadapi pandemi di masa depan.
Seperti diketahui, ada tiga isu utama yang dirajut Indonesia sebagai Ketua G20: penguatan arsitektur kesehatan global, transisi energi, dan transisi digital. Pilihan tiga isu utama itu sungguh tepat. Isu-isu itu merupakan kepentingan semua negara, termasuk negara-negara kekuatan utama.
Dengan postur mitra tepercaya dalam menjembatani perbedaan, Indonesia mampu membangunkan negara-negara besar itu pada tanggung jawab bersama menjaga dunia.