Gagal Redam Pengunjuk Rasa, Pemerintah Iran Tawarkan Pintu Dialog
Pemerintah Iran mencoba membuka pintu dialog dengan para pengunjuk rasa dalam kasus kematian Mahsa Amini setelah upaya meredam unjuk rasa tak berhasil. Sebaliknya, unjuk rasa itu meluas dan menjalar ke pekerja industri.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
TEHERAN, SELASA – Demonstrasi terkait kasus kematian Mahsa Amini di Iran telah berlangsung hampir sebulan lamanya. Tindakan represif aparat Pemerintah Iran terhadap para pengunjuk rasa tidak meredakan aksi warga Iran. Bahkan, demonstrasi itu kini semakin meluas dan merambah para pekerja industri migas.
Para pengunjuk rasa menuntut pertanggungjawaban aparat keamanan dan Pemerintah Iran atas kematian Amini (22) di dalam tahanan polisi moral Iran pada 16 September 2022 dan atas kematian Nika Shakarami (16), yang diduga juga akibat kekerasan oleh aparat keamanan. Pengunjuk rasa meyakini, Amini tewas akibat kekerasan aparat polisi moral. Pemerintah Iran membantah tudingan tersebut.
Untuk mencoba meredam situasi, Ketua Mahkamah Agung Iran Gholam-Hossein Mohseni Ejei, Senin (10/10/2022), seperti dikutip dari kantor berita IRNA, mengundang para pihak untuk berdialog. Dia juga meminta agar warga menyalurkan aspirasi mereka melalui lembaga yang representatif.
Berbicara pada pertemuan pejabat senior kehakiman di Teheran, yang dikutip dari kantor berita Turki Anadolu, Ejei mengatakan, dirinya bersedia terlibat dalam dialog dan negosiasi dengan semua kelompok untuk mengakhiri unjuk rasa yang mengguncang seluruh negeri sejak pertengahan September.
"Jika faksi, kelompok, atau individu politik memiliki pertanyaan, kritik, ambiguitas, atau protes, saya menyatakan kesiapan saya untuk berbicara dengan mereka," kata Ejei. Dia menambahkan, pemerintah akan terbuka mendengarkan kritik dan masukan serta melakukan koreksi atas kebijakan yang selama ini diambil.
Pernyataan Mohseni Ejei adalah pernyataan pertama pejabat publik Iran yang secara terbuka membuka pintu dialog dengan para peserta demo di seantero negeri. Sebelumnya, para pejabat Iran, mulai dari Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei, Presiden Iran Ebrahim Raisi, Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amir Abdollahian hingga Wakil Kepala Kepolisian Iran Brigadir Jenderal Qasem Rezaei, menyatakan bahwa demonstrasi itu sudah tidak murni lagi dan terindikasi ada campur tangan negara asing, terutama Amerika Serikat dan Israel.
Pernyataan ini juga memperlihatkan perubahan sikap Ejei, yang dipandang sebagai salah satu petinggi utama pemerintahan konservatif. Dalam pernyataannya pada 4 Oktober 2022, yang dilansir kantor berita IRNA, aksi yang dilakukan warga Iran di puluhan kota dan juga pedesaan dipandang sebagai vandalisme dan pemicu kerusuhan, bukan sarana penyampaian pendapat. Akan tetapi, pernyataan terbarunya pada Senin awal pekan ini mengindikasikan adanya perubahan sikap.
Mohseni Ejei mengatakan, meski dinilai menutup mata dan telinga terhadap situasi di lapangan, sesungguhnya pemerintah berupaya mendengarkan tuntutan dari warga Iran. Pemerintah tidak menutup mata dan siap berdialog menyelesaikan perselisihan dan perbedaan pendapat. "Warga negara atau kelompok politik harus tahu bahwa kita memiliki telinga untuk protes dan kritik dan bahwa kita siap untuk berdialog," katanya.
Imbauan berdialog juga pernah disampaikan ulama senior Iran, Grand Ayatollah Hossein Nouri Hamedani, dua pekan setelah kematian Amini. Saat itu dia meminta pemerintah untuk bersikap tenang dan mendengarkan tuntunan rakyat. Dia juga meminta pemerintah berkepala dingin, mencerna kritik dari rakyat Iran. “Para pejabat perlu mendengarkan tuntutan rakyat dan memecahkan masalah mereka, dan peka terhadap hak-hak mereka,” katanya. (Kompad.id, 28 September 2022)
Aksi pekerja
Setelah empat pekan massa demonstrasi terkonsentrasi di kalangan warga sipil, aktivis, mahasiswa dan pelajar, dikabarkan dukungan terhadap unjuk rasa mulai menjalar ke sejumlah pekerja industri migas.
Dikabarkan, lebih dari 1 000 pekerja di pabrik petrokima Bushehr, Damavand, dan Hengam di Kota Assaluyeh, kota pelabuhan yang berjarak sekitar 1.300 kilometr selatan Teheran, mogok sebagai bentuk protes atas kekerasan yang terjadi pada warga sipil yang menuntut pertanggungjawaban aparat keamanan dan polisi moral Iran.
Radio Farda, cabang Radio Free Europe/Radio Liberty Iran, melaporkan, para pekerja mogok bekerja dan memblokir akses jalan ke lokasi pabrik.
Karim Sadjadpour, seorang peneliti senior di Carnegie Endowment for International Peace, melalui akun Twitternya menulis bahwa pekerja minyak yang mogok memainkan peran penting dalam revolusi 1979 yang menggulingkan mantan Shah Iran serta mewujudkan Republik Islam.
Sebelumnya, mengutip keterangan yang disampaikan Kedutaan Besar Republik Islam Iran di Jakarta, Khamenei mengatakan, beberapa orang yang turun ke jalan, adalah sisa-sisa oknum yang sebelumnya mendapatkan pukulan dari Republik Islam seperti kelompok teroris MKO, kelompok separatis, kelompok monarki, dan keluarga dinas intelijen Shah Iran yaitu Savak. Menurutnya, Mahkamah Agung harus mengadili serta menghukum mereka sesuai tingkat keterlibatan dalam perusakan dan gangguan keamanan di jalan-jalan.
“Mereka (pihak musuh) menginginkan Iran seperti masa Pahlavi (Shah Iran), yang selalu patuh pada perintah mereka," kata Khamenei. (AP/AFP)