Bagi bangsa Jepang, bangsa Indonesia dan juga bangsa lain di dunia, kepergian Abe jelas sebuah kehilangan besar. Bukan hanya disebabkan kiprah Abe yang luar biasa saat ia berkuasa, melainkan juga karena eksistensi Abe.
Oleh
YUSRON IHZA MAHENDRA
·5 menit baca
Kepergian mantan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe merupakan peristiwa yang amat mengejutkan, apalagi karena kepergian itu terjadi secara tiba-tiba dan amat tragis. Abe tewas di ujung bedil, dan peristiwa itu terjadi saat ia sedang berkampanye di Nara (Jepang barat) untuk Pemilu Majelis Tinggi Jepang yang akan digelar Minggu, 10 Juli 2022.
Bagi bangsa Jepang, bangsa Indonesia dan juga bangsa lain di dunia, kepergian Abe jelas sebuah kehilangan besar. Bukan hanya disebabkan kiprah Abe yang luar biasa saat ia berkuasa, melainkan juga karena eksistensi Abe di pentas politik Jepang dan bahkan dunia masih amat besar dan terasa.
Semasa hidupnya, turunnya Abe dari jabatan sebagai PM dan kemudian naik kembali serta turun kembalinya dia sama sekali bukan karena alasan turunnya popularitas atau alasan lain. Hal itu karena alasan kesehatan. Abe sebagai PM Jepang yang berkuasa paling lama itu masih tetap populer.
Popularitas Abe tentu bukan hanya karena konsep ekonominya, ”Abenomic”. Juga bukan hanya karena perjuangan keras Abe untuk melakukan amendemen konstitusi Jepang (terutama dalam kaitan pertahanan dan keamanan Jepang), melainkan masih banyak lagi.
Bagi bangsa Jepang, bangsa Indonesia dan juga bangsa lain di dunia, kepergian Abe jelas sebuah kehilangan besar.
Di saat-saat awal terjadinya Perang Rusia-Ukraina, Abe bahkan masih bersuara lantang dan menjadi sorotan dunia. Dalam kaitan kemungkinan dengan bahaya serangan dari luar terhadap Jepang, Abe mengatakan bahwa Jepang perlu menyediakan wilayahnya untuk senjata nuklir Amerika Serikat.
Pemikiran Abe di atas tentu tidak terlepas dari tanggung jawabnya terhadap keselamatan bangsa Jepang, yaitu untuk memastikan bahwa AS akan melindungi Jepang dengan payung nuklir jika diperlukan.
Semangat Abe untuk membangun kekuatan pertahanan Jepang (dan karena itu perlu amendemen konstitusi) tak harus ditafsirkan sebagai akan bangkit kembalinya militerisme Jepang seperti pada masa-masa silam. Apalagi, pembangunan kekuatan militer dan paham (isme) atau ideologi militer adalah dua hal berbeda. Dan, pembangunan kekuatan militer juga tidak harus diartikan sebagai keinginan atau hawa nafsu untuk perang.
Bukankah perdamaian itu, dalam salah satu makna, tak lebih dari sekadar jeda di antara dua perang? Bukankah perdamaian itu bukan sesuatu yang jatuh dari langit dan bukan pula sesuatu yang bersifat given, melainkan sesuatu yang harus diciptakan dan dipelihara?
Lalu, jika kita mengamati bermula dan berakhirnya perang di banyak wilayah di muka bumi ini, bukankah muncul dan berakhirnya perang itu hampir sepasti terbit dan tenggelamnya matahari?
Dalam kaitan di atas, bukankah kita seharusnya mengerti pula bahwa perdamaian tak mungkin dapat ditegakkan atau dipelihara hanya dengan ranting, isak tangis, dan air mata? Dan bahwa perdamaian itu harus diletakkan di ujung pedang, di ujung sangkur, di ujung bedil—dan singkat kata adalah senjata? Bukankah sejak jauh-jauh hari orang-orang Romawi telah berkata: Si vis pacem, para bellum? yang artinya jika kita siap untuk damai, maka bersiap jugalah untuk perang.
Langkah cerdas Abe
Dalam hemat saya, garis Abe untuk mengamendemen konstitusi dan membangun kekuatan militer Jepang adalah sebuah langkah cerdas yang bukan hanya terbatas di bidang pertahanan dan keamanan itu sendiri, melainkan sekaligus juga langkah yang komprehensif dan terintegrasi untuk tujuan-tujuan ekonomi.
