Kebijakan The Fed Sengsarakan Negara Termiskin
Kenaikan suku bunga Bank Sentral AS akan memukul negara-negara berkembang termiskin. Negara-negara berkembang penerima bantuan IMF bisa dipaksa menjual aset negara paling berharga ke investor yang mendompleng ke IMF.
Bertahun-tahun ke depan, dunia mungkin akan menyaksikan tragedi kemanusiaan di beberapa negara berkembang termiskin. Sejumlah penelitian membuktikan, banyak negara berkembang tercekik akibat pengetatan kebijakan moneter bank sentral AS atau The Fed. Peringatan ini mencuat saat bank sentral AS kembali mencanangkan kenaikan suku bunga untuk meredam inflasi di AS.
Kerusakan akibat kebijakan The Fed itu terjadi lewat kenaikan suku bunga dollar AS dan kenaikan kurs dollar AS terhadap mata uang negara-negara berkembang. Kenaikan suku bunga menambah beban utang negara-negara miskin dalam denominasi dollar. Anjloknya kurs mata uang negara berkembang menaikkan porsi dana dalam denominasi mata uang lokal untuk membayar utang dollar.
Kenaikan suku bunga rentan membuat modal asing berhamburan. Statistik Bank Dunia memperlihatkan, selama periode 2015 hingga 2020, sebesar 42 persen utang negara berpendapatan rendah dan posisi terbawah kelompok berpendapatan menengah dimiliki lembaga komersial. Kreditor jenis ini paling rawan untuk pelarian modal. Kondisi ini bisa mengeringkan sumber pendanaan yang sangat dibutuhkan negara berkembang untuk mendatangkan impor dan pembayaran utang.
Baca juga: Fed Akhirnya Sangat Kukuh Menaikkan Suku Bunga
”Pada beberapa episode di masa lalu, kenaikan pesat suku bunga di negara-negara maju menyulitkan keuangan eksternal negara-negara berkembang,” demikian Dana Moneter Internasional (IMF) dalam laporannya, April 2022.
Ahli sejarah ekonomi Jamie Martin dari Georgetown University mengatakan, ada korelasi kuat secara historis antara kenaikan suku bunga tajam di negara maju dan katastrofe ekonomi di negara-negara berkembang. "Sejarah harus menjadi dasar tentang perlunya kebijakan yang sangat hati-hati," demikian Martin lewat artikelnya di harian The New York Times, 28 April 2022 berjudul “The U.S. Wants to Tackle Inflation. Here’s Why That Should Worry the Rest of the World”.
Dari Volcker hingga Bernanke
Kenaikan suku bunga The Fed pada dekade 1980-an di bawah Gubernur Paul Volcker telah memukul negara-negara berkembang di Amerika Latin dan Afrika. Terjadi rentetan default alias gagal bayar utang. Volcker kemudian mengatakan ia tak menyadari efek kebijakannya terhadap negara-negara berkembang. “Afrika tidak ada dalam radar saya,” kata Volcker suatu waktu (Politico, 3 Agustus 2022).
Pada dekade 1990-an Gubernur The Fed Alan Greenspan melakukan hal serupa. Salah satu efeknya adalah “Tequila Effect”, julukan bagi krisis peso Meksiko. Hal itu berlanjut beberapa tahun kemudian berupa krisis moneter Asia pada 1997 (Forbes, 30 Agustus 2022).
Baca juga: Kenaikan Suku Bunga The Fed Tidak Menimbulkan ”Demam Tequila”
Pada 2013, akibat kebijakan Gubernur The Fed Ben Bernanke, bunga pinjaman yang meningkat mendera Indonesia, Brasil, India, Afrika Selatan, dan Turki, yang dijuluki the fragile five.
Gejala awal terlihat
Apakah Jerome Powell akan memunculkan kisah serupa? “Kenaikan suku bunga sebelum krisis Ukraina telah mulai memberi tekanan pada peminjam di sejumlah negara berkembang,” demikian laporan IMF, April, seraya menyebutkan Belarus, Rusia, dan Ukraina, Hongaria, dan Polandia sebagai contoh.
Sekitar 60 persen negara-negara berpendapatan rendah telah terbebani utang tambahan, lanjut laporan IMF pada april. “Jelas ada kerapuhan pada negara berkembang terkait dengan pengetatan moneter,” kata Tobias Adrian, Direktur Dana Moneter Internasional (IMF) bidang Pasar Modal.
