Kenaikan Suku Bunga The Fed Tidak Menimbulkan ”Demam Tequila”
Tidak ada, sejauh ini, guncangan hebat pada kurs mata uang di negara-negara berkembang akibat kenaikan suku bunga The Fed. Penyebabnya, sejumlah negara berkembang punya utang relatif rendah dan cadangan devisa memadai.
Oleh
SIMON P SARAGIH S
·5 menit baca
Penaikan suku bunga oleh bank sentral AS biasanya mengguncang hebat kurs mata uang negara-negara berkembang. Kali ini tidak karena situasinya berbeda. Demikian kesimpulan dalam sebuah artikel yang disajikan di situs Federal Reserve Bank of Dallas, 12 Juli 2022.
Artikel itu berjudul Fed’s 1994 Rate Aggressiveness Led to Emerging-Market Turmoil; Is This Time Different?, disajikan oleh J Scott Davis, ekonom dari Federal Reserve Bank of Dallas; Michael B Devereux, profesor ekonomi University of British Columbia (AS); dan Changhua Yu, profesor ekonomi di Peking University.
Mereka menyinggung sejarah guncangan besar keuangan saat bank sentral AS (The Fed) menaikkan suku bunga inti 0,75 persen pada November 1994. Saat itu kurs mata uang Meksiko, peso, anjlok 48 persen pada Maret 1995. Suku bunga obligasi pemerintah meroket di atas 70 persen pada Maret 1995. Kenaikan suku bunga oleh The Fed mendorong pelarian modal dari Meksiko dengan efek domino ke sejumlah negara berkembang. Krisis tersebut memunculkan istilah ”demam Tequila”.
Ketiga penulis itu menyimpulkan, penyebabnya adalah Meksiko memiliki utang relatif terlalu besar, sementara cadangan devisanya rendah. Tidak belajar dari efek Tequila, Asia kemudian menorehkan krisis moneter terparah pada 1997. Bukan karena kenaikan suku bunga oleh The Fed, tetapi karena pinjaman berlebihan.
Fondasi yang berbeda
Namun, kini situasinya berbeda. The Fed telah menaikkan suku bunga inti sejak Maret 2022 hingga Juli 2022 menjadi 2,25-2,5 persen. Tindakan The Fed tidak menimbulkan ”demam Tequila”. Alasannya, sejumlah negara berkembang memiliki utang relatif rendah dan cadangan devisa relatif memadai.
Tentu ada beberapa negara berkembang terhuyung-huyung akibat tindakan The Fed. Kolumnis Bloomberg, Shuli Ren, di harian The Washington Post, 14 Juli 2022, menyebutkan bahwa ada pelarian dana asing 50 miliar dollar AS dari negara berkembang atau terburuk dalam 17 tahun terakhir sejak Maret 2022.
Meski demikian, sejauh ini tidak ada efek separah tahun 1994 di Meksiko itu. Kalaupun terjadi sedikit gejolak, itu disebut sebagai kepanikan berlebihan pasar. ”Sekarang ini dalam pandangan saya, khususnya tentang mata uang Asia, terjadi penjualan berlebihan,” kata Masafumi Yamamoto, ahli tentang valas dari Mizuho Securities di Tokyo (Reuters, 28 Juli 2022).
Kurs rupiah bisa dikatakan relatif stabil, hanya merosot 6 persen selama periode 7 Maret 2022 hingga 21 Juli 2022 dengan kurs Rp 14.405 per dollar AS pada 7 Maret 2022 dan Rp 15.303 per dollar AS pada 21 Juli 2022. Setelah kenaikan suku bunga oleh The Fed pada 27 Juli 2022, rupiah malah menguat menjadi Rp 14.830 per dollar AS pada 29 Juli.
Situasinya berbeda dengan era Tequila dan berbeda dari situasi 2013 ketika Indonesia masuk kategori the fragile five bersama India, Brasil, Afrika Selatan, dan Turki. Ini julukan dari analis Morgan Stanley merujuk gejolak besar kurs sebagai efek domino kenaikan suku bunga The Fed pada 2013, penyebab kurs rupiah mengalami depresiasi 21 persen.
