Shinzo Abe, Sang Nasionalis Tegas yang Lentur Berdiplomasi
Shinzo Abe, kepala pemerintahan terlama yang pernah dimiliki Jepang, mengembuskan napas terakhir. Ia meninggal akibat luka tembak ketika berkampanye.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
NARA, JUMAT — Perdana Menteri Jepang periode 2006-2007 dan 2012-2020 Shinzo Abe meninggal akibat luka tembak. Ia dikenal sebagai kepala pemerintahan yang nasionalis, tetapi juga realistis dan fleksibel dalam berdiplomasi. Hingga akhir hayat, Abe masih merupakan sosok yang sangat berpengaruh di Partai Demokratik Liberal, pemerintahan Jepang, dan kawasan Indo-Pasifik.
Abe meninggal di Nara pada Jumat (8/7/2022) sore. Siangnya, ia berkampanye di perempatan jalan untuk menggalang dukungan bagi Partai Demokratik Liberal (LDP) dalam menghadapi pemilihan umum Majelis Tinggi. Ketika berpidato, seorang penonton melepas tembakan dari belakang panggung. Politikus berumur 67 tahun itu tersungkur dengan luka di leher dan dada sebelah kiri.
Ia segera dilarikan ke Rumah Sakit Universitas Nara. Setelah penanganan darurat, Abe dikabarkan mengalami gagal jantung yang mengakibatkan kondisinya menurun dan akhirnya mengembuskan napas terakhir. Polisi di tempat kejadian perkara membekuk Tetsuya Yamagami (41), pelaku penembakan. Ia mantan Pasukan Beladiri Kelautan Jepang. Belum diketahui motif penembakan meskipun aparat penegak hukum mengatakan tidak dilatari alasan politik.
Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida mengecam keras perbuatan Yamagami dan menganggapnya barbar. ”Ini kejahatan yang tidak bisa ditoleransi. Insiden ini melukai demokrasi di Jepang,” katanya dalam jumpa pers yang disiarkan oleh NHK.
Kementerian Luar Negeri China melalui juru bicaranya, Zhao Lijian, mengungkapkan kekagetan. Zhao mengatakan, Beijing mengharapkan tindakan ini tidak dihubung-hubungkan dengan relasi China-Jepang. Ia menolak berkomentar mengenai perkiraan tanggapan masyarakat China terhadap insiden ini.
Presiden Taiwan Tsai Ing-wen dalam akun resmi di Facebook juga mengecam kejadian tersebut. ”Abe adalah sahabat Taiwan. Jepang dan Taiwan sama-sama berlandaskan demokrasi sehingga kejahatan semacam ini harus diberi ganjaran yang setimpal. Taiwan sungguh kehilangan sekutu yang selalu mendukung kami,” tuturnya.
Abe mendukung Taiwan sebagai entitas demokrasi. Bahkan, setelah turun dari jabatan kepala pemerintahan, Abe beberapa kali berbicara di forum internasional dan mengecam perilaku Beijing yang ia nilai intrusif terhadap Taiwan. China berkali-kali mengutarakan ketidaksetujuan atas sikap Abe ini.
Tegas
Pengajar politik luar negeri Jepang di Departemen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, Siti Daulah Khoriati, menjelaskan, Abe bisa menjabat sebagai perdana menteri dalam waktu lama karena sikap politiknya yang tegas. Ia nasionalis, tetapi memiliki cara berdiplomasi yang lentur.
Abe lahir di keluarga yang memiliki pengaruh politik. Dari pihak ibu, Abe adalah cucu dari Nobusuke Kishi, pengusaha dan tokoh politik penting dalam pengendalian Manchukuo di China sebelum Perang Dunia II. Kakeknya dari pihak ayah, Kan Abe, merupakan anggota Parlemen Jepang di zaman yang sama. Adapun ayah Abe, Shintaro, menjabat sebagai anggota parlemen periode 1958-1991.
”Keunikan Abe ialah berani untuk mengambil langkah yang berbeda dengan Amerika Serikat,” kata Daulah yang dihubungi di Yogyakarta.
Sejak kekalahan Jepang di Perang Dunia II, mereka bergantung pada AS untuk urusan keamanan karena tidak diperkenankan memiliki militer. Mereka hanya boleh memiliki Pasukan Beladiri. Akan tetapi, Abe mengeluarkan kebijakan kontroversial karena ingin mengubah Undang-Undang Dasar Jepang supaya negara itu bisa memiliki militer.
Negara-negara Barat, juga negara-negara di Asia Tenggara, mengkhawatirkan niat ini karena tidak mau Jepang kembali menjadi negara fasis. Ketika Perang Dunia II, Jepang menganut paham fasis seperti Jerman yang dipimpin Adolf Hitler dan Italia di bawah Benito Mussolini.
”Abe memiliki alasan kuat karena Jepang dikelilingi tetangga yang semakin kuat secara ekonomi, politik, dan militer. Ada China, Rusia, dan Korea Utara. Ini ancaman nyata yang tidak dirasakan langsung oleh AS dan Barat,” papar Daulah.
Ia menerangkan, meskipun bergabung dengan berbagai pakta keamanan bersama AS, kenyataan keamanan Jepang adalah di Asia Timur. Setelah itu, kawasan yang penting bagi Jepang adalah Asia Tenggara. Di bawah Abe, muncul Kerja Sama Ekonomi Indonesia-Jepang dan kebijakan bebas visa bagi warga Indonesia yang berkunjung ke Jepang.
Abe menyadari keunikan posisi Jepang sehingga berani untuk tidak terus-menerus mengekor AS. Pada saat yang sama, Abe juga sangat diplomatis. Ia menjalin komunikasi yang kuat dengan China dan Rusia.
Tokyo dan Beijing bersengketa di Laut China Timur terkait Kepulauan Senkaku yang disebut Kepulauan Diaoyu oleh China. Sementara di wilayah utara, Tokyo juga berselisih dengan Moskwa atas sejumlah kepulauan. Abe selalu mengupayakan perseteruan itu tidak pernah menjadi pertikaian fisik dan diselesaikan di atas meja perundingan.
”Pendekatan ini berbeda dengan yang dipakai Kishida sekarang. Ia cenderung lengket dengan AS seperti mengembargo Rusia setelah menginvasi Ukraina, juga menjauhkan diri dari China. Perundingan Tokyo-Moskwa akhirnya macet,” kata Daulah.
Abe juga terkenal dengan kebijakan ekonominya atau kerap disebut dengan istilah Abenomics. Demi mengeluarkan Jepang dari inflasi, Abe menerapkan belanja pemerintah secara besar-besaran. Selain itu, ada penurunan biaya pinjaman sehingga berbagai kegiatan bisnis bisa berjalan. Jepang memiliki populasi kian menua sehingga masyarakat lebih gemar menabung daripada berbelanja. Akibatnya, perputaran uang rendah.
Perdana menteri terlama yang pernah mengabdi di Jepang ini akhirnya memutuskan undur diri pada Agustus 2020. Kesehatannya tidak lagi mampu menyokong tugasnya sebagai kepala pemerintahan. Akan tetapi, pengaruhnya tetap kuat. Abenomics besutannya menjadi tolak ukur para calon penggantinya ketika berkampanye untuk pemilihan umum.