Sidang Ke-77 Majelis Umum PBB akan berlangsung di tengah fragmentasi yang semakin menguat. Fragmentasi terbukti telah melumpuhkan respons global atas tantangan mutakhir.
Oleh
FRANSISCA ROMANA DARI NEW YORK, AMERIKA SERIKAT, MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
New York, Kompas - Sidang Ke-77 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa berlangsung di tengah fragmentasi yang menguat antara Amerika Serikat dan sekutunya melawan Rusia serta China dan pendukungnya. Persoalan ini menjadi hambatan utama bagi forum tersebut untuk menggalang koordinasi global untuk menghadapi berbagai persoalan mutakhir.
Sidang Ke-77 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akan dimulai pada Selasa (20/9/2022). Pengamanan ketat sudah terlihat di sekitar Markas Besar PBB di New York, AS, Senin (19/9). Sejumlah ruas jalan telah ditutup sehingga kendaraan harus berjalan memutar. Petugas kepolisian tampak berjaga-jaga di setiap sudut jalan.
Presiden Majelis Umum PBB Csaba Korosi mengatakan, tantangan global semakin berat mulai dari konflik, perubahan iklim, hingga pandemi Covid-19. ”Kita sedang dalam situasi buruk dalam hal membangun kepercayaan. Kita harus mengakui PBB adalah cermin situasi dunia,” kata Korosi sebagaimana dikutip laman resmi PBB.
Kita sedang dalam situasi buruk dalam hal membangun kepercayaan. Kita harus mengakui PBB adalah cermin situasi dunia,
Majelis Umum, Korosi melanjutkan, memainkan peran penting sebagai forum dialog global dalam membangun konsensus. Di luar forum sidang, Korosi ingin membangun kepercayaan antardiplomat melalui perbincangan yang terbuka dan informal, terutama dalam isu-isu yang sulit. Melalui cara ini, diharapkan kepercayaan antarpemangku kepentingan dalam negara bisa dibangun.
Sejak perang Rusia-Ukraina per 24 Februari 2022, muncul kecenderungan negara-negara untuk kembali ”berkubu”. AS dan sekutu Barat berhadapan dengan Rusia dan pendukungnya. Polarisasi ini sangat terasa dalam berbagai forum PBB dan memperburuk situasi krisis global yang sudah buruk. PBB ”terseret” dalam situasi zero sum game atau menang-kalah dan nuansa ”ambil atau tinggalkan” yang tidak menguntungkan.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, yang menyebut fragmentasi sebagai perpecahan strategis, menilai situasi itu telah melumpuhkan respons global atas berbagai tantangan berat yang tengah dihadapi masyarakat dunia. ”Majelis Umum mengadakan pertemuan pada saat yang sangat berbahaya,” katanya, pekan lalu.
Para diplomat Indonesia dalam Sidang Ke-77 Majelis Umum PBB ini berupaya untuk mengembalikan roh multilateralisme, terutama saat begitu banyak masalah global yang memerlukan kerja sama sebanyak mungkin pihak. Peluang ini menguat lantaran sidang ini merupakan yang pertama digelar secara tatap muka sejak pandemi melanda pada 2020.
”Krisis pangan, krisis energi, dan pemulihan ekonomi memerlukan PBB yang beranggotakan 193 orang untuk menyelesaikannya bersama-sama,” kata Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri RI Tri Tharyat, pekan lalu.
Situasi itu telah melumpuhkan respons global atas berbagai tantangan berat yang tengah dihadapi masyarakat dunia.
Presiden Joko Widodo tidak hadir dalam Sidang Ke-77 Majelis Umum PBB. Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi dijadwalkan mewakili Presiden menyampaikan pernyataan pada sesi Debat Umum pada 26 September 2022 pagi.
Setelah bertemu Sekjen PBB Antonio Guterres pada Minggu (18/9), Retno akan bertemu Kepala Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) Martin Griffiths untuk membahas isu seperti dampak lanjutan perang Ukraina-Rusia, krisis kemanusiaan di kawasan, juga misi keketuaan Indonesia di G20.
Retno dijadwalkan menggelar pertemuan bilateral dengan menlu dari Belanda, India, dan Thailand. Retno juga akan hadir di pembukaan KTT Transformasi Pendidikan serta pertemuan tahunan para menlu tentang kebijakan luar negeri dan kesehatan global.
Perang dan pangan
Direktur Kelompok Krisis Internasional Richard Gowan mengatakan, invasi Rusia ke Ukraina dan krisis pangan akan menjadi dua tema utama pada pertemuan kali ini. Gowan berpandangan, para pemimpin negara-negara Barat dalam pertemuan akan menekankan bahwa tindakan itu adalah sebuah agresi dan serangan besar-besaran terhadap sistem PBB.
Sorotan tidak hanya pada apa yang akan disampaikan para pemimpin negara atau kepala pemerintahan di Sidang Majelis Umum PBB nanti. Salah satu kegiatan yang akan disorot adalah pertemuan tingkat menteri Dewan Keamanan (DK) PBB pada 22 September.
Pertemuan itu menurut rencana akan memfokuskan diri pada perang melawan impunitas dalam agresi Rusia ke Ukraina. Para menlu anggota tetap DK PBB akan berada dalam satu ruangan dengan Menlu Ukraina Dmytro Kuleba, yang sengaja diundang oleh Perancis sebagai Ketua DK PBB kali ini.
Duta Besar Prancis untuk PBB Nicolas De Riviere, Jumat pekan lalu, mengatakan, para pelaku perang akan dimintai pertanggungjawaban atas konsekuensi yang ditimbulkan, terutama terhadap warga sipil di Ukraina.
Meski AS dan sekutunya tampaknya akan membawa isu perang Ukraina masuk dalam pembahasan utama, Gowan mengingatkan bahwa sejumlah negara Afrika dan Amerika Latin telah memperlihatkan tanda-tanda ketidaksepahaman atas hal tersebut.
Menurut Gowan, banyak negara saat ini tidak ingin terus- menerus menyerang Rusia.