Kini, demikian menurut Wisnu Wardana, ekonom Bank Danamon yang membidangi treasury dan pasar modal, ”Fundamental rupiah ditopang dengan surplus perdagangan dan aliran masuk penanaman modal asing. Fundamental yang positif membuat rupiah relatif stabil.”
”Tekanan pada pasar keuangan menyebabkan aliran keluar modal asing terkonsentrasi pada pasar obligasi sehingga wajar jika BI merespons dengan intervensi,” kata Wisnu. Namun, intinya Bank Indonesia tertolong keberadaan cadangan devisa.
Berdasarkan Bank Indonesia, cadangan devisa di akhir Juni 2022 sebesar 136,4 miliar dollar AS. Ini setara dengan pembiayaan impor selama 6,6 bulan atau setara pembayaran impor dan cicilan utang selama 6,4 bulan. Ini jauh di atas rasio kecukupan devisa yang dipersyaratkan oleh Dana Moneter Internasional (IMF) agar kecukupan devisa minimal mampu membiayai tiga bulan impor.
Rasio utang di banyak negara telah mencapai 350 persen dari produksi domestik bruto (PDB). Rasio utang Pemerintah Indonesia oleh Fitch diperkirakan 44,2 persen dari PDB pada 2022. Ini masuk kategori aman berdasarkan anjuran IMF bahwa rasio utang sebisa mungkin maksimum 60 persen dari PDB.
Korporasi zombi
Ada hal menarik di balik kuatnya pasar uang dan pasar modal negara-negara berkembang. Era suku bunga rendah di AS dan Eropa telah melahirkan korporasi zombi (Bloomberg, 31 Mei 2022). Ini merujuk pada sebutan korporasi yang tidak memiliki kekuatan keuangan, tidak memiliki kemampuan mendapatkan keuntungan. Korporasi itu bisa bertahan hanya karena ditopang pinjaman dengan bunga rendah.
Bahkan, menurut Dan Morehead, CEO Pantera Capital, raksasa hedge fund kripto, pada 26 Juli 2022, bank sentral AS turut berperan mempertahankan keberadaan korporasi zombi ini. Ia melanjutkan, dukungan The Fed terhadap korporasi zombie ini mirip skema ponzi yang setiap saat bisa meledak.
Bloomberg menyebut perusahaan AMC Entertainment Holdings Inc hingga American Airlines Group Inc dan Carnival Corp dalam kategori itu. American Airlines dan Carnival membantah status itu dengan mengatakan bahwa perusahaan mereka kuat secara keuangan.
Namun, Bloomberg menyebutkan, jumlah korporasi zombi kini sekitar 20 persen dari 3.000 perusahaan publik dengan total utang 900 miliar dollar AS. Pada era pandemi, jumlah korporasi zombi meningkat.
Harian Inggris The Financial Times, edisi 1 Maret 2018, menuliskan laporan Deutsche Bank yang memperlihatkan 0,6 persen dari 3.000 perusahaan dalam FTSE All World berstatus zombi pada 1996. Perusahaan berstatus zombi naik menjadi 2 persen pada 2016.
Jika modal lari dari negara berkembang, hendak lari ke mana? Keberadaan korporasi zombi rawan pada kenaikan suku bunga. Menurut prediksi ekonom AS Nouriel Roubini, korporasi zombi akan menjadi salah satu sumber kekacauan ekonomi AS jika suku bunga naik.
Bukan hanya itu, Gubernur Bank Sentral AS Jerome Powell meyakini kenaikan suku bunga Fed akan menurunkan aktivitas perekonomian AS. Tidak memasuki resesi, menurut Powell, tetapi ekonomi pasti menurun. Roubini sudah menyatakan, kenaikan suku bunga Fed akan menyebabkan resesi akut. Ia tidak sependapat dengan Powell. Jika modal lari dari negara berkembang, hendak lari ke mana?
Meski demikian, rasio pasar sering tak bisa diduga. Meski fondasi perekonomian negara berkembang disebut solid, aksi erratic pasar tetap berpotensi menjatuhkan kurs dan indeks-indeks negara berkembang. (REUTERS/AP/AFP)