Fed Naikkan Suku Bunga Ketiga Kali Beruntun, Kemungkinan Resesi Keras
Kenaikan suku bunga The Fed dimungkinkan akan terus berlanjut hingga 2023. Gubernur The Fed Jerome Powell mengakui, sulit mengupayakan resesi ringan di tengah kenaikan suku bunga yang berlanjut demi menurunkan inflasi.
WASHINGTON, RABU — Bank Sentral AS atau The Federal Reserve (The Fed) menaikkan lagi suku bunga sebesar 0,75 persen untuk meredam inflasi. Langkah ini belum berhenti dan kenaikan suku bunga masih akan dilakukan dalam dua pertemuan menjelang akhir tahun 2022. Tindakan tersebut melemahkan upaya untuk mencegah resesi berat.
Demikian dikatakan Gubernur Bank Sentral AS (The Fed) Jerome Powell, Rabu (21/9/2022) di Washington DC, AS. Ini merupakan kenaikan suku bungu untuk ketiga kalinya secara beruntun.
Dengan kenaikan terbaru itu, suku bunga inti di AS sekarang berkisar 3 sampai 3,25 persen, tertinggi sejak 2008. Hingga akhir 2022 masih ada dua pertemuan Komite Kebijakan Pasar Terbuka (FOMC) The Fed dengan ancang-ancang kenaikan lanjutan antara 1 hingga 1,25 persen. Pada akhir 2022, suku bunga inti di AS bisa mencapai 4,50 persen.
Baca Juga: Berharap Gerakan The Fed Tidak Merapuhkan Rupiah
Data Fed menunjukkan, kenaikan lanjutan dimungkinkan pada 2023 hingga suku bunga mendekati 5 persen. Langkah-langkah tersebut, kata Powell, dilakukan untuk menurunkan inflasi ke target 2 persen.
Inflasi di AS pada Agustus 2022 sudah mencapai 8,3 persen, turun dari 9,1 persen pada Juni dan 8,5 persen pada Juli. ”Inflasi menurun, tetapi kita tidak tahu bagaimana perkembangan selanjutnya. Sepanjang inflasi masih tinggi, kita terus menaikkan suku bunga hingga inflasi kembali ke level 2 persen,” kata Powell.
Memukul warga
Powell kembali menyebut inflasi tinggi terjadi karena gangguan pasokan barang sebagai efek pandemi Covid-19, kemudian diikuti kenaikan harga energi dan komoditas global, termasuk karena konflik Ukraina. Ia tidak menyebutkan faktor stimulus 4,5 triliun dollar AS saat pandemi sebagai pemicu di balik kenaikan inflasi tersebut.
Baca Juga: Redam Inflasi, The Fed Naikkan Lagi Suku Bunga
Hanya saja, Powell mengatakan bahwa inflasi di AS kini didorong oleh kenaikan harga perumahan, biaya kesehatan, mobil-mobil baru, dan peralatan rumah tangga.
Untuk menekan harga, diperlukan kenaikan suku bunga untuk menyeimbangkan permintaan dan penawaran. ”Tidak ada yang tahu apakah kenaikan suku bunga akan menyebabkan resesi atau seberapa signifikan potensi resesi terjadi. Hanya saja, Fed sangat paham bahwa sulit mengupayakan resesi ringan di tengah kenaikan suku bunga yang berlanjut demi menurunkan inflasi,” lanjut Powell.
Powell menambahkan, inflasi harus diturunkan karena inflasi tinggi akan menjadi beban lebih besar dalam jangka panjang. Meski demikian, kenaikan suku bunga ini tetap membebani warga, terutama yang tidak memiliki tabungan.
Baca Juga: Fed Akhirnya Sangat Kukuh Menaikkan Suku Bunga
Kenaikan suku bunga akan menurunkan konsumsi, investasi, dan menurunkan pertumbuhan ekonomi serta menyeretkan kesempatan kerja. Rumah tangga warga keturunan Latin dan kulit hitam akan menghadapi pukulan keras. Banyak warga kategori ini yang menggantungkan hidupnya dari pinjaman.
Pada 2022, pertumbuhan ekonomi AS diperkirakan 0,2 persen atau turun dari 5,7 persen pada 2021. Pertumbuhan pada 2023 diperkirakan 1,2 persen dan pada 2024 menjadi 1,7 persen. Sinyal resesi sudah bermunculan berupa anjloknya proyeksi keuntungan FedEx, Ford. Penjualan sektor perumahan di AS telah jatuh berturut-turut selama 7 bulan hingga Agustus 2022.
Di samping menaikkan suku bunga, kata Powell, Fed juga akan mengurangi uang beredar dengan menjual aset-aset negara dan swasta yang dibeli selama beberapa tahun sebelumnya. Langkah ini menyedot jumlah uang beredar.
