Kenaikan suku bunga The Fed diputuskan dengan suara bulat oleh Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC). Tujuan utamanya adalah meredam inflasi yang sudah mencapai 9,1 persen atau level tertinggi sejak dekade 1980-an di AS.
Oleh
SIMON P SARAGIH S
·4 menit baca
WASHINGTON, RABU — Bank Sentral AS atau The Fed (Federal Reserve) kembali menaikkan suku bunga 0,75 persen menjadi 2,25 hingga 2,50 persen. Tujuan utamanya adalah meredam inflasi yang sudah mencapai 9,1 persen atau level tertinggi sejak dekade 1980-an di AS. Kenaikan suku bunga itu memperlambat pertumbuhan ekonomi AS, tetapi tidak menuju resesi yang dalam.
Kenaikan suku bunga ini diputuskan dengan suara bulat oleh Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC), Rabu (27/07/2022) atau Kamis dini hari WIB, di Washington DC, AS. Gubernur Bank Sentral AS Jerome Powell memimpin pertemuan, diikuti 11 anggota FOMC lainnya.
Meredam inflasi agar tidak spiral, demikian penekanan Powell di balik keputusan itu. Inflasi di bawah 10 persen terbilang moderat, tetapi jika tidak dikendalikan berpotensi menjadi inflasi spiral.
Maka dari itu, The Fed memutuskan kenaikan suku bunga serta melepas perlahan sebagian aset negara dan swasta berupa surat-surat yang dibeli. Misinya adalah mengetatkan peredaran uang guna meredam inflasi agar kembali ke level 2 persen. Kenaikan suku bunga akan berlanjut hingga setidaknya mencapai level 3,5 persen pada 2023.
”Bahwa akan ada efek kenaikan suku bunga berupa gejolak di pasar, itu sudah diperkirakan,” kata Powell. Ia menambahkan, gejolak itu masih dalam batas yang wajar.
Powell juga mengatakan, keputusan itu diambil setelah melihat gejala perekonomian yang relatif baik. Angka pengangguran di AS, misalnya, ia katakan relatif rendah. Data dari Biro Statistik Tenaga Kerja AS menunjukkan, angka pengangguran di AS sebesar 3,6 persen pada 8 Juli 2022.
Meski demikian, Powell menambahkan, efek kenaikan suku bunga AS akan menurunkan aktivitas ekonomi AS. Dana Moneter Internasional (IMF) menurunkan pertumbuhan ekonomi AS menjadi 2,3 persen pada 2022.
Singgung invasi Rusia
Powell menyebutkan, ada faktor penyebab inflasi yang mencapai rekor dalam empat dekade terakhir. Invasi Rusia ke Ukraina menyebabkan sulitnya perekonomian. ”Perang dan peristiwa terkait menciptakan tekanan tambahan pada inflasi dan berdampak pada perekonomian global,” demikian pernyataan FOMC.
Invasi Rusia telah menaikkan harga minyak dan gas serta sejumlah komoditas global akibat terhambatnya perdagangan dan juga akibat sanksi ekonomi Barat terhadap Rusia. Meski menyebut efek invasi pada inflasi, kebijakan luar negeri AS juga tidak mampu mencegah invasi Rusia akibat ketidaksediaan AS memberi jaminan pada netralitas Ukraina dalam posisinya di tengah kepentingan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan Rusia. Faktor geopolitik yang sedang genting turut menjadi menjadi penyebab.
Di samping efek invasi itu, stimulus ekonomi akibat pandemi Covid-19 berperan besar menaikkan inflasi. AS pada saat pandemi menerapkan kebijakan suku bunga nol persen. Demikian juga, Bank Sentral Eropa menerapkan suku bunga negatif.
”Saya mulai mendokumentasikan unsur fiskal di balik inflasi sekarang. Kita menabur dana 5 triliun dollar AS uang helikopter (stimulus). Kenaikan inflasi seharusnya tidak mengherankan,” demikian dituliskan oleh John H Cochrane dari National Bureau of Economic Researh (NBER) pada Mei 2022. Cochrane menambahkan, The Fed terlambat menyadari efek inflasi dari stimulus yang sudah mulai terlihat pada Januari 2021.
Reaksi pasar
Nada Powell memperlihatkan sikap tenang soal ancaman kenaikan suku bunga pada perekonomian AS dan global. Namun, tidak demikian sepenuhnya pandangan pasar.
Penelusuran CNBC pada 26 Juli terhadap opini 30 investor, analis, pengelola dana-dana investasi, dan para ekonom menyebutkan bahwa kenaikan suku bunga akan menyebabkan resesi (63 persen responden). Hanya 22 persen responden yang menyatakan sebaliknya. Sebanyak 55 persen responden juga menyebutkan, resesi akan terjadi dalam 12 bulan mendatang.
”Melihat konsistensi The Fed tentang kelanjutan kenaikan suku bunga, hal ini akan secara signifikan mendorong ekonomi menuju resesi,” kata Chris Zaccarelli, analis investasi dari Independent Advisor Alliance, Reuters, 26 Juli 2022.
Mantan Wakil Gubernur Bank Sentral AS Randal Quarles, pada 6 Juli 2022 kepada Fox Business, mengatakan, kenaikan suku bunga ini berefek pada beban utang para peminjam yang dalam dua tahun terakhir dibuai dengan kebijakan suku bunga nol persen. Potensi kejutan bisa muncul dari sektor keuangan, berupa potensi kebangkrutan yang bisa memberi efek domino global.
Kenaikan suku bunga di AS itu pasti berdampak pada seluruh dunia. Keadaan pasar yang relatif tenang sekarang tetap berpotensi bergejolak seiring dengan lanjutan kenaikan suku bunga AS. Oleh sebab itu, Powell menyebutkan, The Fed akan terus memantau perkembangan di AS dan internasional. ”Komite siap sedia menyesuaikan kebijakan moneter jika risiko muncul sehingga tidak mengacaukan misi komite,” demikian pernyataan FOMC.
Meski demikian, stabilisasi potensi gejolak ekonomi kali ini tidak hanya bisa mengharapkan otoritas moneter. Solusi Presiden Joe Biden dalam hal relasi internasional AS, khususnya terhadap Rusia dan China, juga menjadi sangat urgen. Dunia kini sedang menunggu niat Biden untuk berbicara dengan Presiden China Xi Jinping. (AFP/AP/REUTERS)