Sekjen PBB Peringatkan, Keterbelahan Dunia Semakin Dalam
Sidang Ke-77 Majelis Umum PBB dibuka dengan pidato Sekjen PBB Antonio Guterres yang memperingatkan adanya bahaya besar bagi dunia saat ini. Untuk menanganinya, dunia butuh lebih banyak tindakan dan kerja sama.
Oleh
FRANSISCA ROMANA, DARI NEW YORK, AS
·5 menit baca
NEW YORK, KOMPAS — Sidang Ke-77 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dibuka pada Selasa (20/9/2022) di Markas Besar PBB di New York, Amerika Serikat. Sidang digelar di tengah berbagai krisis besar yang terus melanda dunia akibat konflik, perubahan iklim, dan pandemi Covid-19.
Ini pertama kalinya sidang digelar secara tatap muka penuh sejak pandemi melanda pada 2020. Dalam dua tahun sebelumnya, akibat pandemi Covid-19, sidang Majelis Umum PBB digelar daring tahun 2020 dan secara hibrida pada 2021.
Pengamanan di kawasan sekitar Markas Besar PBB terlihat lebih ketat karena kehadiran lebih dari 130 kepala negara dan kepala pemerintahan yang akan mengikuti sesi pembukaan. Presiden Joko Widodo tidak hadir dalam sidang kali ini. Indonesia diwakili Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan dijadwalkan berpidato pada 26 September.
Pertemuan tatap muka para pemimpin negara ini diharapkan bisa mengembalikan pendekatan diplomatik yang hilang atau berkurang kala pertemuan hanya dilakukan secara virtual. Dengan demikian, hasil yang diharapkan dari pertemuan tahun ini lebih maksimal dalam upaya menyelesaikan berbagai persoalan global.
Di dalam ruangan sidang, para delegasi yang hadir tampak saling menyapa dan berbincang dengan hangat. Sebelum sesi sidang dibuka, ruangan berdengung dengan aneka percakapan yang hidup di berbagai sudut. Perbincangan tidak lagi dibatasi masker meski masih terlihat beberapa orang yang tetap mengenakannya.
Membuka sidang, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyebutkan, dunia dalam masalah besar. ”Keterbelahan semakin dalam. Ketidaksetaraan semakin lebar. Tantangan menyebar semakin luas. Namun, di tengah dunia yang dilanda kekacauan, muncul sebersit harapan,” katanya.
Ia menunjukkan kapal Black Commander berbendera PBB yang terpampang di layar. Kapal itu mengangkut biji-bijian yang berhasil keluar dari Ukraina melalui Laut Hitam. Kapal itu menuju negara-negara yang memerlukan bahan pangan yang tersandera akibat perang di Ukraina.
”Lihat lebih dekat. Kapal ini adalah simbol apa yang bisa dicapai dunia saat bekerja bersama,” ujar Guterres.
Maka, lanjutnya, sejatinya multilateralisme adalah diplomasi dalam tindakan. Dunia memerlukan harapan, tetapi lebih banyak memerlukan tindakan.
Guterres menyinggung krisis pangan global yang memerlukan solusi distribusi pupuk. Jika tidak, tahun depan suplai pangan bisa terancam. Ia menekankan perlunya menghilangkan hambatan ekspor pupuk Rusia dan bahan pembuatnya, yakni amonia.
”Kita perlu bertindak. Kita berlayar di laut ganas. Kesulitan global mulai terbit di cakrawala. Biaya hidup menggila. Kepercayaan runtuh. Ketidakadilan meledak. Planet kita membara. Rakyat menderita, terutama kelompok paling rentan. Piagam PBB dan idealisme yang diwakilinya dalam bahaya. Kita punya tugas untuk bertindak,” papar Guterres.
Ia juga menyebut isu-isu panas lain yang masih harus diselesaikan lewat kerja bersama, seperti perang Ukraina-Rusia, pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, penyalahgunaan teknologi dan media sosial, kekerasan sosial di sejumlah negara, krisis di Afghanistan dan Myanmar, juga konflik Palestina-Israel. Isu lingkungan dan krisis akibat perubahan iklim juga jadi sorotan Guterres dalam pidatonya.
