Gagal Lindungi Mantan PM Abe, Kepala Kepolisian Jepang Mengundurkan Diri
Kepala Kepolisian Jepang mengaku bersalah gagal menyediakan pengawalan ketat kepada mantan perdana menteri Shinzo Abe sehingga ia tewas tertembak.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·5 menit baca
TOKYO, KAMIS – Kepala Kepolisian Nasional Jepang Itaru Nakamura dan Kepala Kepolisian Kota Nara Tomoaki Onizuka mengundurkan diri. Mereka melakukannya sebagai wujud pertanggungjawaban atas kegagalan melindungi mantan perdana menteri Jepang Shinzo Abe sehingga negarawan itu tewas tertembak ketika sedang berkampanye di bulan Juli lalu.
“Kami mengakui ada kelalaian di pihak kepolisian sehingga sudah waktunya ada pembenahan di dalam lembaga penegak hukum. Oleh sebab itu, saya mengundurkan diri guna memberi ruang perubahan yang lebih baik,” kata Nakamura dalam jumpa pers di Tokyo, Kamis (25/8/2022).
Ia mengatakan bahwa pembunuhan Abe adalah hal serius yang memberatkannya secara moral. Surat pengunduran diri telah Nakamura serahkan kepada Komisi Keamanan Publik Nasional. Kabinet pemerintahan Jepang rencananya rapat pada Jumat (26/8/2022) guna memutuskan penerimaan pengunduran diri Nakamura atau tidak.
Menurut dia, penyelidikan atas lembaga kepolisian mengungkapkan perlu dibuat sistem terbaru dan termutakhir guna menjamin keamanan tokoh publik. Abe ditembak di kota Nara ketika sedang berkampanye untuk politikus yunior di Partai Demokratik Liberal (LDP).
Kepolisian nasional maupun daerah mengakui bahwa keamanan pada tanggal 8 Juli itu sangat longgar. Jika ada lebih banyak anggota kepolisian ataupun pengaturan agar warga tidak bisa terlalu dekat kepada Abe yang sedang berpidato, diperkirakan perdana menteri periode 2006-2007 dan 2012-2020 itu bisa diselamatkan.
Pelaku penembakan, Tetsuya Yamagami (41) melepas dua tembakan dengan memakai senjata api rakitan ketika berdiri sejauh 7 meter di belakang Abe. Polisi baru bisa meringkusnya setelah Abe jatuh tersungkur dengan luka tembak di leher dan dada. Ia wafat beberapa jam kemudian di rumah sakit.
Berdasarkan analisa tempat kejadian perkara, petugas polisi bisa menyelamatkan Abe dengan cara memasang badan menutupi Abe atau menariknya dari posisi tempat ia berpidato. Ada jeda selama 2,5 detik di antara tembakan pertama Yamagami yang meleset dengan tembakan kedua. Abe tewas akibat tembakan yang kedua.
Akibat kejadian ini, masyarakat Jepang menyalahkan lemahnya pengamanan oleh kepolisian. Bahkan, Perdana Menteri Fumio Kishida juga mengatakan hal serupa. “Saya meminta kepolisian dan Komisi Keamanan Publik memperbaiki sistem keamanan Jepang. Kita bisa mencontoh sistem keamanan di negara-negara lain yang lebih maju,” ujarnya.
Abe adalah pejabat perdana menteri ketujuh yang dibunuh. Sebelumnya ada Shisaku Saito Makoto dan Takahashi Korekiyo sama-sama tewas dalam kudeta militer pada tahun 1936. Pembunuhan Abe oleh warga sipil dengan senjata api rakitan mengejutkan masyarakat karena hukum pembatasan kepemilikan senjata api di negeri ini ketat.
Selain dari unsur penegakan hukum, juga ada dari unsur budaya Jepang. Di negara ini, kampanye politik dapat dibilang sederhana apabila dibandingkan dengan Indonesia dan Amerika Serikat. Tidak ada panggung yang dijaga ketat oleh polisi maupun pengawal pribadi.
