Hanya Dua Pilihan, Resesi Besar atau Inflasi Spiral
Inflasi tak terkendali bisa menjelma menjadi inflasi spiral jika sudah mencapai level di atas 10 persen. AS pernah mengalami hal itu, dengan kenaikan inflasi dari 5,8 persen pada 1970 menjadi 13,5 persen pada 1980.
Oleh
SIMON P SARAGIH S
·6 menit baca
Hanya ada dua pilihan bagi perekonomian AS: resesi besar atau inflasi tak terkendali alias inflasi spiral. Kondisi serupa, walau dengan derajat berbeda, sedang melanda dunia. Situasi mirip buah simalakama bagi perekonomian AS itu kembali dicuatkan ekonom AS, Dr Nouriel Roubini, dalam wawancara dengan televisi Bloomberg, Selasa, 15 Agustus 2022.
Roubini memberikan peringatan karena pasar dan bank sentral AS, The Federal Reserve, menganggap ”sepele” potensi resesi besar atau inflasi spiral. Pasar masih saja bergeliat dengan kenaikan indeks-indeks. Menurut Roubini, hal itu hanya akan menyebabkan bantingan lebih keras jika resesi terjadi dan pemulihannya akan lama.
Bagi Gubernur Bank Sentral AS (The Fed) Jerome Powell, pilihannya adalah merelakan resesi. Hanya saja, berbeda dengan Roubini, Powell mengatakan, resesi yang akan datang bersifat ringan. Powell sudah menegaskan, lebih berbahaya membiarkan inflasi karena bisa menjadi tak terkendali.
Inflasi tak terkendali bisa menjelma menjadi inflasi spiral jika sudah mencapai level di atas 10 persen. AS pernah mengalami hal itu dengan kenaikan inflasi dari 5,8 persen pada 1970 menjadi 13,5 persen pada 1980. Pada dekade 1970-an itu, inflasi, antara lain, disebabkan oleh kenaikan harga minyak dunia, efek perang Arab-Israel.
Sekarang AS kembali menghadapi tekanan inflasi. Sepanjang 2021, tingkat inflasi 4,7 persen. Inflasi di AS pada Juli 2022 dibandingkan Juli 2021 sebesar 8,5 persen. Angka ini turun dari inflasi Juni 2022 sebesar 9,1 persen, level tertinggi sejak November 1981.
Powell dan Menkeu Janet Yellen mengakui, mereka agak lengah tentang arah inflasi, yang mulai naik sejak pertengahan 2021. Tadinya inflasi itu dianggap hanya sementara. Kebijakan uang murah dengan suku bunga inti The Fed nol persen, ditambah uang helikopter 5 triliun dollar AS pada era puncak Covid-19, jadilah inflasi berkecamuk, menurut ekonom John Cochrane dari Hoover Institution.
Sudah masuk resesi
Kritik keras telah diarahkan kepada The Fed karena terlambat menyadari bahaya inflasi. Untuk meredam inflasi, The Fed telah menaikkan suku bunga inti dan kini bertengger di level 2,25 persen hingga 2,50 persen setelah kenaikan terakhir pada 27 Juli 2022. The Fed masih akan menaikkan suku bunga inti hingga bertengger pada 3,375 persen pada 2022, lalu akan naik lagi menjadi sekitar 3,8 persen pada akhir 2023.
Risikonya adalah kelesuan ekonomi karena tradisi perekonomian AS yang terbiasa digerakkan kebijakan uang mudah (easy money policy). Berdasarkan data dari National Bureau of Economic Research (NBER), pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) AS terkontraksi 1,6 persen pada kuartal pertama 2022 dan terkontraksi lagi 0,9 persen pada kuartal kedua 2022. Penurunan pertumbuhan dalam dua kuartal berturut-turut sudah menjadi indikasi memasuki resesi.
Keadaan ini sesuai dengan pilihan The Fed, yakni merelakan resesi dan memilih meredam inflasi. Akan tetapi, total besaran kenaikan suku bunga dianggap tidak cukup. ”Jika tujuannya adalah menurunkan inflasi ke level 2 persen, kisaran kenaikan suku bunga inti hingga 3,8 persen saja tidaklah cukup,” kata Roubini.
”The Fed harus menaikkan lagi suku bunga inti hingga di atas level 4-4,5 persen jika ingin menurunkan inflasi,” ujarnya. Jika hal itu tidak dilakukan, lanjut Roubini, inflasi diperkirakan menjadi tidak terkendali.
Roubini melanjutkan, sebaliknya jika suku bunga dinaikkan ke level 4-4,5 persen, konsekuensinya akan terjadi resesi besar karena mendorong rentetan kebangkrutan, antara lain, karena beban utang yang naik. Pengetatan uang beredar lewat kenaikan suku bunga juga akan meredam konsumsi. Namun, kata Roubini, hanya dua hal itu saja yang menjadi pilihan AS, entah itu resesi besar atau inflasi tak terkendali.
