Polusi Udara dari Konsumen G-20 Picu 2 Juta Kematian Dini
Partikel pencemar berukuran kurang dari 2,5 mikron sangat berbahaya, mudah terhirup, dan bisa menumpuk di dalam paru-paru sehingga sangat meningkatkan risiko kanker dan penyakit mematikan lainnya.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Partikel pencemar berukuran kurang dari 2,5 mikron atau dikenal sebagai PM 2,5 bertanggung jawab atas lebih dari 4 juta kematian dini secara global setiap tahun. Separuh dari kematian dini itu atau sekitar 2 juta di antaranya disebabkan oleh produksi barang untuk konsumen di negara-negara G-20.
Data tentang masifnya polusi yang disebabkan oleh pola konsumsi di kelompok negara G-20 ini dilaporkan dalam kajian yang dipimpin oleh Keisuke Nansasi dari Material Cycles Division, National Institute for Environmental Studies, Jepang. Kajian diterbitkan di jurnal terkemuka Nature Communications pada Selasa (2/11/2021).
Riset ini mengungkap bahwa PM 2,5 sangat berbahaya, mudah terhirup, dan bisa menumpuk di dalam paru-paru sehingga sangat meningkatkan risiko kanker dan penyakit mematikan lainnya. ”Kebanyakan kematian terjadi di negara berkembang dan tanpa koordinasi internasional situasinya akan memburuk,” kata Keisuke Nansai dalam keterangan tertulis.
Sekalipun sebagian besar negara mengakui bahwa mereka berkontribusi pada tingkat pencemaran PM2,5, hanya ada sedikit kesepakatan tentang seberapa besar tanggung jawab keuangan mereka. Secara khusus, yang jauh lebih sulit diukur daripada produksi langsung PM2,5 oleh pabrik dan mobil adalah jumlah yang disebabkan oleh konsumsi.
”Ini (pencemaran dari konsumsi) adalah pertanyaan penting untuk dijawab,” kata Nansai.
Tidak seperti produksi langsung, yang pertama-tama memengaruhi negara produsen dan kemudian menyebar melintasi perbatasan ke negara-negara tetangga, PM 2,5 yang disebabkan oleh konsumsi dapat berasal dari negara-negara yang jauh. Permintaan konsumen dari negara-negara G-20 itu memicu produksi di sejumlah negara lain, khususnya negara berkembang, yang kemudian memicu polusi PM 2,5 di negara produsen tersebut.
Pada tahun 2010, konsumsi barang di 19 negara G-20 mengakibatkan hampir 2 juta kematian dini terkait polusi udara di seluruh dunia dengan 78.600 di antaranya bayi. Tim tersebut telah menyerukan lebih banyak kolaborasi di antara negara-negara G-20 untuk menekan kematian terkait polusi udara yang disebabkan dari pembelian barang.
Untuk menghitung angka-angka ini, tim memetakan materi PM 2,5 dan memperkirakan dampak kesehatan di 199 negara. Partikel halus ini timbul dari pembuatan, pengangkutan, dan pembuangan barang. Mereka termasuk karbon hitam, atau jelaga, yang dipancarkan ketika solar, batubara dan bahan bakar biomassa lainnya dibakar, bersama dengan partikel sekunder yang terbentuk di atmosfer sebagai akibat dari emisi lainnya.
Perdagangan global berarti bahwa konsumsi di satu negara dapat menyebabkan polusi PM 2,5 di negara lain sehingga tim menggunakan data perdagangan dari 19 negara G-20 untuk membuat ”jejak polusi” yang mewakili dampak kesehatan dari konsumsi satu negara di negara lain.
China memiliki jumlah kematian dini terbesar yang disebabkan oleh partikel PM 2,5, diikuti oleh India, Amerika Serikat, Rusia, dan Indonesia. Dengan pengecualian AS, sebagian besar kematian ini berada di dalam perbatasan mereka sendiri. Namun, konsumsi barang di AS dan 10 negara G-20 lainnya mengakibatkan lebih dari 50 persen kematian dini terkait PM 2,5 di negara lain.
”Pencemaran dalam bentuk emisi produksi menciptakan motif untuk menerapkan langkah-langkah pengurangan PM 2,5 bersama di negara-negara tetangga. Kerja sama seperti itu tidak mungkin dilakukan di antara negara-negara yang secara geografis berbeda,” kata Nansai.
Anggota G-20 membuat lebih dari tiga perempat perdagangan internasional dan output ekonomi dunia. Oleh karena itu, Nansai dan rekan-rekannya beralasan, memahami dampak konsumsi negara-negara ini terhadap tingkat PM 2,5 akan memberikan patokan yang penting.
Menggunakan Eora, database yang dibuat hampir satu dekade sebelumnya untuk mengukur rantai pasokan global di seluruh dunia, studi tersebut memetakan emisi yang dihasilkan oleh konsumsi saja.
Studi menunjukkan bahwa konsumsi oleh negara-negara konsumen terbesar di dunia, seperti Amerika Serikat dan Inggris, menyebabkan sejumlah besar kematian dini di negara-negara yang jauh, seperti China dan India. Sementara kematian dini yang disebabkan oleh kebiasaan produksi lebih sering terjadi di negara-negara tetangga, seperti Meksiko dan Jerman.
Korban PM 2,5 prematur juga sebagian besar berusia lanjut. Namun, tidak seperti Covid-19, penelitian ini menemukan kelompok lain yang sangat rentan terhadap PM 2,5 yang dihasilkan oleh konsumsi.
”Kami menemukan bahwa konsumsi negara-negara G-20 bertanggung jawab atas 78.000 kematian prematur balita (bawah lima tahun) di seluruh dunia,” catat Nansai.
Efeknya tidak terlalu besar di sebagian besar negara G-20 sehingga rata-rata usia kematian dini hampir 70 tahun. Namun, di beberapa negara, yaitu Afrika Selatan dan Arab Saudi, kematian bayi prematur begitu lazim dan usia rata-rata kematian dini di bawah 60 tahun. Demikian pula, usia rata-rata kematian dini di India dan Indonesia hampir tidak melewati ambang batas ini.
Nansai dan rekan-rekannya menekankan bahwa jika konsumsi tidak dipertimbangkan, maka sebagian besar negara tidak akan berpikir bahwa mereka harus membayar hukuman apa pun atas kematian ini. ”Selama tanggung jawab atas kematian bayi karena emisi produksi adalah satu-satunya masalah yang dikejar, kita tidak dapat menemukan alasan bagi negara-negara untuk menghadapi kematian massal bayi (di negara-negara yang jauh),” tulis mereka dalam penelitian tersebut.
Terakhir, untuk menekankan dampak tingkat PM 2,5 dari tingkat konsumsi saja terhadap kesehatan manusia, studi tersebut menyimpulkan bahwa konsumsi seumur hidup 28 orang di negara-negara G-20 akan menyebabkan kematian dini satu orang di seluruh dunia.