Gorbachev dan Putin, Dua Sosok bak Air dan Minyak
Ketidakhadiran Presiden Rusia Vladimir Putin pada pemakaman mantan Presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev memberi pesan soal garis pembatas tegas antara Putin-Gorbachev. Hingga kematian, pembatas itu tidak bisa disatukan.
Keputusan Presiden Rusia Vladimir Putin untuk tidak menghadiri upacara pemakaman jenazah mantan Pemimpin Uni Soviet Mikhail Gorbachev di Moskwa, Sabtu (3/9/2022), mengirim pesan yang ingin disampaikan Putin kepada dunia. Pesan ini dibuat untuk menggarisbawahi cara pandang Putin yang berbeda dari sosok pendahulunya itu.
Gorbachev, presiden terakhir Uni Soviet, meninggal dalam usia 91 tahun pada Selasa (30/8/2022), di Moskwa, Rusia. Ia akan dimakamkan di samping pusara istrinya, Raisa, di Taman Makam Novodevichy, Moskwa. Raisa meninggal pada 1999.
Gorbachev dikenang dunia berkat langkah-langkahnya dalam menghentikan Perang Dingin. Ia dipuja terutama di dunia Barat, tetapi dicerca di Rusia karena dituding sebagai penyebab bubarnya Uni Soviet.
Sebelum pemakaman, akan digelar upacara perpisahan untuk umum di Hall of Columns, Moskwa. Ini merupakan tempat upacara pemakaman para pemimpin Uni Soviet sejak lama, mulai dari Vladimir Lenin, Josef Stalin, hingga Leonid Brezhnev.
Namun, Pemerintah Rusia juga tidak menetapkan pemakaman Gorbachev sebagai pemakaman kenegaraan. Ini berbeda dari saat Presiden pertama Rusia Boris Yeltsin meninggal pada 2007. Saat itu, selain menyelenggarakan pemakaman Yeltsin dalam upacara kenegaraan—otomatis Putin menghadiri pemakamannya, Putin juga menetapkan satu hari berkabung secara nasional.
Baca Juga: Tak Ada Pemakaman Kenegaraan untuk Gorbachev, Putin Tak Akan Hadir
Namun, tidak ada perlakuan istimewa seperti itu saat Gorbachev tutup usia. ”Saya pikir, ini semacam pernyataan,” ujar Vladimir Pozner, jurnalis veteran yang berulang kali mewawancarai Gorbachev dan paham betul tentang perilaku elite politik Rusia.
Ia menyebut keputusan Putin sudah dikalkulasi betul. ”Dan saya pikir, Putin bukanlah penggemar Gorbachev. Memang itu hak dia (untuk tidak menghadiri pemakaman Gorbachev), dia juga tidak harus menghadirinya. Menurut saya, mereka (kedua tokoh itu) memandang dunia dengan cara yang sangat berbeda,” lanjut Pozner (88) kepada kantor berita Reuters, Jumat (2/9/2022).
Jubir Kremlin Dmitry Peskov mengatakan, Putin ”sangat sibuk” pada hari Sabtu ini. Kesibukannya, antara lain, mengadakan pertemuan-pertemuan internal, mengagendakan pembicaraan-pembicaraan via telepon internasional, dan mempersiapkan forum ekonomi di Vladivostok, pekan depan. Putin telah melayat ke rumah sakit tempat persemayaman Gorbachev, Kamis (1/9/2022).
Putin selama ini menghindari sikap mengkritik Gorbachev secara terbuka. Namun, dulu ia berulang kali menyalahkan Gorbachev yang dinilai tidak meminta komitmen tertulis pada negara-negara Barat agar Barat tidak memperluas wilayah Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) ke timur. Isu perluasan NATO ini menjadi kerikil tajam dalam hubungan Rusia-Barat sekaligus memicu ketegangan yang meletus dalam bentuk invasi Rusia ke Ukraina sejak 24 Februari 2022.
Andrew Katell, wartawan kantor berita Associated Press (AP) Biro Moskwa yang meliput era Gorbachev tahun 1988-1991, menyebut bahwa era Gorbachev saat memerintah Uni Soviet (1985-1991) dan era Putin yang mulai berkuasa di Rusia (tahun 1999) dipisahkan oleh semacam pembatas sejarah. Dari dua sosok itu, terdapat banyak sisi yang sangat kontradiktif satu sama lain.