Harian China The Global Times, 2 Agustus 2022, menuliskan banyak negara berkembang yang memiliki utang dalam denominasi dollar AS menjadi korban. Sri Lanka telah menyatakan gagal bayar utang. Pakistan, Ghana, Mesir, dan Tunisia sedang membicarakan dana talangan dengan IMF. Lebanon, Suriname, dan Zambia juga telah menyatakan default.
Sebanyak 20 negara berkembang memiliki tambahan bunga utang 10 persen lebih. Nischal Dhungel dari Nepal Institute for Policy Research, di situs East Asia Forum, 18 Agustus 2022, menuliskan 38 negara berkembang dalam bahaya krisis utang. Setidaknya 25 negara berkembang menghabiskan 20 persen dari total penerimaan negara untuk membayar utang. Berita buruk juga menimpa Kenya dan El Salvador.
Baca juga: Asia Wajib Pantau “Lingkaran Setan” AS
“Setiap hari selalu muncul berita tentang tekanan utang di negara-negara berkembang, penurunan pertumbuhan, kenaikan kemiskinan dan kelaparan,” kata Mark Weisbrot, ekonom Center for Economic and Policy Research, lembaga think tank di Washington (The Washington Post, 25 Juli).
Data Institute of International Finance (IIF) memperlihatkan aliran modal keluar dari negara berkembang sebesar 39,3 miliar dollar AS pada Maret 2022. Pelarian modal pada Maret 2022 itu terjadi saat Fed baru memutuskan kenaikan suku bunga sebesar 0,25 persen untuk pertama kali sejak 2018. Fed sudah menaikkan lagi suku bunga menjadi 2,25 – 2,50 pada Juli 2022. Powell telah pula mencanangkan kenaikan suku bunga hingga di atas 4 persen di depan.
Total utang negara-negara berkembang yang berpotensi gagal bayar sekitar 455,6 miliar dollar AS. Hal itu akan memukul Eropa tengah dan timur serta Afrika sub-Sahara. Negara-negara di Timur Tengah kini sedang bergelut mengatasi krisis keuangan.
Tunisia mengalami kenaikan defisit anggaran menjadi 9,7 persen dari produksi domestik bruto (PDB), kata Gubernur Bank Sentral Tunisia, Marouan Abassi. Tunisia mengarah pada default jika pemburukan berlanjut, demikian pernyataan Morgan Stanley. Di Mesir terjadi pelarian modal, menurut Walid Gaballah, anggota Egyptian Association for Political Economy (Xinhua, 23 Agustus 2022).
Devisa terkuras
Kenaikan kurs dollar AS telah membentuk lubang di brankas negara berkembang. Ada 2 miliar dollar AS yang hilang setiap hari untuk intervensi di pasar guna menopang kurs lokal. Total sepanjang 2022, cadangan devisa yang hilang sekitar 379 miliar dollar AS. Upaya itu tidak juga menstabilkan kurs lokal (The Japan Times, 17 Agustus 2022).
Dari Ghana ke Chile, kurs mata uang lokal anjlok, inflasi naik dan ini memperdalam kemiskinan dan memicu protes. Mongolia kehilangan 30 persen cadangan devisa. Paul Mackel, periset valas di HSBC, mengatakan, sejumlah negara berkembang menghadapi depresiasi signifikan.
Baca juga: Inflasi Spiral Melanda Turki dan Inggris
Di seluruh dunia, sebanyak 36 mata uang kehilangan nilai 10 persen sepanjang 2022. ”Tanpa ragu, kita akan menyaksikan krisis nyata di banyak negara…. Dollar AS yang menguat memberi ketidakpastian dan kerapuhan bagi banyak negara berkembang,” kata Jessica Amir, seorang strategis di Saxo Capital Markets, Sydney.
Secara umum, negara-negara berkembang baru kehilangan cadangan devisa 6 persen, menurut IMF. Namun, para investor sudah mewaspadai posisi rapuh 65 negara berkembang. Ini mengingat sebanyak 215 miliar dollar AS utang negara-negara berkembang akan jatuh tempo pada akhir 2023. Para pedagang derivatif kini bertaruh akan kejatuhan kurs negara berkembang dalam 6 bulan ke depan.
Tekanan terberat dalam 30 tahun terakhir muncul. Sekitar 60 persen negara-negara miskin memiliki tekanan utang tinggi, demikian Bank Dunia. Perkiraan Bank Dunia menyebutkan, negara berpendapatan rendah dan menengah bawah harus membayar 940 miliar dollar AS utang dan bunganya dalam 7 tahun mendatang (Islamabad Post, 26 Agustus 2022).
