Asia Wajib Pantau “Lingkaran Setan” AS
“Studi kami menekankan risiko inflasi tinggi yang mirip dekade 1960-an dan 1970-an akan terjadi hingga bertahun-tahun mendatang,” demikian Bianchi dan Melosi.
Gambaran tentang perekonomian Asia tetap tidak tergoyahkan. Asia terus mematrikan posisinya sebagai mesin pertumbuhan ekonomi global. Akan tetapi dalam perjalanan kadang muncul gejolak yang bisa membuat satu atau dua negara tergelincir dan itu dibuktikan lewat sejarah.
Oleh karena itu Asia harus saksama memantau dan mengatasi gejolak terbaru, yang kini dipicu kenaikan suku bunga di AS. Gubernur Bank Sentral AS (The Fed) Jerome Powell telah mencanangkan kenaikan suku bunga pada 26 Agustus lalu. Namun, ada lingkaran setan (vicious circle) di balik itu.
Asia terus mematrikan posisinya sebagai mesin pertumbuhan ekonomi global. Akan tetapi dalam perjalanan kadang muncul gejolak yang bisa membuat satu atau dua negara tergelincir.
Posisi Asia memang relatif berbeda dengan posisi saat krisis moneter 1997, yang menjatuhkan rezim di Indonesia, karena menjaga rambu-tambu ekonomi makro. Akan tetapi potensi tergelincir sekarang ini bisa menerpa negara mana saja. Sri Lanka dan sejumlah negara miskin lainnya menjadi contoh korban-korban terbaru akibat pelarian modal asing sebagai efek kenaikan suku bunga AS.
Sehubungan dengan itu, sebuah makalah dicuatkan di tengah pencanangan kenaikan suku bunga oleh Powell. CNBC pada 30 Agustus mengupas makalah berjudul “Inflation as a Fiscal Limit” yang dituliskan Francesco Bianchi dari Johns Hopkins University dan Leonardo Melosi dari Federal Reserve Bank of Chicago, terbit pada 19 Agustus.
Tidak memadai
“Stimulus fiskal 4,5 triliun dollar AS sebagai respons terhadap pademi Covid-19 mencegah kejatuhan ekonomi AS tetapi sekaliigus menaikkan inflasi. … Kenaikan inflasi itu tidak bisa dicegah hanya dengan pengetatan kebijakan moneter,” demikian dua penulis. Sejak peluncuran stimulus besar pada 2020 itu, inflasi AS yang biasanya bertengger pada level 2 persen meroket menjadi 8,5 persen pada Juli 2022.
Dua penulis mengingatkan, sepanjang AS terus mengandalkan utang utang untuk menutupi defisit anggaran pemerintah, maka inflasi akan tetap bertahan tinggi. Defisit anggaran secara teoritis akan memicu inflasi. Maka dari itu inflasi harus diatasi lewat dua sisi, pengetatan kebijakan moneter lewat kenaikan suku bunga dan pengurangan defisit anggaran.
Masalahnya adalah susah bagi AS untuk mengurangi defisit. Ada perlawanan dari kubu Republik terhadap kenaikan pajak. Bahkan kubu ini getol mendorong kenaikan utang yang makin parah di era Presiden Donald Trump.
Menaikan defisit
Akumulasi defisit anggaran pemerintah AS tahun demi tahun telah membuat utang negara AS mencapai 30,8 triliun dollar AS. Dari jumlah itu, sebanyak 6 triliun dollar AS dipegang Federal Reserve (The Fed), berupa obligasi terbitan pemerintah AS lewat Departemen Keuangan.
Posisi itu memunculkan lingkaran setan (vicious circle). Dengan suku bunga 2,25 persen yang dipatok pada kuartal kedua 2022, menurut dua penulis, beban bunga utang pemerintah AS sudah mencapai 599 miliar dollar AS, berdasarkan data Federal Reserve.
Kenaikan suku bunga The Fed yang dicanangkan bisa melebihi 4 persen akan menambah lagi beban itu. Kenaikan suku bunga akan menaikan beban bunga utang, sekaligus menaikkan defisit. Ini semakin mendorong kenaikan inflasi. “Studi kami menekankan risiko inflasi tinggi yang mirip dekade 1960-an dan 1970-an akan terjadi hingga bertahun-tahun mendatang,” demikian Bianchi dan Melosi.
Indeks-indeks turun
Presiden Federal Reserve Bank of Minneapolis Neel Kashkari pada 30 Agustus mengatakan senang dengan penurunan indeks saham. Pasar menerima pesan soal kenaikan suku bunga. “Pasar akhirnya menangkap pesan,” kata Kashkari.