Baca Juga: Mengenang Gorbachev, Persahabatan dengan Reagan hingga Ajakan Khomeini Belajar Islam
Satu sosok dikenal sebagai pendukung kebebasan, keterbukaan, perdamaian, dan hubungan erat dengan dunia luar. Sementara sosok satunya lagi kerap memenjarakan para pengritiknya, memberangus jurnalis, mendorong negaranya ke jurang isolasi, dan mengobarkan konflik paling berdarah dengan Eropa sejak Perang Dunia II.
Begitulah gambaran sosok Gorbachev dan Putin. Sejak berkuasa tahun 1999, Putin memilih jalur tindakan keras, membalik hampir secara total dari upaya reformasi yang dirintis Gorbachev. Dua sosok itu jelas tidak bisa disatukan, seperti air dan minyak.
Pandangan dunia yang berbeda
Ketika tampil menjadi pemimpin Soviet tahun 1985, Gorbachev lebih muda dan tampak lebih bersemangat daripada para pemimpin negeri itu sebelumnya. Ia meninggalkan cara pemerintahan masa lalu dengan menanggalkan negara polisi, menganut kebebasan pers, mengakhiri invasi di Afghanistan, dan membiarkan negara-negara Eropa Timur lepas dari orbit Moskwa. Gorbachev ingin mengakhiri keterisolasian Uni Soviet dari dunia luar dengan menanggalkan ”Tirai Besi” yang membelenggu.
Masyarakat internasional kala itu, termasuk juga warga Uni Soviet, seolah memasuki dunia baru. Gorbachev membawa janji-janji tentang masa depan yang lebih cerah. Ia yakin pada langkah integrasinya dengan Barat, multilateralisme, dan globalisme dalam menyelesaikan masalah-masalah dunia, termasuk mengakhiri konflik bersenjata dan penggunaan senjata nuklir.
Baca Juga: Gorbachev Jadi Legenda
Kontras dengan hal itu, Putin menganut pandangan dunia berbeda. Bagi dia, Barat adalah ”imperium kebohongan”, demokrasi penuh kekacauan, tidak terkontrol, dan berbahaya. Dengan membuka kembali buku lama gaya komunis, Putin yakin, Barat adalah imperialis dan arogan, yang berupaya memaksakan nilai-nilai dan kebijakan liberal pada Rusia dan menjadikan negaranya sebagai kambing hitam atas problem-problem yang mereka hadapi.
Putin menuding para pemimpin Barat berusaha memulai kembali Perang Dingin dan menghalang-halangi perkembangan Rusia. Ia ingin membangun tata dunia di mana Rusia berdiri sama tinggi dengan Amerika Serikat dan negara-negara kekuatan utama lainnya, sekaligus pada saat yang sama juga berupaya membangun imperium.
Dalam beberapa kesempatan, Gorbachev terlihat tunduk pada tekanan Barat. Dua tahun setelah Presiden AS Ronald Reagan dalam pidato di Tembok Berlin mendesaknya untuk ”meruntuhkan tembok ini”, Gorbachev melakukan desakan itu secara tidak langsung. Ia memilih tidak melakukan intervensi saat warga Jerman Timur menjebol dan merobohkan Tembok Berlin tahun 1989.
”Mikhail Gorbachev secara radikal mengubah hidup saya. Saya tidak akan lupa hal itu,” ujar Angela Merkel, mantan Kanselir Jerman. Tanpa proses reformasi dan keterbukaan yang digulirkan Gorbachev, lanjut Merkel, ”revolusi damai di Jerman Timur tidak akan terjadi”.
Baca Juga: 9 November 1989, Hari yang Mengubah Dunia...
Runtuhnya Tembok Berlin tahun 1989 disusul dengan penyatuan dua Jerman—Jerman Timur yang komunis dan Jerman Barat yang kapitalis—11 bulan kemudian. ”Tak ada tank-tank yang dikerahkan, tak ada juga peluru meletus,” kenang Merkel.