Situasi berubah
Tidak semua negara akan menjadi korban. Posisi paling rapuh ada di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Ada juga optimisme bahwa efek tindakan Fed akan berbeda dengan 1980.
”Pasar keuangan global telah berkembang pesat dan peran AS dalam perekonomian global berubah dengan kebangkitan China dan negara berkembang lainnya,” kata Mark Sobel, mantan pejabat Depkeu AS yang juga Ketua AS di Official Monetary and Financial Institutions Forum, sebuah think-tank (Politico, 3 Agustus 2022).
Baca juga: Berharap Gerakan The Fed Tidak Merapuhkan Rupiah
Bank sentral di sejumlah negara berkembang telah memiliki kredibilitas yang lebih baik ketimbang beberapa dekade silam. Kinerjanya lebih berbasis data dan lebih independen dari pengaruh politik. Banyak negara sekarang memiliki cadangan devisa dan porsi utang denominasi dollar AS berkurang. Ini membuat mereka lebih kebal dari krisis utang di negara lain.
”Saya melihat anggota G20 dari negara berkembang memiliki kestabilan, barangkali ada kekecualian untuk satu atau dua negara,” kata Adrian dari IMF.
Fed juga belajar dari kesalahan masa lalu. Jerome Powell menyadari efek kebijakan Fed bisa memberi tekanan pada banyak negara. Oleh karena itu, kebijakan Fed memikirkan dampak itu. Powell telah memberi sinyal awal soal kenaikan suku bunga sehingga menjadi dasar antisipasi bagi negara berkembang untuk bertindak.
Fed mengomunikasikan kebijakannya untuk mengantisipasi kejutan di seluruh dunia. ”Dengan demikian ,dampak kejutan lebih terbatas,” kata Sebnem Kalemli-Ozcan, profesor ekonomi dari University of Maryland yang mendalami dampak Fed terhadap negara berkembang.
Kiat menolong korban
Meskipun demikian, bagaimana menolong negara termiskin yang tetap berpotensi menjadi korban? Media China paling garang menghardik, agar AS menghindari kebijakan moneter ultralonggar dengan efek buruk di kemudian hari bagi negara-negara berkembang. China menuduh AS sebagai tidak bertanggung jawab dengan menjalankan perekonomian berbasiskan uang murah.
Baca juga: Harap-harap Cemas Hadapi Strategi Moneter AS
Presiden Bank Dunia David Malpass menegaskan, kunci utama memerangi inflasi adalah fokus pada produksi global (Fox Business, 26 Agustus). Ia mendorong agar banyak negara memproduksi lebih guna memerangi inflasi.
AS tertantang mendorong globalisasi ketimbang mengkristalkan ”America First” yang tampaknya bertahan di era Presiden Joe Biden. Biden sangat perlu meredakan tensi geopolitik untuk memperlancar produksi dan pasokan dunia, yang baru saja pulih dari Covid-19.
Solusi lain, seperti dikatakan Menkeu AS Janet Yellen, agar China yang memiliki banyak piutang di negara berkembang sudi mengurangi beban utang. Hanya saja, pihak China tidak akan mau melakukan arahan AS begitu saja. China telah meluncurkan proyek One Belt One Road (OBOR), yang malah dituduh AS telah menjerat negara berkembang. Utang negara berkembang sekarang ini bermasalah karena kebijakan The Fed, bukan karena program OBOR China.
Kolaborasi AS-China sangat menentukan untuk kasus ini, tetapi sayangnya titik dua negara belum ada sejauh ini.
Baca juga: Afrika Minta Keringanan Utang kepada China
Solusi lain, agar dana untuk IMF dikucurkan lebih banyak oleh anggotanya sehingga bisa menolong negara-negara miskin. Jika itu terjadi, jangan pula IMF menjadikan bantuannya sebagai jalan bagi kreditor untuk mencaplok aset berharga di negara yang dibantu. Kepada Xinhua, 6 Mei, Institute for the Study of Long-Term Economic Trends (ISLET) mengkhawatirkan negara-negara berkembang penerima bantuan IMF akan dipaksa menjual aset negara paling berharga kepada investor yang mendompleng ke IMF.
Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva mengatakan, IMF sekarang memiliki semangat baru. ”Sekarang saatnya membangun dunia yang lebih baik, (The Guardian, 18 April 2022).