Wilayah Ukraina yang Diduduki Rusia Akan Gelar Referendum, Putin Mobilisasi Pasukan
Pemimpin pro-Moskwa di empat wilayah Ukraina yang diduduki Rusia mengumumkan menggelar referendum, Jumat pekan ini, guna melegalkan wilayah mereka masuk Rusia. Presiden Vladimir Putin juga mengumumkan mobilisasi pasukan.
Oleh
MUHAMMAD SAMSUL HADI
·5 menit baca
KYIV, RABU — Pemimpin pro-Moskwa di empat wilayah Ukraina yang saat ini diduduki Rusia, Selasa (20/9/2022), mengumumkan akan menggelar referendum, Jumat pekan ini. Sehari berselang, Rabu, Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan mobilisasi pasukan secara parsial menyusul keberhasilan serangan balik pasukan Ukraina untuk merebut kembali sebagian wilayah yang diduduki Rusia.
Referendum di empat wilayah itu diselenggarakan sebagai upaya melegalkan wilayah-wilayah tersebut menjadi bagian dari Rusia. Ukraina dan pemimpin negara-negara Barat mengecam langkah tersebut. Mereka menegaskan tidak akan mengakui hasil referendum.
Dalam pidato yang disiarkan televisi, Putin menyatakan, mobilisasi parsial dari pasukan cadangan yang berkekuatan dua juta personel dilakukan untuk mempertahankan Rusia dan wilayah teritorialnya. Ia mengklaim, Barat ingin menghancurkan Rusia dan tidak menginginkan perdamaian di Ukraina.
”Untuk melindungi tanah air, kedaulatannya, saya mempertimbangkan bahwa penting untuk mendukung keputusan Staf Umum tentang mobilisasi parsial pasukan,” kata Putin.
Adapun referendum di empat wilayah Ukraina yang diduduki Rusia diumumkan di tengah kemajuan pasukan Ukraina dalam merebut kembali sebagian wilayah negara mereka dari tentara Rusia dan pasukan pro-Moskwa. Referendum itu akan digelar di Luhansk, Kherson, serta sebagian wilayah Zaporizhia dan Donetsk, 23-27 September ini.
Luas wilayah tersebut sekitar 15 persen dari total teritorial Ukraina. Luasnya seukuran Hongaria. Sebelumnya, Rusia telah mengakui Luhansk dan Donetsk, yang membentuk wilayah Donbas, sebagai negara independen. Ukraina dan Barat menyatakan wilayah-wilayah itu sebagai wilayah pendudukan ilegal.
Mantan Presiden Rusia Dmitry Medvedev, yang juga menjabat Wakil Ketua Dewan Keamanan Rusia di bawah pimpinan Presiden Vladimir Putin, mengatakan bahwa referendum itu akan menetapkan ulang garis perbatasan wilayah Rusia. Garis baru perbatasan tersebut, lanjut Medvedev, ”tidak akan bisa diubah lagi” dan Moskwa akan menggunakan segala cara untuk mempertahankannya.
Pada 2014, Rusia mengirim pasukannya ke Semenanjung Crimea—wilayah Ukraina saat itu—dan menggelar referendum di sana sebagai upaya menganeksasi wilayah tersebut. Barat menyebut pada 2014 itu Rusia mencaplok Crimea dari Ukraina.
Moskwa membantah telah mencaplok Crimea dengan alasan bergabungnya Crimea—yang secara faktual diakui menjadi bagian dari Ukraina setelah runtuhnya Uni Soviet pada 1991—ke Rusia didasarkan pada hasil referendum 16 Maret 2014.
Dalam referendum nanti, banyak kalangan memperkirakan hampir bisa dipastikan bahwa hasilnya akan sesuai dengan keinginan Moskwa. Namun, Kyiv dan para pemimpin Barat sudah menyatakan tidak akan mengakui hasil referendum tersebut.
Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba mengecam rencana referendum tersebut sebagai permainan tipuan. ”Referendum tidak akan mengubah apa-apa,” ujarnya kepada wartawan di Markas Besar PBB, New York, AS. ”Itu langkah keputusasaan Rusia, tetapi tidak akan menolong mereka.”
Penasihat Keamanan AS Jake Sullivan menyatakan, AS tidak akan mengakui wilayah-wilayah itu kecuali sebagai bagian dari wilayah UKraina. ”Langkah (referendum itu) bukan tindakan dari sebuah negara yang percaya diri. Itu bukan tindakan yang membuktikan kekuatan,” ujarnya.