Kebijakan dalam negeri
Di dalam negeri, Gorbachev menggulirkan dua kebijakan utama: ”glasnost” (keterbukaan) dan ”perestroika” (restrukturisasi masyarakat Soviet). Topik-topik itu sebelumnya tabu dibicarakan. Pada era Gorbachev, isu-isu tersebut bukan hanya dibahas dalam sastra, laporan media, maupun masyarakat umum, tetapi sudah menjadi arah bangsa yang akan dituju.
Gorbachev juga meninggalkan gaya pemerintahan negara polisi, membebaskan tahanan politik, seperti Andrei Sakharov, dan mengakhiri monopoli Partai Komunis dalam kekuasaan politik. Ia membuka keran perjalanan ke luar negeri, emigrasi, serta kebebasan menjalankan beribadah.
Putin berbalik arah dan menjauhi tujuan yang ingin dicapai Gorbachev. Putin fokus pada memulihkan keteraturan dan membangun kembali negara polisi. Ia memberangus dan memenjarakan orang atau kelompok yang dianggap menjadi pembangkang dan pengkhianat negara.
Dalam upaya memulihkan cengkeraman kontrol atas negara, ia menutup organisasi-organisasi media independen serta melarang organisasi-organisasi kemanusiaan dan hak asasi manusia (HAM). Putin menuntut loyalitas penuh pada negara dan menekankan nilai-nilai keluarga tradisional, keagamaan, dan nasional Rusia.
Baca Juga: Di Bawah Panji St Vladimir
Pada masa Gorbachev, bukan berarti tidak ada kegagalan. Ia dituding menjalankan kebijakan liberalnya secara tidak merata. Ini tecermin, antara lain, dalam insiden berdarah pembasmian gerakan kemerdekaan di Lituania tahun 1991 dan upaya menyembunyikan bencana nuklir Chernobyl tahun 1986.
Di dalam negeri, reformasi ekonomi Gorbachev juga tidak berjalan mulus. Ia dinilai terlalu longgar melepaskan industri-industri di Uni Soviet dari kontrol negara serta terlalu cepat membuka diri pada perusahaan-perusahaan swasta. Di masyarakat, terjadi kelangkaan pangan dan barang-barang konsumsi. Korupsi merebak. Muncul kelompok-kelompok baru oligarki.
Gerakan-gerakan kemerdekaan di negara-negara republik Soviet dan munculnya persoalan-persoalan baru membuat marah kelompok garis keras Partai Komunis. Mereka melancarkan upaya kudeta terhadap Gorbachev pada Agustus 1991. Posisi Gorbachev semakin lemah. Empat bulan kemudian, ia mengundurkan diri.
Secara umum, di Uni Soviet kala itu muncul kekecewaan mendalam. Warga negara itu merasa, Gorbachev hanya meninggalkan janji-janji kosong, memusnahkan harapan, serta membiarkan negara mereka melemah dan dipermalukan.
Itu yang, antara lain, dirasakan oleh Putin. Bagi dia, sebagian besar yang dilakukan Gorbachev adalah sebuah kesalahan. Putin menyebut bubarnya Uni Soviet sebagai ”malapetaka geopolitik terbesar abad ke-20”. Uni Soviet tercabik dan terpecah belah menjadi 15 negara.
Hingga hari ini, persepsi Putin tentang ancaman bagi negaranya dan ketidakpercayaan pada Barat mewarnai kebijakan-kebijakan luar negeri Rusia. Invasi Moskwa ke Ukraina sejak 24 Februari 2022 menjadi titik kulminasi atas ketidakpercayaan itu.
Salah satu yang dijadikan pembenaran oleh Putin atas invasi tersebut adalah pengingkaran janji AS kepada Gorbachev tahun 1990 bahwa aliansi militer Barat, Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), tidak akan meluas ke Eropa Timur. Pejabat AS membantah perihal janji tersebut.
Namun, bagi Putin, perluasan NATO ke Timur hingga depan perbatasan Rusia menjadi ancaman eksistensial bagi negaranya. Rusia di bawah kekuasaan Putin seolah menjadi antitesis dari Uni Soviet di bawah kepemimpinan Gorbachev. Putin tak ingin melihat legasi yang ditinggalkan Gorbachev berada di depan matanya, setidaknya selama ia masih berkuasa di Rusia. (AP/AFP/REUTERS)