Krisis global sebagai dampak ikutan dari perang Ukraina-Rusia masih menyebabkan kesulitan bagi banyak negara, terutama di sektor pangan dan energi. Negara berkembang paling terpukul.
Oleh
FRANSISCA ROMANA DARI NEW YORK, AMERIKA SERIKAT
·3 menit baca
NEW YORK, KOMPAS - Isu kemanusiaan di sejumlah negara masih mengkhawatirkan dan memerlukan penanganan global serta segera. Situasi di Ukraina, Afghanistan, dan Myanmar menjadi sorotan dan prioritas karena dampaknya yang luas dan dalam tak hanya bagi negara yang bersangkutan, tetapi juga banyak negara lainnya.
Hal ini mengemuka dalam pertemuan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Kepala Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB Martin Griffiths, Senin (19/9/2022) di Markas Besar PBB di New York, Amerika Serikat. Sehari sebelumnya, Retno membahas hal serupa dalam pertemuan dengan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres.
Krisis global sebagai dampak ikutan dari perang Ukraina-Rusia masih menyebabkan kesulitan bagi banyak negara, terutama di sektor pangan dan energi. “Saat bertemu Martin Griffiths, kami saling memberitahukan perkembangan ekspor biji-bijian dari Ukraina serta ekspor gandum dan pupuk dari Rusia. Pembahasan tentang itu sudah berlangsung sejak sebelum Presiden Joko Widodo berkunjung ke Kyiv dan Moskwa,” ujar Retno, seusai pertemuan.
Hambatan ekspor pangan, lanjut dia, diakui masih ada. Dampaknya paling memukul negara berkembang, terutama kelompok masyarakat paling rentan. Indonesia memegang peran penting dalam isu ini mengingat Presiden Jokowi ditunjuk sebagai panutan (champion) dalam Kelompok Respons Krisis Global (GCRC). Kelompok ini dibentuk untuk membahas dampak perang dalam sektor pangan, energi, dan keuangan.
“Kami memantau sejauh ini sudah berapa banyak gandum ini keluar dari Ukraina. Sudah berapa juta ton gandum keluar, ke mana saja tujuannya, apakah perkiraan untuk September dan bulan-bulan berikutnya bisa tercapai,” ujar Retno.
Sebelum perang meletus, ekspor gandum Ukraina melalui pelabuhan laut bisa mencapai 5-6 juta ton. Saat perang, pelabuhan laut tidak bisa digunakan untuk ekspor. Pengiriman dilakukan via darat dan hanya bisa mencakup setengah volume ekspor sebelum perang.
Untuk saat ini, menurut Griffiths, jumlahnya sudah hampir mendekati volume sebelum perang. “Ini yang akan terus didorong. Sementara itu sudah ada jaminan dari negara-negara G7, pangan dan pupuk tidak akan masuk dalam sanksi,” katanya.
Myanmar
Retno dan Griffiths secara spesifik juga membahas isu kemanusiaan di Myanmar yang belum kunjung membaik. Distribusi bantuan kemanusiaan tersendat. Muncul isu pula tentang kemungkinan bantuan kemanusiaan justru dimanfaatkan sendiri oleh junta militer Myanmar.
Itulah sebabnya, bantuan kemanusiaan bagi rakyat Myanmar menjadi salah satu prioritas kala Indonesia memegang keketuaan ASEAN pada 2023. Indonesia akan mengoordinasi berbagai pihak terkait agar bantuan tersebut tepat sasaran.
Dalam kerangka itu, Griffiths akan berkunjung ke Myanmar pekan depan. Setelah itu ia akan menuju Jakarta untuk membahas implementasi Lima Poin Konsensus yang salah satu poin di antaranya adalah soal bantuan kemanusiaan. “Tanggung jawab penyaluran ada pada Sekretariat ASEAN dan AHA Center (Pusat Koordinasi Bantuan Kemanusiaan ASEAN),” imbuh Retno.
Selain Myanmar, pembahasan lain terkait isu pendidikan untuk anak-anak perempuan di Afghanistan. Indonesia konsisten memperjuangkan akses pendidikan tersebut. Hasilnya, menurut Retno, belum terlalu terlihat. Meski demikian, komunikasi dengan Taliban selaku penguasa Afghanistan saat ini terus dilakukan.