Insiden Penembakan Abe dan Budaya Kampanye Politisi Jepang di Tepi Jalan
Insiden penembakan mantan PM Jepang Shinzo Abe memunculkan pertanyaan: mengapa negarawan yang pernah menjabat PM terlama di Negeri Sakura berkampanye di tepi jalan tanpa pengawalan yang tidak terlalu ketat?
”Selama pandemi, dia mendengar persoalan semua orang. Dia tipe orang yang tidak melihat ada alasan untuk tidak melakukan sesuatu..."
Blaarrr!
Itulah kata-kata terakhir yang diucapkan mantan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe sebelum letusan senapan menghentikannya. Siang itu, Jumat (8/7/2022), Abe tengah berpidato dalam kampanye menyerukan warga memilih kembali Kei Sato, kandidat anggota Majelis Tinggi Parlemen Jepang, dalam pemilu.
Di tengah siang bolong yang panas, Abe dengan memakai jas gelap berorasi di area pembatas pada pertigaan dekat Stasiun Yamato-Saidaiji, Kota Nara, sekitar satu jam penerbangan sebelah barat daya Tokyo.
Tak ada penutupan jalan. Sebuah bus dan mobil van terlihat melintas di belakang Abe. Di dalam mobil yang melintas, seseorang terlihat melambaikan tangan dengan wajah ceria, karena mengenali wajah mantan perdana menteri (PM) terlama menjabat di Jepang itu.
Dua pengendara skuter sempat berhenti di depan Abe. Beberapa orang memotret suasana kampanye Abe siang itu dengan telepon pintarnya. Ia tampak dikelilingi warga yang sedang mendengar ucapannya. Mereka berdiri dekat dengan mimbar tempat Abe berdiri. Di sebelah kanan dan belakang Abe, dua anggota elite Kepolisian Keamanan—semacam anggota dinas pengamanan rahasia versi Jepang—berjaga-jaga.
Semuanya berubah menjadi kacau balau selepas dua tembakan dilepaskan Tetsuya Yamagami, laki-laki pengangguran berusia 41 tahun, ke tubuh Abe. Ia berdiri tidak sampai 10 meter di belakang Abe. Ia mengeluarkan senjata api rakitan dan tasnya dan melepas dua tembakan. Abe (67) ambruk. Terlihat berdarah pada bagian lehernya. Baju yang dipakainya berlumuran darah. Aparat keamanan segera berlari ke arahnya untuk memberikan pertolongan.
Baca Juga: Pengakuan Penembak Abe kepada Penyidik: Motif Pribadi, Tak Ada Dendam Politik
Abe sempat dilarikan ke Rumah Sakit Universitas Kedokteran Nara untuk mendapatkan pertolongan medis. Namun, beberapa jam kemudian, ia mengembuskan napas terakhir.
Melihat kasus penembakan Abe terjadi ketika berkampanye di tepi jalan, kita di Indonesia mungkin bertanya-tanya: bagaimana mungkin negarawan yang pernah menjabat sebagai perdana menteri terlama di ”Negeri Sakura” berkampanye di tepi jalan dengan pengawalan yang tidak terlalu ketat?
Bagi masyarakat Indonesia, kampanye yang dilakukan oleh tokoh politik senior, terutama mantan kepala negara atau pemerintahan, langsung berkonotasi dengan arak-arakan panjang dengan sistem keamanan lengkap. Ada voorijder dan satuan pengaman khusus di semua sisi. Untuk mendekati tokoh itu susahnya minta ampun. Publik harus melawan sapuan lengan para pengawalnya.
Selain itu, wujud kampanyenya juga besar-besaran. Umumnya berada di lapangan terbuka, membutuhkan panggung dan melibatkan sejumlah artis yang akan tampil. Warga yang mengikuti kampanye mungkin hanya bisa melihat tokoh itu dari kejauhan.
Kampanye di Asia Timur
Namun, berbeda dengan budaya Asia Timur. Di negara-negara kawasan tersebut, kampanye berpanggung megah dan diramaikan artis dangdut ataupun semacamnya tidak ada. Kampanye para politikus, baik yang yunior maupun sudah terkemuka, seperti Abe, cenderung kecil-kecilan dan langsung bersentuhan dengan masyarakat.
Baca Juga: Shinzo Abe dan Sederet PM Jepang Korban Pembunuhan
Bagi Abe, kebiasaan berkampanye seperti itu sudah dia jalani selama puluhan tahun menjadi politisi. Dia turun ke jalan (dalam arti sebenarnya), berdiri di tengah warga dalam jarak sangat dekat dan berorasi, menyerukan dukungan pada Partai Demokratik Liberal (LDP) yang pernah dipimpinnya atau kandidat anggota parlemen yang didukungnya.
Baca Juga:
Karena itu, insiden penembakan Abe benar-benar membuat geger masyarakat Jepang yang selama ini menganggap negara mereka relatif aman dan jarang sekali mengalami kasus penembakan. Data Kepolisian Jepang, di tahun 2021, hanya ada 10 kasus penyalahgunaan senjata api dan semuanya berhubungan dengan kejahatan terorganisasi. Berbeda sekali dengan Amerika Serikat yang kurun Januari-Juli 2022 saja sudah mengalami 300 kasus penembakan massal yang merenggut korban mulai dari anak-anak hingga warga lansia.
Baca Juga: ”In Memoriam” Shinzo Abe
Stasiun televisi nasional Amerika Serikat, PBS, pada 2008 menayangkan serangkaian dokumenter mengenai budaya politik dan berbagai gimikkampanye di Jepang. Intinya, aturan mengenai kampanye politik diterbitkan pada 1925. Aturan ini diperketat pada 1990 dengan biaya kampanye hampir seluruhnya harus ditanggung oleh politikus yang berlaga. Jika beruntung, ia memiliki sponsor ataupun sumbangan dari pendukungnya.
