Perang Ukraina-Rusia, Cermin Senjakala Era Dominasi Barat
Sejumlah pakar menyebut, Perang Ukraina-Rusia seharusnya menyadarkan AS bahwa Washington kini bukanlah penguasa tunggal. Perang ini mempercepat transisi dari unipolar menuju tatanan multipolar.
Oleh
KRIS MADA DAN HARRY SUSILO DARI KYIV, UKRAINA
·6 menit baca
Dalam 2,5 bulan terakhir, Amerika Serikat secara terbuka menunjukkan niat untuk tetap menjadi pemimpin tunggal global. Washington siap melakukan berbagai cara untuk mewujudkan niat itu. Sementara negara-negara lain terus mengindikasikan era AS sebagai pemimpin tunggal global sudah berakhir.
Presiden AS Joe Biden sampai-sampai melakukan hal yang bertolak belakang dari materi kampanyenya. Pada 2020, ia mewacanakan pengucilan Arab Saudi gara-gara pembunuhan wartawan Jamal Khashoggi. Pada Juli 2022, ia malah hadir dalam forum diplomasi kawasan yang digelar di Jeddah. ”Kami tidak akan pergi dan meninggalkan kekosongan untuk diisi oleh China, Rusia, atau Iran,” katanya di sela pertemuan negara-negara Teluk pada 16 Juli 2022.
Biden mendatangi Arab Saudi setelah penguasa faktual negara itu, Pangeran Mohammed bin Salman, menolak teleponnya. Putra Mahkota Arab Saudi itu, bersama Pangeran Mohammed bin Zayed yang kini menjadi Presiden Uni Emirat Arab, menolak menerima telepon Biden di tengah upaya AS menggalang kekuatan mengucilkan Rusia terkait invasi ke Ukraina. Washington berharap Riyadh dan Abu Dhabi mau bergabung dengan cara meningkatkan pasokan minyak dan gas bumi. Dengan demikian, dunia tidak perlu minyak dan gas bumi Rusia. Sampai sekarang, upaya itu gagal. Para sekutu dan mitra AS tetap menjadi konsumen terbesar minyak dan gas bumi Rusia.
Pada 25 April 2022 di Polandia, Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin juga secara terbuka menyebut AS ingin melemahkan Rusia lewat perang di Ukraina. ”Mereka (Rusia) telah kehilangan banyak prajurit dan persenjataan. Kami ingin mereka kehilangan kemampuan untuk segera menggantikannya,” ujarnya
Pada bulan yang sama, sejumlah pejabat Dewan Keamanan Nasional AS membenarkan pelemahan Rusia adalah tujuan strategis AS yang ingin dicapai dalam perang tersebut. Karena itu, AS memasok aneka persenjataan dan informasi intelijen ke Ukraina. Dengan pasokan itu, Kyiv menyasar berbagai posisi pasukan dan persenjataan Mokswa. Pelemahan Rusia akan menguntungkan AS secara strategis.
Sarana
Pakar diplomasi pada Georgetown University, Matthew Kroenig, menyebut pernyataan Austin jelas menunjukkan Ukraina menjadi sarana bagi kepentingan dan tujuan AS. Washington menjalankan permainan yang sudah dilakoni sejak Perang Dunia II selesai, yakni melemahkan Moskwa.
Kebijakan itu sudah dirumuskan sejak masa Presiden AS Franklin D Rosevelt berkuasa. Direktur Perencanaan Kebijakan pada Departemen Luar Negeri AS George Kennan malah membuat usulan lebih jelas pada 1947. Ia mengusulkan Jerman Barat dan Jepang diperkuat agar bisa dijadikan alat melemahkan Uni Soviet. Padahal, kedua negara itu baru ditaklukkan AS lewat kongsi antara lain dengan Uni Soviet.
Penggunaan negara lain untuk melemahkan Rusia, menurut Rajinder Singh, sedang dipakai AS di Ukraina. Analis pertahanan yang juga pensiunan perwira India itu mengatakan, AS secara cerdik mendorong Ukraina dalam perang yang bisa mengiris pelan-pelan Mokswa.
Guru Besar Emeritus pada Jawaharlal Nehru University, Anuradha Chenoy, mengatakan, AS memakai perang Ukraina untuk menyelesaikan perpecahan di Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Ini mirip yang dilakukan AS di Afghanistan. Kala itu, limpahan persenjataan dan dana AS dan sekutunya membuat pasukan Afghanistan bisa mengusir pasukan Uni Soviet. ”Rusia sudah lama bersiap sembari tetap berusaha kompromi dengan NATO,” katanya.
Pengajar kajian perang di Kings College London, Ksenia Kirkham, menyebut AS meraih keuntungan komersial utama dari konflik Ukraina. Pebisnis pertahanan dan perminyakan AS bisa meningkatkan penjualan dengan memanfaatkan perang itu. Pernyataan Kirkham didukung fakta kontrak-kontrak pebisnis pertahanan AS yang meningkat sejak Ukraina di ambang perang. Berbagai negara memesan persenjataan bernilai miliaran dollar AS karena khawatir pada perkembangan di Ukraina.