Hal itu tentu melegakan karena respons pasar itu akan mencegah kejatuhan indeks yang lebih besar. Sebab suku bunga tinggi juga diperkirakan menjerembabkan perekonomian AS dan indeks-indeks global.
Akan tetapi bagaimana jika inflasi tetapi tinggi dan kenaikan suku bunga yang sudah tinggi tidak juga mampu menurunkan inflasi? Itulah tantangan besar yang dituliskan Bianchi dan Melosi. Jawabannya hanya pada pengurangan defisit anggaran, yang sangat mustahil dilakukan AS.
Akan tetapi bagaimana jika inflasi tetapi tinggi dan kenaikan suku bunga yang sudah tinggi tidak juga mampu menurunkan inflasi?
Lepas dari itu, Ketua UBS Global Wealth Management, juga sependapat bahwa pasar AS akan bergolak. Pengelola dana kekayaan sebesar 2,8 triliun dollar AS dan terbesar di dunia itu melihat nilai investasi tidak terlihat di AS yang akan mengalami resesi. “Nilai adalah satu hal yang akan kami fokuskan,” katanya. Nilai akan muncul dari investasi pada produk konsumsi dan kesehatan.
Haefele juga melihat pasar negara berkembang menjadi lokasi untuk mendapatkan nilai investasi. “Prospek jangka panjang negara berkembang akan jadi fokus kami,” katanya.
Asia memiliki potensi lebih besar ketimbang kawasan manapun. Masalahnya adalah Asia juga akan jadi rawan serangan spekulan seperti yang telah menimpa Korea Selatan. Situasi terbaru di Korsel ini kurang lebih mirip dengan mata uang Thailand, baht, yang diserang spekulan pada 1997.
Asia tidak boleh bangga hanya dengan prospeknya yang memang lebih besar dari perekonomian manapun di dunia. Pemantauan gerak-gerik pasar dan spekulan, seperti yang sedang dilakukan Korsel juga penting.
Indonesia tergolong andal dalam pengelolaan ekonomi makro, di sisi mikro seperti kemudahan berbisnis masih jauh dari harapan.
Dan seperti saran Bank Pembangunan Asia (ADB), Asia tidak boleh kehilangan fokus terhadap reformasi lanjutan agar membuat ekonominya menarik bagi investor. Inilah persoalan yang selalu menjadi pertanyaan untuk Indonesia. Anton J Supit, seorang pengusaha, melihat di lapangan tetap belum terlihat aksi yang membuat iklim berbisnis menjadi lebih baik.
Jika Indonesia tergolong andal dalam pengelolaan ekonomi makro, di sisi mikro seperti kemudahan berbisnis masih jauh dari harapan. Inilah tugas besar yang sedang perlu di tengah situasi global yang sedang genting.
Kejatuhan negara-negara
Sejarah memperlihatkan Argentina telah tergelincir dan tidak pernah kembali meraih posisi kemakmuran, yang pernah lebih kaya dari Perancis. “Pada 1913 Argentina lebih kaya dari Perancis dan Jerman,” demikian dituliskan dalam artikel berjudul “Introduction to Argentine exceptionalism” oleh Edward L Glaeser, Rafael Di Tella, Lucas Llach dari Universitas Harvard pada 2018.
Kelembagaan buruk, intervensi pasar dan sikap isolasionis menjerembabkan Argentina dan tidak pernah pulih hingga sekarang. Filipina juga pernah memiliki kekayaan yang di Asia hanya kalah dari Jepang pada awal dekade 1960-an. Posisi itu tidak lagi diraih sepeninggal Ferdinand Marcos yang membuat kekacauan pada perekonomian.
Kelembagaan buruk, intervensi pasar dan sikap isolasionis menjerembabkan Argentina dan tidak pernah pulih hingga sekarang.
Pada 1997 pasar menggoyahkan Asia. Asia yang ajaib secara ekonomi dan dituliskan Bank Dunia dalam buku berjudul “East Asian Miracles” 26 September 1993 diharu biru oleh krisis moneter. Hal itu dipicu tindakan Bank Sentral AS saat dipimpin Gubernur Alan Greenspan.
Kenaikan suku bunga AS pada 1994 membuat mata uang Asia berjatuhan karena mengandalkan ekonomi dengan timbunan utang luar negeri (Fed’s ‘Ghost Of 1994’ Is Haunting Asian Markets, Bloomberg, 30 Agustus 2022). Kini “lingkaran setan” dari AS sedang mengintai. (Reuters/AP/AFP)