Sewaktu menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Jepang tahun 2013-2016, saya bahkan pernah presentasi di Lembaga Riset Okazaki yang disebut-sebut sebagai think tank PM Abe kala itu. Dalam makalah terkait ”Abenomic” saat itu, saya mengatakan bahwa kebijakan ekonomi Abe yang dikenal sebagai ”Tiga Panah Abe” itu sesungguhnya bukan tiga, melainkan empat.
Masih segar dalam ingatan ketika saya pertama kali berkunjung ke Kantor PM Jepang untuk bertemu Abe dalam kedudukan saya sebagai Dubes RI.
Saat berjumpa Okazaki yang disebut-sebut sebagai salah satu orang paling pintar di Jepang sebelum presentasi, beliau pun sempat terperangah. ”Di mana panah Abe yang satu lagi?” tanya Okazaki kepada saya.
”Disembunyikan di dalam kantong jas Abe bagian sebelah dalam,” jawab saya.
”Apa wujudnya?” tanya Okazaki lagi.
”Industri pertahanan yang akan menjadi lokomotif untuk menarik gerbong ekonomi Jepang.”
Maka, Okazaki pun berkata bahwa analisis saya boleh jadi benar. Paling tidak, beliau tak dapat mengatakan analisis itu salah. Analisis kamu tajam dan saya mengakui bahwa saya kalah cepat, ujar Okazaki.
Jika ini dapat dikatakan sebagai sekelumit kenangan manis saya terhadap Abe. Kenangan lain yang terkait Indonesia adalah, pertama, Perjanjian IJEPA (Indonesia-Japan Equal Partnership Agrement).
Isinya antara lain membuka kesempatan kerja lebih luas bagi orang Indonesia bekerja di Jepang (terutama tenaga perawat). Kedua, bebasnya visa bagi semua WNI untuk berkunjung ke Jepang. Tanpa diduga, ini terjadi secara spontan dan ini menjadi kenangan yang tidak mungkin saya lupakan.
Masih segar dalam ingatan ketika saya pertama kali berkunjung ke Kantor PM Jepang untuk bertemu Abe dalam kedudukan saya sebagai Dubes RI. Pria tinggi besar yang amat sopan dan bersahabat, tapi amat tegas (kalau bukan keras) dalam garis politiknya itu tersenyum lebar ketika masuk ke ruang tempat menerima tamu untuk menemui saya. ”Omedetou gozaimasu,” (selamat) kata Abe dengan amat bersahabat.
Diplomasi visa
Kami telah saling kenal sejak 2006 (dalam kedudukan sebagai sama-sama anggota parlemen/DPR) dan telah sekian kali bertemu. Bahkan saling kenal nama. Tanpa canggung dan tanpa perlu juru bahasa, Abe pun mengutarakan berbagai hal kepada saya dalam bahasa Jepang. Ada beberapa permohonan bantuan dari beliau kepada Pemerintah RI.
Salah satunya tentang industri otomotif Jepang. Semua pembicaraan berjalan lancar. Bahkan saya yang semula dijanjikan hanya akan diterima sekitar sepuluh menit nyatanya jauh melewati itu. Abe bahkan sempat bercerita panjang tentang tsunami di Kesenuma waktu itu dan mengagumi serta memuji simpati orang Indonesia terhadap musibah ini.
Abe baru tersadar kemudian bahwa kunjungan saya kali itu (dalam kedudukan sebagai Duta Besar) adalah kunjungan pertama. Karena itu, idealnya pembicaraan tak masuk ke ranah-ranah yang substansial. Beliau lalu bertanya apa yang saya minta.
Spontan saja saya menjawab bahwa saya ingin Pemerintah Jepang membebaskan visa bagi semua WNI yang ingin ke Jepang. Alasan saya, warga negara Singapura dan Malaysia sudah tak perlu visa untuk masuk ke Jepang, sementara WNI masih wajib.
Permohonan itu dijawab spontan oleh Abe yang langsung memerintahkan Dirjen Asia Tenggara di Kemlu Jepang agar memproses bebas visa itu. Nikai Toshihiro (sekjen partai berkuasa Jepang, LDP) langsung mengatakan akan mengawal proses ini. Menteri Hayashi Mooto yang juga hadir mengucapkan selamat pada saya. Maka, bebas visa itu pun terlaksana beberapa bulan kemudian.
Kini Abe yang simpatik dan cenderung cepat serta tak birokratis dalam membuat kebijakan itu telah pergi meninggalkan kita semua. Selamat jalan Tuan Shinzo Abe. Selamat beristirahat di alam keabadian....