Guru Besar kajian politik AS-Jepang dari Universitas Columbia, Gerald Curtis, dalam bukunya yang berjudul Election Campaigning, Japanese Style (1971) menjelaskan bahwa teknik kampanye sendiri diatur ketat. Setiap calon dilarang memasang iklan di media-media arus utama. Bahkan, memasang spanduk dan baliho raksasa saja dilarang. Ada aturan mengenai ukuran poster yang menampilkan wajah kandidat. Waktu kampanye juga dibatasi hanya 12 hari.
Baca Juga : Shinzo Abe, Sang Nasionalis Tegas yang Lentur Berdiplomasi
Di samping itu, kampanye dari rumah ke rumah tidak diizinkan. Media promosi kebudayaan Jepang, Walk Japan, pada tahun 2021 menerbitkan artikel yang menjelaskan, sejak internet dikenal masyarakat Jepang pada pertengahan tahun 1990-an, para calon yang mengikuti pemilihan umum tidak boleh membuat situs baru ataupun akun media sosial selama masa kampanye. Oleh sebab itu, para politikus harus memiliki pendekatan yang mereka anggap efektif untuk mendekati masyarakat dalam jendela 12 hari tersebut.
Artikel di surat kabar Japan Times bulan Oktober 2021 menjelaskan sejumlah strategi kampanye yang populer di kalangan para politikus. Nomor satu adalah mobil kampanye. Masyarakat Jepang memiliki kebencian terhadap mobil kampanye karena berisik dan mengganggu. Mobil kampanye adalah ketika calon yang berlaga di pemilu menaiki mobil yang mengitari suatu wilayah.
Dilarang menjelekkan saingan
Mobil itu dipasangi pelantang. Si calon berbicara di corong dan ucapannya sangat dibatasi. Artikel Japan Times itu menerangkan, setiap calon dilarang menjelek-jelekkan saingannya. Mereka juga dilarang mengumbar janji kampanye. Ini membuat calon hanya bisa mengatakan kalimat yang itu-itu saja selama berkeliling dengan mobil kampanye. Umumnya hal yang ia katakan adalah ”Saudara-saudara, nama saya adalah X, kandidat dari Partai Y. Silakan coblos saya di pemilu nanti”.
Lihat juga foto-foto : Ungkapan Duka Atas Meninggalnya Shinzo Abe
Setelah berkampanye keliling dengan mobil, politikus juga melakukan kampanye langsung kepada masyarakat. Bagi politikus yunior yang baru hendak berkiprah, mereka biasanya berdiri di trotoar di depan gedung parlemen lokal atau di jembatan penyeberangan dan mencegat pejalan kaki. Di sana mereka mempromosikan diri beserta berbagai program yang mereka usung.
Curtis dalam bukunya menjelaskan, kampanye di trotoar ini semacam mengakali larangan kampanye dari rumah ke rumah. Calon memilih titik-titik yang ia anggap strategis, tetapi tidak mengganggu kegiatan publik. Sejumlah lokasi yang populer antara lain di luar stasiun kereta, di luar terminal bus, di trotoar perempatan jalan yang besar, jembatan penyeberangan, di luar pasar, dan di luar gedung parlemen.
Modalnya cukup undakan tempat calon berdiri dan bisa dilihat pejalan kali, corong, dan pelantang suara. Di Korea Selatan, seperti dilaporkan oleh media nasional Arirang TV, gimik kampanye ini lebih menarik perhatian karena si calon bisa mencarikan koreografi yang lucu bersama pendukungnya, bahkan juga mengenakan kostum yang mencolok.
”Pola kampanye di Jepang sangat patronistik. Masyarakat dianggap cenderung menyukai calon yang didukung oleh orang yang mereka percayai. Misalnya, di desa-desa, kepala desa ataupun tokoh yang dituakan warga turun ke jalan dan mempromosikan jagoan mereka di titik-titik kampanye ini. Di perkotaan, para petinggi partai ataupun politikus senior yang berkoar-koar di trotoar mempromosikan junior mereka,” tulis Curtis.
Baca Juga : Jusuf Kalla: Shinzo Abe Menjaga Persahabatan Indonesia-Jepang
Analisis Curtis memang berusia 51 tahun, tetapi masih bisa menjelaskan alasan tokoh sepenting Abe tidak segan untuk berseru-seru di trotoar guna mengajak masyarakat memilih para politikus Partai Demokratik Liberal (LDP) yang berlaga di pemilu untuk Majelis Tinggi Parlemen. Setelah Abe berpulang pada hari Jumat (8/7/2022), LDP tetap menyelesaikan kampanye mereka pada hari Sabtu (9/7). Kebetulan, Sabtu adalah hari terakhir kampanye sebelum Jepang memasuki minggu tenang.
Dilansir dari Kyodo, Perdana Menteri Fumio Kishida mengadakan rapat dengan Ketua Komisi Keamanan Publik Satoshi Ninoyu dan Menteri Hukum Yoshihisa Furikawa. Hasil rapat itu ialah memerintahkan Kepala Polisi Jepang Itaru Nakamura untuk mengerahkan anah buahnya mengawal semua menteri di kabinet Kishida dan sejumlah politikus top.
Penembakan yang menewaskan Abe ini kemungkinan akan membuat perubahan drastis bagi keamanan para politikus di minggu kampanye. Bisa saja Jepang harus mengucapkan selamat tinggal kepada kebiasaan kampanye di trotoar. (AP/AFP/REUTERS/SAM)