Selaraskan Isu G20-G7 untuk Akomodasi Suara Negara Miskin-Berkembang
T20 menyatakan, penyelarasan dan keberlanjutan isu pemegang presidensi G20 dan G7 sangat penting untuk pemulihan dunia, juga agar suara dan kepentingan negara miskin dan berkembang jadi perhatian negara-negara maju.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
KOMPAS/MAHDI MUHAMMAD
Lead Co-Chair T20 Indonesia Bambang Brodjonegoro (keempat dari kiri) sedang memeriksa sabak elektroniknya dalam diskusi panel para ahli dari negara-negara anggota G7 dan G20 pada KTT T20 Indonesia di Nusa Dua, Bali, Selasa (6/9/2022).
NUSA DUA, KOMPAS — Lembaga think tank dan sejumlah ahli menilai pentingnya keselarasan isu yang perlu dibahas oleh negara-negara anggota G20 dan negara G7 untuk keberlanjutan proses pemulihan dalam jangka pendek, menengah, dan panjang.
Penyelarasan itu menjadi penting agar suara dan kepentingan dari negara-negara miskin berkembang menjadi perhatian negara-negara ekonomi maju. Dengan demikian, diharapkan proses pemulihan pascapandemi Covid-19 bisa dirasakan oleh semua negara.
Hal itu mengemuka dalam sesi Prospek Pengembangan T7 dan Dinamika T7-T20 Konferensi Tingkat Tinggi T20 di Nusa Dua, Bali, Selasa (6/9/2022). T20 adalah kelompok kerja think tank (lembaga pemikir) bagian dari G20 atau 20 negara dan organisasi regional dengan perekonomian terbesar di dunia. Di G7 atau kelompok tujuh negara maju, pokja serupa bernama T7.
Terhitung November 2022, seusai KTT G20 di Bali, India akan memegang Presidensi G20, melanjutkan tongkat estafet keketuaan dari Indonesia. Jepang akan memimpin G7, meneruskan keketuaan yang tahun ini dipegang Jerman.
Bambang Brodjonegoro, Lead Co-Chair T20 Indonesia, mengatakan, Indonesia di satu sisi bekerja sangat keras untuk menjaga agar upaya pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19 tetap berjalan sesuai jalurnya meski saat ini terganggu perang di Ukraina. Pada saat yang sama, dia juga memahami bahwa negara-negara anggota G7 memiliki agenda dan kepentingan mereka sendiri.
Namun, harus disadari oleh negara-negara anggota G7, lanjut Bambang, bahwa dalam upaya mengembalikan kondisi dunia seperti sebelum pandemi, negara-negara ekonomi maju tidak bisa bekerja sendirian. Mereka harus bekerja sama dengan negara-negara lain yang juga menginginkan hal sama, yaitu keluar dari situasi krisis.
AP PHOTO/ CHINEDU ASADU
Seorang warga, yang terusir dari kampung halamannya (internally displaced person) di kamp pengungsi Guma IDP, tengah menyiapkan makanan untuk keluarganya di sebuah kamp di Negara Bagian Benue, Nigeria, 6 Januari 2022.
Bambang mencontohkan soal pemulihan ekonomi. Negara-negara anggota G7 tidak bisa pulih sendirian tanpa keterlibatan negara-negara non-anggota G7. Pada saat bersamaan, pemulihan ekonomi juga terkait dengan masalah perubahan iklim dan transisi energi.
Tiga isu tersebut, menurut Bambang, menjadi perhatian dan kepentingan tak hanya negara-negara maju, tetapi juga negara-negara miskin dan berkembang. Seperti halnya negara maju, negara miskin dan berkembang sangat membutuhkan proses pemulihan ekonomi yang meluluhlantakkan perekonomian mereka selama pandemi Covid-19. Disrupsi berupa perang semakin tidak menguntungkan negara miskin dan berkembang yang telah tertatih-tatih memulihkan dirinya dari dampak pandemi.
Anna-Katharina Hornidge, Direktur German Development Institute sekaligus Co-Chair T7 Jerman 2022 mengatakan, melibatkan Indonesia dalam proses penyelarasan isu antara G20 dan G7 adalah salah satu upaya menciptakan ruang dialog berkelanjutan, tak hanya bagi para ahli dan lembaga pemikir, tetapi juga para pengambil kebijakan dan kepala pemerintahan.
Pada Mei lalu, Indonesia sebagai pemegang Presidensi G20 2022 diundang Pemerintah Jerman menghadiri beberapa kegiatan G7. Indonesia diundang juga karena memiliki agenda serupa dengan yang tengah diusung Jerman, yaitu sama-sama menekankan isu perubahan iklim dan transisi energi.
Platform dialog
Sachin Chaturvedi, Direktur Jenderal Sistem Informasi dan Riset India untuk Negara-negara Berkembang—lembaga yang dibiayai Pemerintah India—mengatakan, pada presidensi G20 mendatang, Pemerintah India menginginkan agar T20 jadi platform dialog bagi negara-negara selatan yang selama ini diasosiasikan negara miskin dan berkembang.
Dia mengatakan, sebelum Presidensi G20 dipegang oleh Indonesia, sebanyak 92-94 persen ”policy brief” yang dihasilkan mewakili suara dan pandangan negara-negara utara, yang diasosiasikan sebagai kelompok negara maju. Hal itu bisa terjadi, menurut Chaturverdi, karena negara-negara selatan tidak memiliki lembaga think tank atau lembaga penelitian yang bisa menggemakan kebutuhan kelompok negara tersebut.
KOMPAS/MAHDI MUHAMMAD
Lembaga pemikir global yang tergabung dalam T20 Indonesia, Senin (5/9/2022), di Nusa Dua, Bali, berhasil menghasilkan komunike setelah lebih dari lima bulan terakhir bekerja. Mereka mendorong para pemimpin negara anggota G20 menjalin kerja sama untuk mempercepat pemulihan global pascapandemi Covid-19.
Dia memandang, hal ini berubah saat Indonesia memegang Presidensi G20. ”Ini telah dilakukan oleh Indonesia ketika membawa suara-suara dari luar Jakarta. Keberagaman. Membawa aktor baru,” kata Chaturverdi.
India ingin melanjutkan hal yang telah dilakukan Indonesia. ”Penting bagi kami untuk membawa atau menjadikan presidensi berikutnya sebagai platform bagi suara-suara dari selatan,” lanjut Chaturvedi.
Sementara Hornidge kembali mengemukakan pentingnya negara-negara anggota G7 untuk membahas mengenai relaksasi atau bahkan pemutihan utang bagi negara-negara miskin. Agenda ini tidak menjadi bagian dari agenda G7 tahun 2022.
Dia berharap, kepemimpinan Jepang tahun 2023 bisa membawa agenda relaksasi utang negara miskin dan berkembang tersebut kembali dibahas para pemimpin negara maju, termasuk dengan mengajak China dan para kreditor swasta.
Tetsushi Sonobe, Dekan dan CEO Institute Bank Pembangunan Asia, memandang keberlanjutan dan penyelarasan isu menjadi sangat penting agar proses pembahasannya tidak mengulang dari nol. Menurut dia, Pemerintah Jepang bersikap terbuka untuk menerima masukan dari semua ahli dan lembaga think tank soal kebijakan atau isu yang mungkin menarik dan perlu dibahas.
”Itu akan menstimulasi diskusi para pemimpin, pengambil kebijakan untuk membantu mereka agar lebih baik dalam pengambilan keputusan,” kata Sonobe.