Politikus biasanya berdiri di perempatan jalan atau titik-titik yang dilewati banyak orang. Dia berkampanye hanya bermodalkan pelantang suara dan nyaris tidak ada jarak antara politikus dengan warga. Faktor ini yang membuat petugas memang tidak pernah memeriksa barang-barang warga yang berhenti dan menonton kampanye.
Masalah pribadi
Publik menyesalkan pembunuhan Abe merupakan imbas dari masalah pribadi yang sebenarnya tidak berhubungan dengan dirinya. Dilansir dari surat kabar Asahi Shimbun edisi 15-16 Juli 2022, Yamagami mengaku sama sekali tidak bermasalah dengan Abe secara politik. Alasan penembakan itu ialah karena Yamagami membenci Gereja Persatuan (Unification Church).
Gereja ini—banyak juga pihak yang menggolongkannya sebagai sekte, termasuk di AS—didirikan di Korea Selatan oleh Sun Myung Moon pada tahun 1954. Oleh sebab itu, ada beberapa istilah peyoratif menyebut para anggota organisasi ini sebagai Moonies, dari marga pendirinya. Moon mengaku dirinya adalah titisan mesiah atau juru selamat.
Keanggotaan di organisasi ini sangat ketat dan keluar dari dari Gereja Persatuan dilaporkan susah sekali. Para anggota diambil sumpah untuk selalu setia dan menjalani segala aspek kehidupan berdasarkan arahan dari Moon dan istrinya. Sejak Moon meninggal pada tahun 2012, kepemimpinan organisasi dipegang oleh anak-anaknya.
Yamagami mengaku, ibunya bergabung dengan gereja tersebut sejak tahun 1998. Menurut dia, ibunya telah memberi sumbangan sebesar 100 juta yen (sekitar Rp 10,8 miliar) kepada lembaga itu. Uang diperoleh dengan menguras tabungan, menjual tanah, dan segala harta benda.
Keanggotaan sang ibu di organisasi ini juga menyebabkan orangtua Yamagami bercerai. Bahkan, pada tahun 2002, pengadilan negeri di salah satu prefektur Jepang menyatakan sang ibu pailit.
Penuturan Yamagami sesuai dengan keterangan sejumlah kerabat Yamagami yang menolak disebut identitasnya. “Sejak kecil, Tetsuya dan saudara-saudaranya sering ditelantarkan dan kelaparan tanpa uang karena ibu mereka sibuk bepergian demi mengikuti acara-acara Gereja Persatuan,” tuturnya.
Yamagami mengungkapkan bahwa ia pernah berusaha meledakkan tempat kegiatan Gereja Persatuan pada tahun 2019. Ketika itu, salah satu anak Sun Myung Moon datang ke Jepang. Akan tetapi, niat Yamagami menyelundupkan bom rakitan ke gedung pertemuan gagal karena ia tidak bisa masuk.
“Pada September 2021, saya menonton video Abe di media sosial memberi ucapan selamat dalam sebuah perayaan Gereja Persatuan. Saya berpikir, kalau tidak bisa mengincar tokoh gereja, bisa mengincar orang-orang penting yang berkaitan dengan mereka,” kata Yamagami.
Ia juga beralasan bahwa gara-gara keluarga Abe pula Gereja Persatuan bisa berada di Jepang. Pada tahun 1958, kakek Abe, Nobusuke Kishi yang merupakan perdana menteri saat itu memberi izin Gereja Persatuan membuka cabang di Jepang. Abe sekeluarga maupun para kader LDP tidak ada yang tercatat sebagai anggota gereja itu, tetapi mereka sering hadir di acara gereja, baik sebagai tamu kehormatan maupun memberi pidato.
Yamagami masih menjalani pemeriksaan dan pemantauan kejiwaan sampai dengan bulan November. Setelah itu, ia akan menjalani pengadilan. (AP/Reuters)