Situasi Global Memanas, Perlu Kerja Ekstra Keras demi Sukses KTT G20
KTT G20 tinggal satu bulan lagi. Perkembangan global justru makin memanas. Kemampuan Indonesia mendinginkan suasana untuk memastikan agenda G20 terlaksana ditingkatkan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia sebagai pemegang keketuaan kelompok 20, yang terdiri dari 19 negara dengan kekuatan ekonomi terbesar dunia plus Uni Eropa, atau G20 tahun ini semakin harus menggenjot kinerja guna memastikan segala agenda terlaksana. Suasana global kian memanas. Perkembangan situasi di Rusia dan Ukraina membuat berbagai persaingan geopolitik semakin meruncing.
”Kita butuh inovasi dalam pembahasan berbagai isu G20. Dalam situasi normal saja susah, apalagi sekarang di tengah krisis akibat pandemi Covid-19 dan perang yang semakin bergejolak,” kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam taklimat media di Jakarta, Kamis (13/10/2022).
Ia memaparkan, tugas Indonesia sebagai Ketua G20 adalah mengelola dinamika supaya tidak merusak bangunan G20, yaitu berbagai persoalan yang telah disepakati untuk dibahas sejak peralihan keketuaan dari Italia ke Indonesia. Retno menekankan, persoalan ini tidak sebatas mengenai keketuaan Indonesia, tetapi soal perkembangan dunia.
”Hasil kerja G20 dan segala unit terkait ditunggu oleh masyarakat dunia. G20 tidak boleh gagal karena kita bertanggung jawab kepada semua penduduk Bumi,” ujar Retno.
Perkembangan persaingan geopolitik membuat G20, sebagai salah satu dari segelintir forum global yang masih berjalan, semakin dibutuhkan. Tidak hanya itu, G20 juga tetap konsisten tanggap dalam segala perubahan global dengan tetap mengedepankan aspirasi negara-negara berkembang, bukan sekadar aspirasi dan kepentingan negara maju dan bermodal.
Retno menekankan, tanggung jawab pelaksanaan serta pencetusan hasil G20 adalah tanggung jawab semua negara anggota. Tidak hanya bagi Indonesia sebagai ketua ataupun negara-negara maju. Target dari G20 ialah memberi kinerja dan hasil nyata yang bisa diadaptasi serta diterapkan oleh anggota ataupun negara-negara lain.
Retno mengungkapkan, Indonesia terus berkomunikasi intensif dengan 19 anggota G20 dan juga negara-negara sahabat yang diundang untuk menghadiri KTT, 15-16 November mendatang, ataupun berbagai rapat kerja unit tahun ini. Di sela-sela Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa belum lama ini, Retno selalu mengadakan pertemuan empat mata dengan setiap menteri luar negeri G20.
Hingga bulan Oktober telah terjadi 187 pertemuan di tingkat menteri, sherpa, lembaga, dan kelompok kerja G20. Jumlah ini setara dengan 95 persen agenda kerja. Kegiatan sampingan juga meliputi 234 pertemuan atau 92 persen dari agenda yang di luar pembahasan isu-isu prioritas.
Setiap kelompok kerja ini menghasilkan berbagai kesepakatan dan rencana kerja yang segera diadaptasi oleh setiap negara anggota sesuai dengan kesiapan masing-masing. Ada 300 hasil pertemuan kelompok kerja yang disaring guna memastikan sesuai dengan prioritas G20. Ini lebih penting dan nyata dari sekadar pertemuan pejabat yang diekspos oleh masyarakat.
Kehadiran kepala negara
”Dari segi logistik, Indonesia juga siap dengan menyambut semua delegasi. Sejauh ini, semua perwakilan negara anggota ataupun negara undangan memberi tanggapan positif dan mengatakan bahwa kepala negara masing-masing akan menghadiri konferensi tingkat tinggi di Bali bulan depan,” ujar Retno. Mereka adalah termasuk Ukraina yang diundang sebagai tamu.
Co-Sherpa G20 dari Kemenlu, Triansyah Djani, melanjutkan, Indonesia sebagai tuan rumah selalu siap apabila ada kebutuhan tambahan dari para delegasi. Salah satu hal yang terus dipantau ialah kemungkinan pertemuan empat mata antara Presiden Amerika Serikat Joe Biden dan Presiden Rusia Vladimir Putin di sela-sela KTT.
Melalui pernyataan yang disampaikan Presiden AS Joe Biden dalam wawancara televisi, Selasa, dan keterangan Duta Besar Rusia untuk Indonesia Lyudmila Vorobieva, Rabu, diketahui bahwa Biden dan Presiden Rusia Vladimir Putin tidak menutup peluang untuk bertemu di sela-sela KTT G20. Vorobieva menyebutkan, kehadiran Putin akan diputuskan menjelang KTT.
Triansyah menekankan, Indonesia terus menunjukkan sikap tidak berpihak. Perkembangan terkini ialah Indonesia termasuk negara yang menandatangani resolusi PBB yang mengecam referendum di empat provinsi di Ukraina, yaitu di Donetsk, Luhansk, Zaporizhia, dan Kherson. Hasil referendum menyebutkan, empat provinsi itu menginginkan menjadi bagian dari Rusia sehingga memberi Rusia alasan mencaplok.
”Indonesia berpegang kepada Piagam PBB dan Undang-Undang Dasar kita yang menjunjung kemerdekaan serta kedaulatan setiap bangsa. Kita harus menghormati batas-batas geografis negara lain,” ujar Triansyah.
Sementara itu, pakar hubungan internasional dari Universitas Binus, Dinna Prapto Raharja, berpendapat, Indonesia harus lebih lantang menyuarakan diplomasi dan kemanusiaan. Ia melihat, eskalasi perang Rusia-Ukraina membuat negara-negara Barat yang semestinya demokratis justru memilih pendekatan perpanjangan konflik dengan meningkatkan pasokan senjata ke Ukraina, bukan mendorong Ukraina dan Rusia mewujudkan gencatan senjata.
”Bagi negara-negara berkembang, ini ancaman ekonomi karena kita semua rapuh. Tidak ada yang bisa memperkirakan ketahanan ekonomi suatu negara apabila krisis tidak diatasi karena mengutamakan agenda perang,” ucap Dinna.
Ia mengingatkan, mungkin Indonesia belum memerlukan pinjaman dari Dana Moneter Internasional (IMF) atau Bank Dunia. Akan tetapi, jika ekonomi negara-negara tetangga atau mitra dagang ambruk, Indonesia juga terkena getahnya.
Dinna mengatakan, Indonesia tidak bisa lugu menganggap persoalan-persoalan itu bisa diselesaikan di KTT G20. Oleh sebab itu, Indonesia harus tampil sebagai pengingat bahwa ini adalah kerja keras untuk waktu yang lama dengan keterlibatan semua pihak. Indonesia hendaknya juga terus aktif memantau serta merespons perkembangan global secara tepat.