Washington sudah berkali-kali terlibat dan kalah dalam perang minyak global. industri migas AS menanggung kerugian 321 miliar dollar AS gara-gara dua perang minyak 2014-2020.
Oleh
KRIS MADA
·5 menit baca
Perang Yom Kippur 1973 diikuti perang minyak yang menghancurkan dominasi Amerika Serikat dan sekutunya pada pasar minyak global. Di tengah peringatan Yom Kippur 2022, babak baru perang minyak kembali meletus. Pernah terlibat sebagai pemain dalam perang-perang sebelumnya, kini Indonesia hanya bisa menjadi korban.
Sejak dipakai Kaisar Konstantine IV dalam Perang Konstantinopel pada abad 7, minyak terus menjadi senjata sekaligus alasan perang. Babak terbaru perang minyak meletus di hari terakhir peringatan Yom Kippur, 5 Oktober 2022. Hari itu, Arab Saudi bersama mitranya di Organisasi Negara Produsen Minyak OPEC+ (negara anggota OPEC ditambah Rusia) mengumumkan pemangkasan produksi 2 juta barel per hari. Jumlah pemangkasan itu separuh dari yang diumumkan OPEC dalam perang minyak 1973.
Namun, reaksi AS atas keputusan itu sama : marah besar. Sebab, sejak Maret 2022, Washington membujuk Riyadh menaikkan produksi. Faktanya, OPEC+ yang praktis dikendalikan Arab Saudi bersama Rusia malah memangkas produksi.
Selepas pengumuman OPEC+, Presiden AS Joe Biden mengancam menimbang ulang hubungan dengan Riyadh. Bahkan, sejumlah politisi Demokrat menggesa pengesahan aturan yang melarang penjualan senjata dan kerja sama pertahanan Washington-Riyadh. Demokrat memandang, dengan 70 persen persenjataan Riyadh yang dipasok Washington, larangan itu sebagai balasan setimpal atas keputusan Arab Saudi menolak permintaan AS menaikkan produksi minyak.
Direktur Kajian Timur Tengah pada CSIS AS Jon Alterman menyebut, Riyadh harus bersiap pada permusuhan terbuka terutama dari Kongres AS. “Amat buruk bagi Arab Saudi jika tidak punya teman di Kongres,” kata dia.
Sanksi Dan Pemilu
Juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS John Kirby menyebut, Riyadh telah berpihak pada Moskwa. Riyadh disebut sudah paham pemangkasan produksi akan menguntungkan Moskwa. Pemangkasan itu bisa membuat dunia akan semakin kekurangan pasokan. Dampaknya, akan semakin sulit memaksakan sanksi AS dan sekutunya pada industri migas Rusia.
Dengan porsi hingga separuh dari keseluruhan ekspornya, migas menjadi sumber pendapatan penting bagi Moskwa. Washington dan sekutunya memandang, sanksi pada migas akan mengurangi kemampuan Moskwa melanjutkan perang di Ukraina.
Untuk membuat sanksi itu berjalan, pasar energi global harus mendapat pemasok pengganti.
Karena itu, AS dan sekutunya terus membujuk Riyadh dan mitranya menaikkan produksi migas. Tambahan dari Riyadh dan mitranya bisa menjadi pengganti hampir 15 persen migas dunia yang selama ini dipasok Rusia.
Keputusan OPEC+ pada 5 Oktober 2022 menunjukkan, bujukan AS gagal. Washington dan sekutunya masih harus terus menanggung dampak sanksi yang ditujukan ke Moskwa.
Keputusan mengurangi impor migas dari Rusia membuat AS dan Eropa dilanda inflansi tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Ketidakpuasan pada pemerintahan terus menjalar di Eropa dan AS.
Fenomena itu buruk bagi Biden dan Demokrat yang akan menghadapi pemilu sela pada 8 November 2022. Demokrat bisa kehilangan kendali atas Kongres. Sebab, pemilih yang tidak puas pada perekonomian kala pemerintahan AS praktis dikendalikan Demokrat dikhawatirkan mengalihkan suaranya ke Republik.
