Unjuk rasa di Iran tidak kunjung berakhir. Gerakan prodemokrasi dan pemerintah sama-sama kerahkan massa.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
TEHERAN, SABTU — Masyarakat prodemokrasi dan Pemerintah Iran sama-sama mengerahkan massa untuk berdemonstrasi melawan satu sama lain. Unjuk rasa di Iran sudah berlangsung satu bulan dan merupakan yang terbesar sepanjang sejarah Iran. Masyarakat sudah muak dengan pemerintahan yang otoriter dan menginginkan babak baru untuk negara mereka.
Ajakan berunjuk rasa tersebar di seluruh kanal media sosial meskipun Pemerintah Iran memberlakukan pemblokiran internet. Warga menggunakan jaringan pribadi virtual (VPN) untuk menyebarluaskan pesan-pesan demokrasi.
Para pendukung demokrasi berdemonstrasi dengan membawa spanduk bertuliskan antara lain adalah ”Kebebasan untuk Iran”, ”Iran Merdeka”, dan ”Matilah, Khamenei”. Di media sosial, narasi yang paling santer ialah ini semua merupakan awal baru dari kejatuhan kediktatoran Ayatollah Ali Khamenei, Pemimpin Tertinggi Iran.
”Tidak ada yang bisa mencabut akar Republik Islam. Tidak ada,” kata Khamenei ketika diwawancara stasiun televisi nasional Iran, Jumat (14/10/2022).
Kerajaan Iran berubah menjadi republik pada tahun 1979 setelah rakyat melengserkan Shah Reza Pahlevi. Korupsi dan kesenjangan sosial marak selama Iran berupa kerajaan. Rakyat berharap dengan berubah menjadi republik pengelolaan negara membaik. Namun, menjadi republik berlandaskan agama membuat berbagai kebijakan yang mengekang, terutama bagi perempuan. Salah satunya ialah aturan mengenai cara berpakaian.
Kematian Mahsa Amini (22) pada 16 September 2002 akibat penyiksaan oleh polisi moral karena ia dianggap tidak memakai jilbab dengan benar memicu unjuk rasa besar-besaran. Demonstrasi yang awalnya menuntut kebebasan untuk kaum perempuan bereskalasi menjadi demonstrasi untuk mengakhiri kekuasaan Khamenei dan menjadikan Iran negara republik murni.
Demonstrasi terjadi di berbagai penjuru Iran dan kemudian merembet ke 86 kota, termasuk di Perancis, Inggris, Turki, Spanyol, dan Austria. Dewan Koordinator Pembangunan Iran mengimbau agar massa pendukung pemerintah berkumpul dan mengadakan unjuk rasa tandingan. Mereka diminta menyuarakan yel-yel penghentian kekacauan oleh kelompok disiden.
BBC memberitakan, situasi memanas di sejumlah kota. Di kota Baneh dan Senandaj, beredar video-video polisi mengejar para pengunjuk rasa dan melepas tembakan. Dilansir dari organisasi kemanusiaan yang berbasis di Norwegia, Iran Human Rights, sejauh ini sudah 108 korban tewas akibat bentrok massa dengan aparat. Sebanyak 26 aparat penegak hukum tewas, berdasarkan siaran televisi nasional.
Jumlah korban tewas terbanyak di Zahedan, Provinsi Sistan-Baluchistan. Sebanyak 66 pengunjuk rasa tewas pada Jumat (30/9/2022) ketika mereka mengikuti demonstrasi seusai menunaikan ibadah shalat Jumat.
Sementara itu, lembaga Amnesty International mengecam penggunaan kekerasan untuk membubarkan pengunjuk rasa. Mereka mencatat, terdapat 23 korban tewas adalah anak-anak di bawah umur. Rentang usia mereka 11-17 tahun dengan jumlah 20 anak laki-laki dan tiga anak perempuan.
Surat kabar Shargh melaporkan, Pemerintah Iran juga meminta para pensiunan Garda Revolusi agar kembali bertugas. Situasi di negara berpenduduk 87 juta jiwa itu dianggap tegang dan kacau sehingga mereka membutuhkan aparat penegak hukum sebanyak mungkin.
Dukungan luar negeri
Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat telah menyatakan dukungan atas demonstrasi di Iran. Presiden AS Joe Biden berbicara di salah satu perguruan tinggi di Irvine, California, Sabtu (15/10/2022), mengatakan kagum dan terinspirasi oleh kegigihan rakyat Iran. ”AS berdiri bersama rakyat prodemokrasi dan para perempuan pemberani di Iran,” ujarnya di hadapan mahasiswa.
Hal ini menuai kritik dari Iran. Dikutip dari Shargh, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran Nasser Kanami mengatakan, negara-negara Barat, terutama Perancis, munafik. ”Pemerintah Perancis menggunakan kekerasan menghadai mogok buruh di sektor minyak dan gas. Lancang sekali (Presiden Perancis Emmanuel) Macron mengompori gerakan pengacau di Iran untuk melanggar hukum,” ujarnya.
Surat kabar itu juga mengutip Menteri Pendidikan Iran Yousef Nouri yang mengatakan bahwa pemerintah mengambil tindakan pencegahan narasi antipemerintah menjangkiti para pelajar. Di sekolah, murid-murid diangkut dan dibawa ke pusat-pusat psikologi untuk penataran.
Media Al-Monitor melaporkan, Juru Bicara Departemen Pertahanan AS Ned Price mengatakan, fokus Pemerintah AS saat ini bukan perlucutan persenjataan nuklir Iran, melainkan perkembangan demokrasi di negara tersebut. Meskipun begitu, diskusi untuk mengaktifkan kembali Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) yang mati suri semasa kepemimpinan Presiden Donald Trump tetap berlangsung di belakang. (AFP)