Patrick Buchanan memperingatkan, perang dengan Rusia sudah lama diagendakan. Mantan penasihat politik bagi sejumlah presiden AS, yakni Gerald Ford, Richard Nixon, dan Ronald Reagan, itu mengatakan, agenda dimulai sejak NATO memperluas keanggotaan ke Eropa Timur.
Kennan, yang merancang pembendungan Mokswa, pun menyebut perluasan NATO sebagai kesalahan. Perang Dingin yang berakhir pada 1991 justru dibangkitkan lagi lewat perluasan NATO. ”Rusia pasti akan disalahkan kalau bereaksi pada perluasan itu. Tindakan itu (menyalahkan Rusia) sangat tidak benar,” ujarnya.
China
NATO tidak hanya dipakai untuk menghadapi Rusia. Dalam pertemuan di Madrid pada Juni 2022, NATO sepakat menjadikan China sebagai pesaing serius. Pada 12 Juli 2022 di Korea Selatan, Staf Ahli Departemen Luar Negeri AS Derek Chollet membenarkan AS ingin membendung China. Caranya, mengeratkan kerja sama NATO dengan mitra di Asia Timur.
Pada akhir Juni, NATO akhirnya menyebut China sebagai penantang sistematis. Di Asia Pasifik, NATO berusaha merangkul sejumlah negara untuk mencapai tujuan itu. Alih-alih mengerahkan pasukan dan persenjatan ke kawasan ini, NATO mendorong mitranya memanfaatkan aneka sumber daya untuk membendung China.
Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional pada Ghent University Belgia, Sven Biscop, menyebut, rivalitas dengan China adalah prioritas strategis bagi siapa pun yang menguasai Gedung Putih. ”Taruhan terbesar AS justru sedang dihadirkan di Asia Timur. China adalah pesaing yang sedang menghadirkan tantangan serius pada dominasi AS,” paparnya.
Menurut pemimpin lembaga konsultansi Dezan Shira & Associates, Chris Devonshire-Ellis, dapat dipahami bila AS ingin membendung China. Bersama Brasil, Rusia, India, dan Afrika Selatan, China membentuk BRICS yang menjadi hambatan utama AS dan sekutunya di Eropa mempertahankan dominasi global. Padahal, paradigma BRICS berbeda dengan AS dan sekutunya. BRICS fokus pada kerja sama komersial dan sejauh ini mendorong pencapaian tujuan bersama.
Devonshire-Ellis menyebutkan, AS dan sekutunya mengabaikan aspirasi banyak negara. Mereka hanya mau melarang negara-negara agar tidak berhubungan dengan China-Rusia. Padahal, terlepas dari perbedaan porsi raihannya, relasi itu menghadirkan manfaat bagi semua pihak.
Sementara pakar kebijakan luar negeri AS pada Hamilton College di New York, Alan Cafruny, menyebut, perang Ukraina-Rusia justru tidak sesuai kepentingan China. Sebab, perang itu menghadirkan ketidakpastian yang merugikan ambisi komersial China di kancah global. ”Perang mengacaukan jaringan logistik dan operasional pebisnis China,” tuturnya.
Ia memperingatkan, memburuknya hubungan dengan China akan merugikan AS. Kini, Beijing menjadi pemberi utang terbesar AS. Hingga 1,4 triliun dollar AS surat utang Washington dimiliki Beijing. Tidak ada negara lain memberikan utang sebanyak itu kepada Pemerintah AS.
Jika menolak membayar utangnya pada China, AS bisa dianggap gagal bayar. Dampaknya, AS akan kesulitan mendapatkan pinjaman baru. Padahal, AS kini mengandalkan utang baru untuk membayar utang lama dan membiayai aneka belanjanya.
Sejumlah pakar menyebut, Perang Ukraina-Rusia seharusnya menyadarkan AS bahwa Washington kini bukanlah penguasa tunggal. ”Reaksi berbagai negara menunjukkan masing-masing punya kepentingan dan mau mengejar itu, bukan mengikuti keinginan AS,” kata Biscop.
Banyak negara tidak mau menerima narasi AS bahwa perang Ukraina-Rusia adalah perang antara demokrasi dan rezim otoriter. Selain karena tidak ada kepentingan, narasi itu sulit diterima.
Bagi analis Newlines Institute for Strategy and Policy, Eugene Chausovsky, Perang Ukraina-Rusia mempercepat transisi dari tatanan kutub tunggal dengan AS sebagai pusatnya menjadi banyak kutub atau multipolar. ”Setiap kekuatan mengejar kepentingan masing-masing, tidak ada lagi pengejaran bersama dengan satu arahan tunggal,” katanya.