Unjuk rasa pasca-kematian Mahsa Amini di Iran memberi risalah politik kuat yang harus diperhatikan rezim di Teheran. Rakyat Iran dengan berbagai latar belakang etnis, mayoritas dan minoritas, adalah satu kesatuan solid.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·5 menit baca
Apa yang terjadi di Teheran saat ini? Sebuah pertanyaan besar muncul menyusul unjuk rasa besar-besaran di Teheran dan kota-kota lain di Iran sebagai protes atas tewasnya Mahsa Amini di tahanan polisi pada 16 September 2022.
Amini yang berasal dari kota Saqqez, wilayah Kurdistan, adalah seorang perempuan dari etnis minoritas di Iran, yakni etnis Kurdi. Persentase etnis Kurdi di Iran hanya sekitar 6 persen dari keseluruhan penduduk Iran yang berjumlah hampir 87 juta jiwa.
Mayoritas penduduk Iran berasal dari etnis Persia. Jumlah warga etnis Persia mencapai sekitar 51 persen hingga 61 persen dari keseluruhan penduduk Iran.
Namun, kematian Amini segera menyulut solidaritas kaum mayoritas Persia. Buktinya, aksi unjuk rasa yang semula terbatas di wilayah Kurdistan, Iran barat, segera merambah ke Teheran dan kota-kota lain di Iran.
Aksi-aksi unjuk rasa tersebut cukup merepotkan rezim yang berkuasa di Iran. Memang banyak analis memprediksi aksi unjuk rasa saat ini bukan merupakan ancaman serius dan langsung terhadap eksistensi rezim yang berkuasa sejak revolusi Iran tahun 1979. Rezim di Teheran dengan aparat keamanannya, cepat atau lambat, akan mampu meredam aksi unjuk rasa tersebut.
Unjuk rasa yang melanda kota-kota di Iran saat ini, khususnya ibu kota Teheran, bukan yang pertama kali. Sebelumnya, Teheran dan kota-kota lain di Iran pernah dilanda aksi unjuk rasa besar pada Desember 2017 dan Agustus 2018.
Aksi unjuk rasa bulan Desember 2017 digerakkan oleh kaum milenial Iran sebagai protes atas memburuknya situasi ekonomi. Adapun aksi unjuk rasa bulan Agustus 2018 digerakkan oleh kaum Bazaari atau kaum pedagang juga sebagai protes atas situasi ekonomi yang buruk dengan jatuhnya nilai mata uang lokal Iran, riyal.
Aksi unjuk rasa kaum Bazaari pada bulan Agustus 2018 sesungguhnya merupakan aksi unjuk rasa paling berbahaya bagi rezim di Iran sejak meletusnya revolusi Iran tahun 1979.
Pasalnya, kaum Bazaari dikenal sebagai salah satu pilar rezim Iran sekarang. Kaum Bazaari menjadi tulang punggung revolusi Iran tahun 1979 yang menggulingkan rezim Shah Iran, Reza Shah Pahlavi, saat itu.
Meski demikian, rezim Iran saat itu akhirnya mampu meredam gerakan unjuk rasa kaum Bazaari. Karena itulah, para pengamat kini segera menyatakan bahwa aksi unjuk rasa saat ini sebagai protes atas kematian Amini tidak mengancam rezim Iran.
Namun, aksi unjuk rasa pasca-kematian Mahsa Amini memberi risalah politik kuat yang harus menjadi perhatian rezim Iran. Pertama, rakyat Iran dengan berbagai latar belakang etnisnya, mayoritas dan minoritas, merupakan satu kesatuan yang solid. Karena itu, rezim tidak bisa semena-mena terhadap kaum minoritas karena akan mendapat reaksi solidaritas dari kaum mayoritas di Iran. Kasus Mahsa Amini menjadi bukti kuat atas aksi solidaritas kaum mayoritas yang sangat cepat terhadap kaum minoritas di Iran.