Gembira
Tidak semua pihak di AS sedih dengan keputusan OPEC+. Pebisnis migas AS paling gembira dengan perang minyak saat ini. Badan Informasi Energi (IEA) AS terus mengumumkan kenaikan ekspor gas AS ke Eropa.
Para pebisnis minyak AS melihat peluang bisnis mereka bersemi kembali. Peneliti tamu pada Johns Hopkins University John McLaughlin menyebut, kenaikan harga minyak akan menghidupkan ulang industri perminyakan berbasis teknologi rekahan di AS.
Pakar kajian energi pada Manhattan Insitute Mark Mills menyebut, teknologi itu meningkatkan produksi migas AS hingga dua kali lipat sejak 2007. Teknologi itu memungkinkan AS memangkas impor minyak lebih dari 10 juta barel per hari.
Sayangnya, perang minyak Moskwa-Riyadh pada 2014 dan 2020 praktis menghancurkan industri minyak AS. Dicatat Rystad Energy, lembaga pemantau pasar energi global, dan Hayes Boone, konsultan pengelolaan kebangkrutan AS, industri migas AS menanggung kerugian 321 miliar dollar AS gara-gara dua perang minyak 2014-2020.
Lebih dari 200 perusahaan migas AS bangkrut karena harga minyak di bawah biaya produksi. Kebangkrutan terbesar, 102 miliar dollar AS, terjadi pada 2020.
Kala itu, di awal pandemi Covid-19, Moskwa-Riyadh saling menjatuhkan harga minyak. Dengan biaya produksi rata-rata 22 dollar AS per barel, Riyadh sanggup menanggung harga minyak 25 dollar AS per barel. Negara lain tidak akan sanggup. Rusia dan AS butuh setidaknya 40 dollar AS per barel hanya untuk menutup biaya produksi saja.
Seperti pada 2016, Moskwa-Riyadh akhirnya berdamai pada 2021. Bahkan, pada 2022, mereka berkoalisi dan, menurut versi Washington, malah melancarkan perang minyak baru dengan AS.
Kalah Terus
Seperti ditulis jurnalis AS Richard Heinberg dalam “Party’s Over”, Washington sudah berkali-kali terlibat dan kalah dalam perang minyak global. Perang minyak 1973 mengakhiri dominasi tujuh raksasa minyak global. Raksasa-raksasa itu merupakan perusahaan-perusahaan minyak AS, Belanda, Inggris, dan Perancis.
Saat industri migas AS berusaha pulih dari dampak perang minyak 1973, Arab Saudi kembali membanjiri pasar pada 1986. Harga minyak terpangkas lebih dari 60 persen dan industri AS tidak sanggup bertahan dengan kondisi itu.
Selepas perang Teluk 1991, AS mencoba kembali mengendalikan harga minyak global. Selain lewat “Pengendalian Ganda” yang ditujukan ke Irak dan Iran, menurut Heinberg, AS memanfaatkan setidaknya 21 lembaga keuangan nasional dan multilateral untuk mendanai proyek migas di Asia-Afrika-Amerika Latin. Sasarannya adalah 30 negara yang bukan anggota OPEC. Tujuannya, memacu produksi minyak di negara selain OPEC dengan perusahaan AS sebagai pemegang konsesi utama.
Pada 2018, IEA menaksir 70 persen tambahan produksi minyak dan 50 persen tambahan produksi gas global akan berasal dari AS. Perang minyak 2020 membuat taksiran itu gagal terwujud. Kejatuhan harga minyak memaksa perusahaan migas AS bangkrut dan berhenti produksi.
Sejak perang meletus di Ukraina, harga minyak kembali naik. Dalam perang minyak 1973 dan 1986, Indonesia bisa mendapat manfaat. Sejak produksi migas nasional terus terpangkas, Indonesia dan banyak negara malah terbebani kenaikan harga minyak. Seperti di negara lain, infalasi di Indonesia juga naik seiring peningkatan harga minyak. (AFP/REUTERS)