Kesiapan masyarakat berpendidikan dan berpenghasilan lebih tinggi dalam hal transisi energi menjadi indikasi baik. Seiring Presidensi G20 Indonesia, ini menjadi momentum untuk menunjukkan komitmen Indonesia.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA, MARIA PASCHALIA JUDITH JUSTIARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketertarikan masyarakat untuk beralih ke energi bersih menjadi sentimen positif bagi investor di bidang transisi energi. Minat ini perlu dibarengi dengan dukungan skema pembiayaan agar masyarakat dapat menggunakan energi terbarukan dalam keseharian. Meski demikian, program transisi energi harus disosialisasikan lebih gencar.
Tanggapan positif masyarakat itu terangkum dalam kajian yang disusun Litbang Kompas berjudul ”Siapkah Masyarakat? Bertransformasi dalam Penerapan Energi Baru Terbarukan, Ekonomi Digital, dan Investasi Hijau”. Laporan (white paper) diserahkan Kompas kepada Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, di Jakarta, Rabu (19/10/2022), sebagai sumbangan gagasan untuk Presidensi G20.
Penelitian itu bersumber dari jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas pada periode 16-19 September 2022 melalui panggilan telepon dengan penentuan sampel secara acak. Responden berjumlah 502 orang dari 34 provinsi.
Dari kajian tersebut, sebanyak 59,9 persen responden menyatakan tertarik beralih dari energi berbasis bahan bakar minyak ke energi bersih. Masyarakat juga sudah mengenal ragam sumber energi terbarukan. Sebanyak 65,5 persen responden mengetahui tenaga angin sebagai sumber energi terbarukan, tenaga air (60,7 persen), dan bioenergi (60,7 persen).
Direktur Perencanaan Korporat dan Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Hartanto Wibowo mengatakan, isi laporan terutama mengenai kesiapan masyarakat berpendidikan dan berpenghasilan lebih tinggi dalam hal transisi energi menjadi indikasi baik. Seiring Presidensi G20 Indonesia, hal itu menjadi momentum untuk menunjukkan Indonesia berkomitmen bertransisi energi.
”Saat masyarakat berkeinginan mengubah gaya hidup yang lebih hijau, potensi investasi Indonesia terhadap energi hijau semakin besar. Ini membuka peluang berbagai lapangan kerja. Industri di Indonesia pun akan tumbuh. Transisi energi yang dikembangkan membuat tingkat komponen dalam negeri (TKDN) meningkat,” ujar Hartanto.
Agus Gumiwang Kartasasmita menilai, laporan tersebut dapat menjadi rujukan bagi pemerintah dalam menyusun kebijakan. ”Kita harus memperhatikan transisi energi yang berkeadilan dan juga terjangkau,” katanya.
Transisi energi, ujar Agus, berkaitan dengan transisi industri yang lebih ramah lingkungan. Transisi tersebut membutuhkan teknologi. Selain itu, pelaku industri juga perlu menerapkan prinsip-prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG).
Terkait penerapan ESG, Partner East Ventures Melisa Irene menilai, penyusunan kerangka pemantauan dan pengukuran dampak ESG untuk perusahaan-perusahaan yang didanai dengan beragam sektor menjadi tantangan. ”Misalnya, seperti apa indikator lingkungan untuk perusahaan yang bergerak di bidang kesehatan,” ujarnya.
Vice CEO PT Pan Brothers Tbk Anne Patricia Sutanto menambahkan, pihaknya berkomitmen mendukung transisi energi, termasuk melalui Kadin Net Zero Hub. Upaya mendorong peralihan ke energi bersih tak hanya berkait membangun infrastruktur, tetapi juga ekspor produk ke negara-negara anggota G7.
”Mereka (anggota G7) lebih dulu (dalam transisi energi). Agar tidak kehilangan pasar dari negara-negara tersebut, Pan Brothers di tingkat domestik berinisiatif untuk menjadi pionir. Selain terkait pasar, jika tingkat polusi lebih rendah, hal itu akan baik bagi Indonesia, terkait kesehatan ataupun ekonomi,” kata Anne.
Kendati demikian, menurut Litbang Kompas, proporsi responden yang siap dan bersedia membayar lebih untuk tarif energi terbarukan sebesar 25,8 persen. Sebanyak 29,5 persen dari responden menyatakan tak siap dan tidak bersedia membayar lebih untuk tarif energi terbarukan. Adapun proporsi masyarakat yang tidak siap tetapi bersedia membayar lebih sebanyak 26,4 persen.
Menurut Peneliti Senior Litbang Kompas Bambang Setiawan, program transisi energi yang diinisiasi pemerintah mesti menyasar kelompok masyarakat dengan ketertarikan, kesediaan, dan kemampuan yang tinggi. ”Mulai dari kelompok masyarakat kelas status sosial ekonomi tinggi dan yang berada di perkotaan,” ujarnya.
Selain itu, 75,9 persen responden juga tidak mengetahui program transisi energi yang diinisiasi pemerintah. Dengan demikian, sosialisasi program transisi energi oleh pemerintah perlu diperkuat.
Laporan yang sama menggarisbawahi permasalahan yang dihadapi pelaku usaha mikro dan kecil (UMK), baik di tingkat hulu maupun hilir. Di tingkat hulu, persoalan utama ialah permodalan, sedangkan di tingkat hilir, pelaku UMK masih perlu pendampingan dalam promosi produk, digitalisasi pasar, dan sertifikasi produk.
Untuk memberikan pengetahuan kepada pelaku usaha jenis itu, Direktur Eksekutif Lazada Indonesia Ferry Kusnowo mengatakan, program pelatihan mesti sederhana dan mudah dipahami. ”Dalam program pelatihan, kerap kali yang ikut mencapai 100 orang. Namun, jumlah yang akhirnya berjualan secara daring kurang dari dua digit. Padahal, UMKM merupakan penopang transformasi digital,” tuturnya.