Pengayaan Nuklir Iran, Antara Senjata atau Untuk Kesejahteraan?
Nuklir untuk persenjataan dikecam secara global. Nuklir untuk energi merupakan salah satu pilihan. Di mana nuklir Iran berdiri?
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pengembangan nuklir untuk kepentingan sipil seperti pemenuhan energi, kesehatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan dapat diterima dan perlu didukung. Namun, pengembangan nuklir untuk persenjataan harus dibatasi dan diawasi dengan ketat. Beragam persoalan yang muncul terkait isu nuklir maupun isu lain diselesaikan melalui jalur diplomasi.
Hal itu mengemuka dalam acara diskusi buku "Politik Nuklir: Antara Kemanusiaan dan Kekuatan Militer" di Universitas Muhammadiyah Jakarta, Kamis (20/10/2022). Buku ditulis oleh Dian Wirengjurit Duta Besar Indonesia untuk Iran periode 2012-2018 yang kini menjadi pengamat geopolitik. Hadir sebagai pembicara kunci Duta Besar Iran untuk Indonesia Mohammad Khoush Heikal Azad.
Azad memaparkan bahwa Iran mengutamakan pendekatan diplomasi dan rasional. Ia secara spesifik menyebut Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Barack Obama juga menempuh jalur serupa. Mereka menandatangani Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) 2015 bersama Inggris, Perancis, Rusia, Jerman, dan China.
Dalam JCPOA dinyatakan bahwa Barat akan mengurangi sanksi ekonomi terhadap Iran secara bertahap. Sebagai balasan, Iran akan mengurangi pengayaan uranium.
Akan tetapi, AS di bawah Presiden Donald Trump keluar dari JCPOA sehingga negosiasi mandeg. AS juga memberi sanksi sepihak kepada Iran sehingga perekonomian global terganggu. Hubungan perdagangan Indonesia-Iran misalnya, menjadi rumit karena transaksi tidak bisa menggunakan mata uang dollar AS ataupun sistem perbankan yang berbasis di Barat.
"Sejak awal Iran mengembangkan teknologi nuklir, tidak ada niat ke arah pembuatan senjata. Nuklir dipakai untuk kebutuhan energi dalam negeri, medis, dan berbagai penelitian ilmiah," papar Azad.
Ia mengatakan, jika Iran ingin mengembangkan senjata pemusnah massal, pilihannya bukan nuklir, melainkan senjata kimia. Akan tetapi, Iran memiliki trauma terhadap senjata pemusnah massal dan aktif mengampanyekan komitmen global untuk tidak mengembangkannya.
"Pada intinya, Iran menginginkan verifikasi dan jaminan untuk masa depan bahwa kepentingan rakyat terpenuhi. Oleh sebab itu, Iran mengedepankan negosiasi agar JCPOA kembali dibahas," ujarnya.
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Dian di dalam bukunya. Ia mengatakan, Iran memang memiliki reaktor, pengayaan Uranium, dan berbagai jenis rudal. Bahkan, rudal yang dikembangkan Iran paling banyak serta paling beragam di Timur Tengah.
"Namun, dari pengalaman bertugas di sana maupun riset yang saya lakukan untuk menulis buku ini, saya tidak menemukan tanda-tanda Iran berniat mengembangkan persenjataan nuklir. Mereka tidak pernah melakukan uji coba rudal seperti yang dilakukan di Korea Utara," tuturnya.
Dian menekankan bahwa buku itu mencerminkan pandangan pribadinya, bukan mewakili lembaga apapun. Oleh sebab itu, ia mengkritisi Perjanjian Pelarangan Senjata Nuklir (TPNW) 2017 yang menurut dia tidak adil.
Alasannya karena lima negara anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang terdiri dari AS, Inggris, Perancis, Rusia, dan China boleh tetap mengembangkan senjata nuklir. Menurut dia, sebaiknya TPNW melarang semua negara mengembangkan segala jenis senjata pemusnah massal, termasuk senjata nuklir.
Posisi Indonesia
Hadir sebagai penanggap adalah Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri Abdul Kadir Jailani. Ia menjelaskan, Indonesia secara penuh mendukung TPNW dengan alasan yang pragmatis. Sejak PBB dibentuk pada tahun 1945, kelima anggota tetap DK PBB telah memproduksi hulu ledak nuklir.
"Lebih baik senjata nuklir dikonsentrasikan di kelima negara itu karena bisa diawasi. Mengizinkan negara-negara lain mengembangkan senjata nuklir akan membawa lebih banyak kekacauan di dunia," ujarnya.
Ia memaparkan, Indonesia konsisten dengan prinsip nasional dan Piagam PBB bahwa setiap permasalahan harus diselesaikan dengan diplomasi. JCPOA ini merupakan penyelesaian yang diplomatis, walaupun tidak sempurna.
Terkait dengan pengayaan nuklir secara umum di luar persenjataan, Kadir mengatakan bahwa Indonesia mendukung bahwa itu adalah hak setiap negara. Energi nuklir bisa dimanfaatkan antara lain di sektor medis dan alternatif energi terbarukan.