Kematian Mahsa Amini mendapat perhatian dunia, tidak terkecuali Indonesia. Kedutaan Besar Iran di Jakarta mencoba menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi di negara mereka saat ini.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·5 menit baca
Kematian Mahsa Amini, gadis muda berusia 22 tahun ketika tengah menjalani bimbingan oleh Gasht-e Irsyad (polisi moral penegak hukum Islam Iran), telah menyengat Pemerintah Iran. Gelombang unjuk rasa menggugat tindakan polisi moral tersebut tidak hanya terjadi Saqqez, wilayah Kurdistan, kota asal Amini, akan tetapi menyebar ke seluruh wilayah di negara tersebut dan bahkan telah menyedot perhatian global.
Demonstrasi itu sendiri juga telah memakan korban jiwa. Nika Sharamai, yang akan genap berusia 17 tahun, juga ditemukan tewas setelah menghilang selama 10 hari usai berdemo, menggugat kematian Amini. Mengutip catatan Kantor Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (OHCHR), sebanyak 23 anak-anak tewas dan ratusan lainnya terluka setidaknya di tujuh provinsi, saat aksi mereka bentrok dengan aparat keamanan. Mereka tewas karena tembakan peluru tajam yang keluar dari moncong aparat dalam jarak dekat dan juga karena pukulan benda keras.
Jurnalis dan aktivis menjadi sasaran penangkapan aparat karena diduga menjadi salah satu pemicu kemunculan gerakan pembangkangan anak-anak muda, khususnya gadis muda Iran. Melalui berbagai platform sosial media, mereka memperlihatkan keberanian, menuntut pertanggungjawaban Pemerintah Iran atas kematian Amini dan kawan-kawan. Mereka juga menuntut hak yang lebih luas bagi kaum perempuan Iran.
Sebaliknya, dalam pandangan Pemerintah Iran, aksi kaum muda ini tidaklah sebuah aksi yang murni. Pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei, Presiden Ebrahim Raisi dan hingga para jenderal menuding bahwa aksi ini ditunggangi musuh-musuh Iran, terutama Amerika Serikat dan Israel, yang dinilai ingin meruntuhkan pemerintahan Iran yang dibangun setelah Revolusi Iran 1979.
Kelompok Kurdi, dituding didukung oleh AS dan Israel untuk merongrong kekuasaan Iran dan menjadi sasaran tembak Pasukan Garda Revolusi Iran.
Aturan Berpakaian
Tanda tanya besar soal kematian Amini, yang berasal dari wilayah Kurdistan, mengemuka. Terutama soal pakaian yang dikenakannya saat ditangkap oleh polisi moral di Teheran, kota yang untuk pertama dan terakhir kalinya dikunjungi sebelum menghembuskan nafas terakhir.
Situasi itu membuat Duta Besar Republik Islam Iran Mohammad Azzad mengundang kehadiran sejumlah media di Jakarta, Rabu (19/10/2022) ke kediamannya.
Azzad menjelaskan, dengan penduduk mayoritas Muslim, warga Iran sepakat bahwa penggunaan hijab atau jilbab menjadi sebuah nilai moral dan aturan berkehidupan di negara itu. Hijab dinilai sebagai garis merah, sebuah kewajiban untuk dikenakan dan ditaati.
Azzad mengatakan, peraturan soal hijab atau jilbab di Iran hanyalah satu dan itu berlaku di seluruh negeri. Akan tetapi, dalam kenyataannya, Pemerintah Iran, kata dia, tidak menutup mata soal keberagaman model hingga cara mengenakan hijab di seantero negeri.
“Ada yang pake cadar, syal, orang memiliki preferensi masing-masing soal hijab. Ada yang juga mengenakan hijab tidak ketat, longgar. Dan hal itu tidak menjadi persoalan,” kata Azzad. Dia juga mengakui batasan hijab yang sesuai dengan budaya dan agama yang dianut oleh mayoritas warga juga kini tengah menjadi perbincangan. Pendekatan dan selera berbeda-beda dalam persoalan hijab.
Mengenai Amini, menurut Azzad, gadis muda yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Ibu Kota Teheran mengenakan jilbab atau syal terbuka (cenderung mirip kerudung di Indonesia). Di saat itulah, kata Azzad, polisi moral yang berada di dekat lokasi menilai ada ketidaktaatan terhadap aturan yang berlaku secara kolektif di Iran. Amini, menurut Azzad, kemudian diarahkan untuk mengikuti bimbingan lebih lanjut di pusat bimbingan terkait penggunaan hijab.
Azzad menyatakan, polisi moral menilai pakaian yang dikenakan Amini kurang memenuhi aturan yang berlaku di Iran. Itu sebabnya Amini diarahkan polisi moral untuk mendapat arahan dan bimbingan.
Kematian Amini sendiri disesalkan oleh Pemerintah Iran. Azzad, dalam penjelasannya, 19 ahli forensik telah melaporkan hasil penyelidikan mereka ke parlemen dan menyatakan kematian Amini bukan karena kekerasan. Amini, kata Azzad, tewas karena dia memiliki masalah dengan gangguan otak.
Tantangan dan Dialog
Azzad menjelaskan, disinformasi yang menyertai kematian Amini begitu deras di media sosial adalah hal yang menggerakkan anak-anak muda Iran yang melek teknologi. Akan tetapi, dalam pandangannya, anak-anak muda ini masih kurang pengalaman. “Informasi apapun bisa mengundang reaksi mereka,” kata Azzad.
Pemerintah Iran, kata Azzad, melihat hal disinformasi yang disebar melalui media sosial dan bahkan media massa barat, terutama kantor-kantor berita asing berbahasa Farsi, sebagai bagian dari upaya mencoreng muka Teheran. Azzad menyebut hal itu sebagai proyek penciptaan korban di Iran. Dalam hal ini pemerintah dan negara yang menjadi targetnya.
Anak-anak muda Iran, menurut Azzad, telah didorong untuk membuat kekacauan di berbagai wilayah, sebagai bagian dari upaya merongrong pemerintahan Presiden Raisi. “Mereka terus meniupkan api yang telah mereka buat,” kata Azzad.
Di tengah gerakan massa, menurut Azzad, pemerintah dan militer juga sebenarnya telah mencium adanya upaya untuk melumpuhkan berbagai pusat pengembangan teknologi yang dibangun oleh ahli-ahli Iran. Selain pusat-pusat pengembangan nuklir, salah satu yang diincar adalah pusat pengembangan teknologi dirgantara yang dalam beberapa pekan terakhir dikaitkan dengan Rusia.
Azzad menyatakan, pada dasarnya, pemerintah Iran siap membuka pintu dialog dengan golongan manapun, termasuk anak-anak muda Iran tentang situasi saat ini. Bahkan, menurut Azzad, pemerintah telah siap membangun berbagai pusat dialog di seluruh provinsi di Iran untuk menampung keinginan warga.
“Dialog dan mencari jawaban bersama atas tantangan yang terjadi saat ini, terutama di era digital. Karena bila tidak dijawab, hal ini akan dimanfaatkan,” katanya.