Berharap tak parah
Powell dan The Fed tetap berharap suku bunga inti maksimum 3,8 persen. Dengan level itu, inflasi diharapkan terkendali dan resesi tidak menjadi lebih parah. Powell sangat prihatin akan efek resesi parah terhadap kehidupan warga yang sudah banyak menjadi gelandangan di kota-kota besar AS.
Presiden Federal Reserve St Louis, James Bullard, 3 Agustus 2022, seakan menjawab Roubini, mengatakan bahwa sulit melihat resesi parah dengan tingkat pengangguran yang rendah di level 3,6 persen sekarang ini. ”Ada penurunan ekonomi, tetapi kita tidak memasuki resesi,” kata Bullard. Atau jika ada penurunan ekonomi, sifatnya ringan.
Bagi Roubini, bukan hal seperti itu yang akan terjadi di depan. ”Asumsikan suku bunga maksimum 3,8 persen (seperti keinginan The Fed). Namun, konsekuensinya inflasi akan tetap berada di atas 8 persen,” kata Roubini.
Roubini berpendapat bahwa inflasi 9,1 persen pada Juni 2022 mungkin saja sudah mencapai puncaknya. ”Akan tetapi, pertanyaannya adalah seberapa cepat inflasi akan turun. Dengan mematok suku bunga (maksimum sekitar 3,8 persen), secara riil suku bunga di pasar masih tergolong negatif. Saya kira tingkat pengetatan suku bunga yang ada (dan yang direncanakan) belum memadai untuk mendorong inflasi ke level 2 persen. Kita masih berada di pusaran inflasi buruk, tidak saja di AS, tetapi juga di seluruh dunia,” kata Roubini.
Suku bunga riil negatif
Suku bunga rill dikatakan negatif jika level suku bunga pasar masih berada di bawah angka inflasi. Berdasarkan data Reuters, 27 Juli 2022, JPMorgan Chase & Co, Citigroup, Wells Fargo telah menaikkan suku bunga pinjaman 5,5 persen sebagai akibat kenaikan suku bunga inti The Fed. Namun, dengan angka inflasi pada Juli 8,5 persen, suku bunga riil pinjaman perbankan itu masih negatif 3 persen (8,5 persen dikurangi 5,5 persen).
Menurut Roubini, suku bunga di pasar itu tidak menggambarkan pengetatan uang beredar di tengah inflasi yang masih tinggi. Dengan kata lain, suku bunga riil negatif tidak akan efektif menurunkan inflasi. Oleh sebab itulah, Roubini berpendapat bahwa The Fed harus menaikkan suku bunga inti dari kisaran yang ada.
”Secara empiris di AS, jika inflasi masih berada di atas angka 5 persen dan tingkat pengangguran rendah di bawah 5 persen, tetap ada dorongan untuk menaikkan lagi suku bunga. Namun, setiap kali terjadi pengetatan oleh The Fed (untuk menurunkan inflasi) hal itu selalu mengarah ke resesi besar. Jadi, dasar pemikiran saya adalah resesi besar,” lanjut Roubini.
Ini belum bicara tentang efek geopolitik terhadap inflasi lewat kenaikan komoditas dan juga pengetatan pergerakan di China karena kebijakan nol Covid-19. Dalam pandangan Roubini, tekanan inflasi kali ini tidak lebih ringan. Dunia pun menghadapi hal serupa.
Roubini tidak sendirian
Ekonom Goldman Sachs, Jan Hatzius, sependapat dengan Roubini bahwa sulit bagi The Fed mengharapkan resesi ringan sekaligus inflasi terkendali. ”The Fed memiliki tugas monumental di depan, menjaga agar resesi bersifat ringan sekaligus inflasi yang terkendali. ... Sangat sulit mengharapkan hal seperti itu,” kata Hatzius, seperti dikutip Forbes, 15 Agustus 2022.
Roubini tidak sendirian dengan pandangannya. Pada 11 Agustus, Reuters mengutip Presiden Federal Reserve Bank Minneapolis, Neel Kashkari. ”The Fed masih jauh dari pencanangan kemenangan terhadap inflasi meski ada gejala penurunan inflasi,” kata Kashkari. Oleh karena itu, Kashkari juga mengatakan, The Fed harus menaikkan suku bunga inti menjadi 3,9 persen pada akhir 2022 dan naik lagi menjadi 4,4 persen pada akhir 2023.
Kashkari adalah figur paling hawkish dibandingkan dengan 18 figur lainnya yang menjadi penentu di Federal Reserve (The Fed). Hampir semua figur itu melihat suku bunga inti maksimum 3,8 persen sudah memadai untuk mengendalikan inflasi.
Kashkari menyebut skenario itu tidak realistis jika tujuannya adalah menurunkan inflasi ke tingkat 2 persen. ”Risiko resesi tidak mengubah pandangan saya untuk mendorong tindakan yang diperlukan,” lanjut Kashkari.