Krisis yang melanda dunia saat ini menunjukkan pentingnya suara dari negara-negara berkembang. Sebab, organisasi besar dunia sedang tidak baik kinerjanya dan kekuatan besar dunia sibuk dengan urusan internal.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bumi bagian selatan yang dikenal dengan istilah Global South terdiri dari negara-negara berkembang. Suara dan kiprahnya semakin dibutuhkan untuk memastikan dunia tidak hanya berjalan secara multipolar, tetapi juga tertata dan terkoordinasi.
Istilah Global South atau Selatan Dunia dipakai untuk menunjukkan belahan Bumi yang terdiri dari Benua Asia, Afrika, Australia, dan Amerika Latin. Hampir semua negara di belahan ini berkembang. Berbeda dengan Utara Dunia yang terdiri dari Eropa dan Amerika Utara yang mayoritas merupakan negara maju serta mapan.
”Saat ini, suara dari Selatan Dunia sangat penting karena dunia dilanda krisis keamanan, pangan, dan energi,” kata Gurjit Singh, mantan Duta Besar India untuk Jerman, Indonesia, dan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dalam seminar daring ”Abad ke-21 Punya Siapa?” pada Rabu (26/10/2022). Acara itu diadakan oleh Foreign Policy Community Indonesia.
Ia menjelaskan, organisasi-organisasi besar dunia, antara lain Perserikatan Bangsa-Bangsa dan G7 (himpunan tujuh negara terkaya dunia), kinerjanya sedang tidak baik. Bahkan, perkumpulan 19 negara berperekonomian terbesar dunia dan ditambah Uni Eropa atau G20 juga tidak berjalan maksimal.
Kekuatan-kekuatan besar ini tidak bisa bermusyawarah dan bermufakat. Mereka sibuk dengan gejolak internal. Di berbagai organisasi, termasuk G20, yang terjadi adalah konsolidasi kekuatan di bawah kubu-kubu negara adidaya ataupun kaya.
”Di G20, sekarang adalah kesempatan emas. Tahun ini ketuanya Indonesia, tahun depan India, tahun 2023 Brasil, dan kemungkinan tahun 2024 Afrika Selatan. Kita punya empat tahun untuk mendorong agenda-agenda yang lebih membumi dan berlandaskan kepentingan umum,” tutur Singh.
Menurut dia, ini adalah forum negara berkembang untuk maju dan suaranya didengar. Pada saat yang sama, Selatan Dunia juga harus membenahi diri dan mengumpulkan sumber daya masing-masing untuk membangun kerja sama. Secara perlahan, Selatan Dunia harus mulai mengurangi ketergantungan dari pendanaan negara-negara kaya. Kerja sama tetap harus ada, tetapi tidak boleh mengakibatkan ketidaksetaraan posisi.
”Selatan Dunia saat ini mengandalkan suntikan dana dari G7 ataupun proyek Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) China. Kita juga harus membangkitkan kelembagaan masing-masing dan mengumpulkan sumber daya,” ujarnya.
Dalam hal ini, Selatan Dunia harus mengampanyekan kerja sama, bukan kompetisi. Pemimpin-pemimpin internasional saat ini diminta agar memikirkan pembangunan, bukan agenda strategis. Oleh sebab itu, butuh masyarakat sipil yang bisa diandalkan serta kemampuan untuk mengelola sistem agar dipercaya di skala internasional.
”Di sini perkerjaan rumah kita semua di Selatan Dunia, yakni membenahi sistem dan kelembagaan masing-masing. Sambil melakukannya, kita kampanyekan pula mengenai kepemimpinan kolektif di dunia yang multipolar dan terkelola,” tutur Singh.
Pendapat serupa diutarakan Stephane Gompertz, mantan Duta Besar Perancis untuk Etiopia dan Austria. Ia menuturkan, keragaman di Selatan Dunia adalah kekayaan karena memberi berbagai perspektif yang sekarang tidak bisa lagi diacuhkan.
”Amerika Serikat memang masih kuat, tetapi mereka kini tidak sendirian. Kekuatan-kekuatan baru, misalnya China, bermunculan. Ini memberi pilihan bagi Selatan Dunia, asalkan sistem kerja sama yang ditawarkan sehat dan berimbang,” katanya.
Gompertz menerangkan, komunikasi dan teknologi membuat peran sektor swasta semakin meningkat. Perusahaan-perusahaan raksasa seperti Alibaba milik Jack Ma dan Starlink milik Elon Musk membantu mengubah wajah dunia. Akan tetapi, hal terpenting ialah menjamurnya kewiraswastaan dan kewirausahaan, terutama di negara-negara berkembang. Ini memberi lebih banyak panggung bagi masyarakat sipil.
Aktifnya masyarakat adalah pintu masuk untuk membahas masalah universal seperti mengatasi krisis iklim, pelestarian lingkungan, dan pemenuhan kebutuhan energi. Dunia membutuhkan koordinasi lebih banyak dibandingkan dengan era sebelumnya. Di zaman sekarang, kepemimpinan adalah kemampuan mengelola relasi, bukan mendominasi.
Solusi kawasan
Direktur Utama Bank Perdagangan dan Pembangunan (TDB) yang beroperasi di Benua Afrika, Admassu Tadesse, mengemukakan pentingnya mengutamakan solusi dari kawasan dalam mengatasi suatu permasalahan. Artinya, jangan terlampau cepat meminta bantuan dari pihak luar kawasan apabila negara-negara di sekitar masih mampu mencari jalan keluar.
Ia mencontohkan Libya dan beberapa negara di Afrika Barat yang hingga sekarang tidak bisa bergabung dengan TDB karena masalah keamanan, ketidakstabilan, dan terorisme. Apabila ditelusuri, penyebab kekacauan adalah intervensi global yang tidak tepat.
”Kawasanlah yang paling mengenal permasalahan dan budaya sendiri. Misalnya, masalah di Afrika harus dicari jalan keluarnya bersama-sama oleh negara-negara di Afrika sendiri. Jika kita bisa bertanggung jawab dengan diri sendiri, baru bisa menarik mitra untuk bekerja sama,” kata Tadesse.