Kedua, rezim Iran harus memberi hak kebebasan lebih banyak kepada kaum perempuan yang selama ini dikenal banyak batasan terhadap kaum perempuan di negara itu. Bisa jadi kaum perempuan di Iran ingin memanfaatkan kasus Mahsa Amini dengan menggelar aksi unjuk rasa besar-besaran sebagai titik tolak untuk menuntut hak lebih banyak kepada rezim yang berkuasa di Iran.
Bisa jadi pula kaum perempuan di Iran terinspirasi oleh revolusi sosial-budaya di Arab Saudi selama enam tahun terakhir ini yang memberi kebebasan cukup besar kepada kaum perempuan. Jika kebebasan perempuan di Arab Saudi diperoleh oleh gerakan bersifat top down dengan digalang oleh Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman (MBS), sebaliknya kaum perempuan di Iran merasa pesimistis apa yang terjadi di Arab Saudi juga akan terjadi di Iran, mengingat rezim Iran yang masih sangat konservatif.
Maka, tidak ada pilihan lain bagi kaum perempuan di Iran, kecuali menggerakkan aksi sendiri dengan menjadikan Mahsa Amini sebagai simbol perjuangan untuk mendapatkan hak mereka lebih banyak.
Ketiga, rezim di Iran harus lebih berhati-hati agar tidak mengulang kesalahan yang tidak populer, seperti kasus kematian Mahsa Amini atau melakukan kebijakan politik dan ekonomi yang keliru. Sebab, kebijakan yang keliru apa pun, baik sosial, politik, maupun ekonomi, bisa mendapat reaksi sangat kuat dari rakyat dengan meletupkan aksi unjuk rasa besar-besaran di seantero kota, khususnya Teheran.
Tentu meletusnya aksi unjuk rasa besar-besaran di seantero kota di Iran membawa kerugian besar, baik ekonomi, politik, maupun keamanan, dan bahkan jiwa raga. Menurut laporan Lembaga HAM Iran yang berbasis di Oslo, Norwegia, jumlah korban tewas sejak meletusnya aksi unjuk rasa pada 17 September mencapai 76 orang.
Aksi unjuk rasa besar-besaran di seantero kota di Iran akibat kesalahan kebijakan ekonomi dan sosial-keamanan sudah beberapa kali terjadi di Iran dalam beberapa tahun terakhir ini. Contohnya, unjuk rasa kaum milenial bulan Desember 2017, unjuk rasa kaum Bazaari bulan Agustus 2018, dan terakhir unjuk rasa kasus Mahsa Amini saat ini.
Keempat, bagi rezim di Iran, meletupnya aksi unjuk rasa sangat tidak menguntungkan secara politik ataupun keamanan karena hanya akan dimanfaatkan oleh para musuh Iran, khususnya AS dan Israel, untuk ikut bermain di air keruh.
Karena itu, tidak heran jika juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Nasser Kanaani, menuding AS ikut bermain di belakang aksi unjuk rasa di Iran saat ini. Israel tentu juga tidak jauh-jauh dari aksi unjuk rasa di Iran tersebut. AS dengan intelijennya, Badan Pusat Intelijen AS (CIA), dan Israel dengan intelijennya, Mossad, sudah biasa menyusup dan bermain di Iran.
Peran Mossad, misalnya, sangat besar atas kasus tewasnya Komandan Divisi Al-Quds dalam Garda Revolusi Iran, Mayor Jenderal Qasem Soleimani, di Bandar Udara Internasional Baghdad pada 3 Januari 2020, dan tewasnya ilmuwan nuklir Iran, Mohsen Fakhrizadeh, di dekat Teheran pada 27 November 2020, serta sabotase atas reaktor nuklir Iran di Natanz.
Maka, rezim Iran harus berusaha dengan segala cara agar unjuk rasa serupa tidak sering terulang di Iran supaya tidak membuka jalan bagi Mossad dan CIA ikut bermain di air keruh.