Kanselir Jerman Olaf Scholz, yang juga berada di Markas Besar PBB, New York, untuk menghadiri sidang Majelis Umum PBB, mengatakan, ”Sangat-sangat jelas bahwa referendum tipu-tipuan itu tidak dapat diterima.”
Presiden Perancis Emmanuel Macron menyebut rencana referendum itu tak ubahnya seperti ”sinisme”. ”Rusia mendeklarasikan perang dan kini mengumumkan bahwa wilayah yang sama akan menyelenggarakan referendum. Jika tidak disebut tragis, itu sebuah lelucon,” ujarnya.
Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa (UE) Josep Borrell menyatakan, tidak akan mengakui hasil referendum tersebut dan mempertimbangkan langkah-langkah berikutnya jika Rusia tetap ngotot menggelar referendum.
Jadi bagian dari Rusia
Rencana Rusia menggelar referendum di wilayah Ukraina yang mereka duduki diumumkan oleh empat pemimpin yang ditunjuk Moskwa. Di Donetsk, pemimpin separatis Denis Pushilin mengatakan bahwa referendum nanti akan ”memulihkan keadilan bersejarah” di wilayah yang warganya menderita.
”Mereka berhak menjadi bagian dari negara besar ini yang selalu mereka anggap sebagai tanah air mereka,” ujar Pushilin.
Di sebagian wilayah Zaporizhia yang diduduki Rusia, aktivis pro-Moskwa Vladimir Rogov mengatakan, ”Lebih cepat kami menjadi bagian dari Rusia, semakin cepat perdamaian itu akan tiba.”
Tekanan bagi Moskwa untuk menggelar referendum dari para pemimpin wilayah Ukraina yang diduduki Rusia meningkat setelah serangan balik pasukan Ukraina berhasil merebut kembali beberapa wilayah dari pasukan Rusia dan milisi pendukungnya.
Analis politik Rusia dan mantan penulis pidato di Kremlin, Abbas Gallyamov, melalui Facebook mengatakan, kelompok separatis dukungan Moskwa diperkirakan ”khawatir Rusia akan meninggalkan mereka” di tengah serangan ofensif Ukraina. Karena itu, mereka mendesak digelar referendum.
Secara terpisah di Moskwa, Majelis Rendah Parlemen Rusia pada Selasa (20/9) memperkeras undang-undang yang memperkeras hukuman desersi, menyerah, dan menjarah yang dilakukan oleh tentara Rusia. Para anggota parlemen mengadakan pemungutan suara untuk memberlakukan hukuman 10 tahun penjara bagi tentara yang menolak perintah berperang.
Jika undang-undang itu disetujui Majelis Tinggi dan ditandatangani Putin, ketentuan tersebut diharapkan memperkuat posisi para komandan dalam menghadapi para anggota pasukannya yang dilaporkan sedang menurun moralnya.
Jubir Kremlin, Dmitry Peskov, mengatakan bahwa tidak ada prospek kesepakatan diplomatik dalam konflik saat ini. Medvedev, yang menjabat Presiden Rusia 2008-2012, melalui aplikasi saluran pesan, menyebutkan, referendum tersebut penting guna melindungi rakyat mereka dan akan mengubah sepenuhnya arah masa depan Rusia.
”Setelah (referendum) digelar dan teritorial baru dimasukkan ke dalam wilayah Rusia, transformasi geopolitik dunia bakal tak mungkin diputar balik lagi,” kata Medvedev. ”Menerobos teritorial Rusia menjadi kejahatan yang membolehkan penggunaan cara pertahanan diri.”
Analis Ukraina Volodymyr Fesenko, kepala lembaga pemikir independen Penta Center di Kyiv, menyebutkan bahwa Kremlin berharap referendum dan kemungkinan eskalasi akan meningkatkan tekanan dari pemerintahan Barat pada Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy untuk memulai perundingan dengan Moskwa.
Langkah referendum itu, lanjut Fesenko, ”mencerminkan kelemahan, bukan kekuatan Kremlin yang sedang kesulitan menemukan daya ungkit untuk memengaruhi situasi yang semakin lepas dari kontrolnya”. (AP/AFP/REUTERS)