Resesi buruk dan lama
Terkait efek inflasi dan kenaikan suku bunga, ekonom AS, Nouriel Roubini, kembali berbicara. Roubini melihat krisis keuangan akan berlangsung lama dan buruk dimulai pada akhir 2022 hingga 2023 yang berefek pada kejatuhan indeks-indeks saham. ”Dalam resesi, biasa saja indeks saham gabungan S&P bisa turun 30 persen,” kata Roubini, Senin (19/9/2022).
Baca Juga: Roubini: Resesi Akut Segera Muncul
”Dalam resesi keras, indeks tersebut bisa anjlok hingga 40 persen,” lanjut Roubini. ”Anda harus menurunkan porsi investasi dalam bentuk saham dan lebih banyaklah memegang uang tunai.”
Ekonom Mohamed El-Erian dari Allianz, 20 September 2022, juga setuju bahwa situasi seperti dekade 1970-an akan datang dengan kejutan besar.
Roubini mengatakan, dengan kenaikan suku bunga, bukan hanya indeks yang akan berjatuhan. ”Banyak lembaga zombie, rumah tangga zombie, korporasi, perbankan termasuk perbankan bawah tanah dan negara-negara zombie akan mati. Kita akan melihat siapa yang akan berenang telanjang,” ujarnya.
Kata ”zombie” merujuk pada warga, rumah tangga, lembaga-lembaga keuangan, dan negara yang hidup dengan mengandalkan utang. Semua itu akan ketiban beban bunga tinggi dan seretnya pasokan uang beredar.
Roubini mengingatkan, upaya menurunkan inflasi hingga 2 persen tanpa resesi keras adalah sesuatu yang mustahil. Ia juga memperkirakan suku bunga Fed pada akhir 2022 akan berkisar pada 4 persen hingga 4,25 persen. Dengan inflasi yang bertahan tinggi, katanya, Fed tidak punya pilihan selain menaikkan suku bunga hingga 5 persen.
Baca Juga: Hanya Dua Pilihan, Resesi Besar atau Inflasi Spiral
Inflasi bertahan tinggi karena ada kejutan pada pasokan global akibat pandemi, konflik Ukraina-Rusia, dan kebijakan nol-Covid 19 China. Semua itu akan menaikkan biaya dan menurunkan pertumbuhan. Ini membuat tugas kebijakan Fed untuk menurunkan inflasi menjadi sulit. Penurunan inflasi akan menjadi tugas yang panjang dan menyebabkan resesi keras, bukan resesi ringan. Situasi itu tidak saja menimpa AS, tetapi dunia.
Ancaman besar
Begitu dunia memasuki resesi, stimulus tidak bisa diharapkan karena sejumlah pemerintahan sudah kehabisan senjata fiskal. Selain itu, kucuran stimulus di tengah inflasi tinggi juga berarti akan memanaskan perekonomian dengan ciri-ciri inflasi tinggi.
Sebagai akibat dari kenaikan suku bunga dan nihil stimulus, akan terjadi krisis seperti tahun 1970-an dengan situasi stagnasi dan inflasi. Akan ada beban utang massal dikombinasikan dengan krisis keuangan global. ”Resesi ini tidak akan singkat atau dangkal, tetapi akan parah, lama, dan buruk,” kata Roubini.
Roubini menambahkan, pada resesi kali ini korporasi, bank bawah tanah, seperti hedge fund, dan lembaga kredit yang selama ini mengandalkan uang murah akan meledak. Masalah dunia sekarang ini bukan hanya inflasi dan suku bunga.
Dalam buku barunya Megathreats, Roubini mengidentifikasikan 11 kejutan pada pasokan global dalam jangka menengah yang menurunkan potensi pertumbuhan. Kejutan pada pasokan global ini bersifat negatif karena ada kenaikan biaya produksi. Di antaranya termasuk akibat deglobalisasi dan proteksi, relokasi manufaktur dari China dan Asia ke Eropa dan AS, penduduk yang menua di negara maju dan negara berkembang, hambatan migrasi, decoupling antara perekonomian AS dan China, perubahan iklim global, dan pandemi buruk tahap berikutnya.
Probabilitas meningkat
Para analis dari reksa dana raksasa global Vanguard memperkirakan, AS akan menghadapi ledakan resesi dalam 12 bulan mendatang. Survei yang dilakukan SmartAsset terhadap 300 penasihat keuangan di awal Agustus mengatakan, 80 persen dari mereka yakin AS sudah memasuki resesi atau akan memasuki resesi dalam 12 bulan mendatang.
Dikutip Fortune, 20 September 2022, El-Erian mengatakan, ada beberapa langkah untuk mengatasi efek resesi. Tingginya inflasi inti, termasuk karena kenaikan harga pangan dan energi, layanan kesehatan, dan transportasi.
Ketegangan internasional turut mendorong inflasi. Maka dari itu, pemerintahan di seluruh dunia harus berkolaborasi memperbaiki pasokan barang dan komoditas, reformasi struktural ekonomi, serta memberi bantuan kepada warga yang paling terpukul. (REUTERS/AP/AFP)