Setelah Guterres, Presiden Brasil Jair Bolsonaro menjadi kepala negara pertama yang menyampaikan pidato. Presiden AS Joe Biden, yang secara tradisi seharusnya di urutan kedua, digeser akan berpidato pada Rabu karena baru kembali dari menghadiri pemakaman Ratu Inggris Elizabeth II.
Dalam sesi debat umum, Indonesia akan kembali menekankan, syarat mutlak dalam mengatasi berbagai persoalan global yang masih mendera dunia adalah multilateralisme atau kerja sama. Polarisasi dan keterbelahan yang semakin kentara di antara negara-negara pasca-serangan Rusia ke Ukraina menjauhkan pencapaian tujuan bersama untuk mengatasi aneka krisis saat ini.
Retno mengatakan, Indonesia akan memaksimalkan kehadiran di sidang Majelis Umum PBB tahun ini untuk menyuarakan kerja bersama mengatasi krisis kemanusiaan global. Retno akan bertemu secara bilateral dengan menlu anggota G20 dan menlu anggota ASEAN, kecuali Myanmar.
Penghargaan
Sehari sebelum sidang Majelis Umum PBB, Senin malam, Presiden Joko Widodo diwakili Retno menerima penghargaan Global Citizen Awards 2022 dari Atlantic Council di Cipriani Hall, New York. Atlantic Council adalah organisasi nonpartisan yang mempromosikan kepemimpinan dan keterlibatan konstruktif di berbagai persoalan internasional.
Penghargaan ini merupakan bentuk pengakuan atas kepemimpinan Indonesia di G20; upaya perdamaian internasional yang ditandai kehadiran Presiden di Kyiv, Ukraina, dan Moskwa, Rusia; serta kerja sama pascapandemi Covid-19.
Tahun ini, penghargaan tersebut dianugerahkan kepada Presiden Jokowi, Presiden Finlandia Sauli Niinisto, Perdana Menteri Swedia Magdalena Andersson, dan CEO Google dan Alphabet Sundar Pichai, serta aktor Forest Whitaker yang juga pendiri dan CEO Whitaker Peace and Development Initiative. Penghormatan secara khusus diberikan kepada mendiang Ratu Elizabeth II dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe.
Klaus Schwab, Direktur Eksekutif Forum Ekonomi Dunia, yang menyerahkan penghargaan untuk Presiden Jokowi menyampaikan, Jokowi menghadapi krisis majemuk yang saling berkelindan dan mengupayakan kerja bersama dalam tataran global untuk terus mencapai perdamaian dan kesejahteraan bersama.
Dalam pesan yang disampaikan melalui rekaman video, Presiden Jokowi berterima kasih kepada The Atlantic Council yang telah memberikan Global Citizen Awards. ”Penghargaan ini saya persembahkan untuk rakyat Indonesia yang telah bekerja keras bersama saya menghadapi berbagai tantangan,” ujar Presiden.
Presiden menambahkan, tantangan domestik yang dialami Indonesia sangat berat, sebagaimana banyak negara berkembang lain. Tantangan global, seperti perubahan iklim, krisis kesehatan, krisis pangan, krisis energi, dan krisisi finansial, juga menjadi agenda kebijakan prioritas pemerintah.
”Semua ini butuh komitmen tinggi serta butuh kebijakan akurat yang terlaksana dengan baik. Sebagai presiden, saya sangat dibantu oleh masyarakat Indonesia yang majemuk, damai, bersatu, dan bergotong royong dalam sistem politik yang demokratis,” kata Presiden.
Sementara dalam pidato penerimaan, Retno menyampaikan pesan Presiden yang menyatakan perlunya paradigma baru untuk membangun dunia yang damai, adil, dan sejahtera, yakni paradigma kolaborasi. ”Indonesia akan berada di garis depan untuk membela paradigma ini. Di dunia yang penuh pesimisme, Indonesia ingin menginspirasi (dengan) harapan dan kepercayaan,” kata Retno.
”Di dunia yang terbelah, Indonesia ingin menjadi jembatan. Di tengah dunia yang penuh tantangan, Indonesia bertekad untuk menjadi bagian dari solusi,” lanjut Retno.