Pemburukan ekonomi global dan ancaman resesi di sejumlah negara akan berdampak pada Indonesia. Pemerintah menyiapkan sejumlah strategi untuk membentengi ekonomi nasional.
Oleh
MUHAMMAD FAJAR MARTA, CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO, NINA SUSILO
·4 menit baca
WASHINGTON DC, KOMPAS — Lebih dari sepertiga ekonomi global diperkirakan akan mengalami pertumbuhan negatif dan resesi pada tahun ini dan tahun depan. Dampaknya tentu akan merembes masuk ke Indonesia dari berbagai jalur meski pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2022 dan 2023 diperkirakan tetap kuat, sekurangnya 5 persen. Sejumlah langkah disiapkan pemerintah untuk menghadang dampak rambatan pemburukan ekonomi global terhadap ekonomi nasional.
Dalam laporan World Economic Outlook edisi Oktober 2022 yang dirilis pada Pertemuan Tahunan Dana Moneter Internasional (IMF)/Grup Bank Dunia 2022 di Washington DC, Amerika Serikat, Selasa (11/10/2022) waktu setempat, IMF menggambarkan tantangan perekonomian global semakin curam sekurangnya hingga 2023. Terdapat tiga faktor penyebab utama, yakni perang Rusia-Ukraina yang mengganggu rantai pasok global sehingga memicu krisis pangan dan energi; lonjakan biaya hidup masyarakat global akibat tekanan inflasi yang terus-menerus dan meluas; serta perlambatan ekonomi di China.
Ancaman-ancaman tersebut membuat IMF kembali merevisi turun proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2023. IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global 2023 sebesar 2,7 persen, lebih rendah 0,2 persen poin daripada proyeksi yang dikeluarkan IMF pada Juli 2022 yang sebesar 2,9 persen. Proyeksi pada Juli 2022 itu pun sudah turun 0,7 persen poin ketimbang proyeksi yang dirilis April 2022 yang sebesar 3,6 persen. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi global terus melambat dari 6 persen pada 2021, 3,2 persen pada 2022, dan 2,7 persen pada 2023.
”Lebih dari sepertiga ekonomi global akan berkontraksi tahun ini atau tahun depan, sedangkan tiga negara dengan ekonomi terbesar, yakni Amerika Serikat, Uni Eropa, dan China, akan terus melambat. Singkatnya, yang terburuk belum datang dan bagi banyak orang, tahun 2023 akan terasa seperti resesi,” kata Kepala Ekonom Departemen Penelitian IMF Pierre-Olivier Gourinchas saat memaparkan World Economic Outlook edisi Oktober 2022, Selasa waktu AS.
Ekonomi Indonesia
Pemburukan ekonomi global dan ancaman resesi di banyak negara tentu akan berdampak pada ekonomi Indonesia. Lonjakan inflasi global akan merambat masuk ke Indonesia dari jalur impor sehingga akan menurunkan daya beli masyarakat yang ujungnya akan memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional yang selama ini sangat mengandalkan konsumsi domestik.
Pengetatan moneter yang cepat di negara-negara maju untuk meredam inflasi akan berimbas pada larinya dana asing dari pasar domestik dan mendorong biaya pinjaman di dalam negeri. Ini tentu akan menurunkan gairah sektor riil sehingga akan menahan laju ekonomi nasional.
Dengan berbagai alasan itu pula, IMF juga merevisi turun proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 menjadi 5 persen. Angka tersebut turun 0,2 persen poin dibandingkan dengan proyeksi yang dikeluarkan pada Juli 2023 yang sebesar 5,2 persen. Dalam APBN 2023, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditargetkan 5,3 persen. Adapun untuk tahun 2022, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan juga mencapai 5,3 persen.
Untuk menghadang risiko ekonomi global berdampak besar terhadap perekonomian nasional, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yang turut menghadiri Pertemuan Tahunan IMF di Washington DC, mengatakan, pemerintah telah dan akan menyiapkan sejumlah langkah.
Menurut Sri Mulyani, salah satu langkah yang ditempuh adalah pemerintah akan berupaya mengurangi paparan risiko yang datang dari pasar keuangan global berupa tingginya imbal hasil utang akibat kenaikan suku bunga yang agresif oleh bank-bank sentral negara maju.
”Sesuai kesepakatan dengan DPR, tahun depan, defisit anggaran akan kembali maksimal 3 persen. Ini tentu sangat sesuai dengan situasi pasar yang memang akan sangat ketat dan sangat mahal sehingga penurunan defisit adalah suatu cara untuk mengurangi risiko yang berasal dari pasar,” kata Sri Mulyani.
Dengan berkurangnya defisit anggaran, jumlah surat utang yang akan diterbitkan pemerintah pada 2023 akan berkurang jauh ketimbang periode 2020-2022. Dengan demikian, pemerintah tidak akan terlalu terbebani oleh imbal hasil yang mahal di pasar keuangan dunia.
Langkah mitigasi risiko selanjutnya, kata Sri Mulyani, adalah memastikan pemulihan ekonomi nasional tetap terjaga. Hingga saat ini, pendorong pertumbuhan ekonomi dari konsumsi masyarakat masih relatif bagus berkat terjaganya inflasi di dalam negeri, yang meskipun naik, tidak setinggi negara-negara lain.
”Kendati begitu, kita tetap harus waspada karena tekanan inflasi global sangat tinggi dan tidak akan turun dengan cepat,” kata Sri.
Untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi, pemerintah akan menggunakan instrumen APBN dan non-APBN.
”Belajar dari pandemi Covid-19, pemerintah dan DPR sepakat membuat APBN fleksibel dan responsif sehingga kita bisa menghadapi ketidakpastian dan risiko ekonomi global yang besar,” kata Sri.
Dengan fleksibilitasnya, APBN akan berfungsi optimal dalam meredam kejutan (shock absorber) yang berasal dari ekonomi global. Dengan bantalan subsidi yang berasal dari APBN, daya beli masyarakat tetap akan terjaga di tengah peningkatan inflasi.
Adapun instrumen non-APBN yang akan dilakukan pemerintah, antara lain, terus mendorong hilirisasi dan perbaikan iklim investasi agar investasi asing langsung semakin banyak yang masuk ke Indonesia.
”Hilirisasi itu membuat kita lebih resilient dan berdaya tahan dari sisi neraca pembayaran. Sementara masuknya investasi asing berkat kemudahan berinvestasi akan menetralisasi capital outflow akibat kenaikan suku bunga di negara-negara maju,” kata Sri Mulyani.
Sementara itu, Gubernur Lemhannas Andi Widjajanto, kemarin, menyampaikan bahwa Presiden Joko Widodo meminta Lemhannas membuat kajian cepat untuk mengantisipasi dan memitigasi krisis pangan, energi, dan finansial. Kajian harus bersifat makro, mikro, dan mendetail.