Shinzo Abe dan Sederet PM Jepang Korban Pembunuhan
Mantan PM Jepang Shinzo Abe menjadi korban pembunuhan terhadap tokoh politik di ”Negeri Sakura”. Setidaknya sudah ada tujuh pejabat PM Jepang yang tewas baik ketika sedang menjabat ataupun sudah purnatugas.
Mantan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe bukan korban pertama pembunuhan terhadap tokoh politik yang terjadi di ”Negeri Sakura”. Peristiwa ini mengingatkan pada penembakan yang dialami PM Jepang yang pertama, Koshaku Ito Hirobumi pada 26 Oktober 1909, serta sederet nama PM Jepang lainnya yang juga dibunuh.
Dunia dikejutkan dengan peristiwa penembakan yang menyasar PM Jepang periode 2006-2007 dan 2012-2020, Shinzo Abe. Peristiwa terjadi pada pukul 11.30 waktu setempat yang berlokasi di kota Nara, Prefektur Nara. Mantan PM dengan masa jabatan terpanjang tersebut mengalami dua luka tembak di bagian leher dan dekat tulang selangka sebelah kiri.
Akibat dua luka tembak yang fatal, Abe tumbang dan tidak sadarkan diri serta mengalami henti jantung dan kemudian dilarikan ke rumah sakit menggunakan helikopter. Setelah dilakukan pertolongan di Rumah Sakit Universitas Nara yang dibantu oleh 20 tenaga medis, nyawa mantan PM Jepang berusia 67 tahun tersebut tidak tertolong.
Berdasarkan pemberitaan Asia Nikkei, sesaat setelah peristiwa penembakan, personel keamanan menahan seorang tersangka bernama Tetsuya Yamagami (41) yang berlatar belakang mantan anggota Angkatan Laut Jepang yang berdinas pada 2002-2005. Motif pelaku penembakan masih dalam penyelidikan aparat keamanan Jepang.
Sebelumnya, Abe berada di kota Nara dalam acara kampanye politik terkait pemilihan umum calon anggota Dewan Penasihat Jepang (Sangi-in) atau Majelis Tinggi dalam sistem parlemen di Jepang. Menurut rencana, pemilu akan diadakan pada Minggu, 10 Juli 2022. Menurut keterangan Kementerian Dalam Negeri Jepang kepada Financial Times, tragedi yang menimpa Abe tidak memengaruhi pelaksanaan pemilu.
Peristiwa yang menimpa Abe mengingatkan pada peristiwa pembunuhan terhadap PM Jepang yang terjadi ketika era perebutan kekuasaan oleh militer sebelum mobilisasi Jepang menduduki Mancuria pada 1931. Menurut catatan sejarah, terdapat enam PM dan mantan PM Jepang yang dibunuh pada kurun waktu 1909 hingga 1936.
Nama PM Jepang yang pertama kali menjadi korban pembunuhan yaitu Koshaku Ito Hirobumi (1841-1909). Ito Hirobumi merupakan PM pertama Jepang setelah negara tersebut mengadopsi model pemerintahan demokrasi parlementer. Masa kepemimpinannya terbilang cukup panjang, yakni sebanyak empat periode sehingga menjadikan ia sebagai PM Jepang pertama, kelima, ketujuh, dan kesepuluh.
Ito Hirobumi menemui ajalnya di tangan seorang aktivis kemerdekaan Korea bernama An Jung-geun ketika berada di Stasiun Kereta Api Harbin di China pada 26 Oktober 1909. Terbunuhnya Ito Hirobumi dikaitkan dengan gejolak relasi politik antara Korea dan Jepang di awal tahun 1900-an.
Saat itu relasi geopolitik antara Korea dan Jepang dalam ikatan Perjanjian 1905 pascaperang Rusia-Jepang (1904-1905) yang menjadikan negara Korea sebagai wilayah protektorat atau dikontrol, tetapi tidak dimiliki oleh Jepang. Peristiwa terbunuhnya Ito Hirobumi pada 1909 justru memantik aneksasi Jepang terhadap Korea pada 22 Agustus 1910 yang membuat tensi semakin tinggi.
Gerakan sayap kanan
Dapat dikatakan bahwa kematian PM Ito Hirobumi merupakan puncak peristiwa ketegangan geopolitik antara Korea dan Jepang. Pada era selanjutnya, kematian dua PM merupakan akibat dari anggota gerakan ekstrem sayap kanan.
PM Takashi Hara (1856-1921) yang menjabat pada kurun 1918-1921 menemui ajal akibat ditusuk oleh Nakaoka Kon’ichi (19), seorang pemuda anggota sayap kanan, di Stastiun Tokyo pada 4 November 1921. Berita terbunuhnya Hara terdengar ke seluruh penjuru dunia. Sehari setelahnya, pada 5 November 1921 kabar tersebut dimuat pada halaman pertama The New York Times dengan judul Japanese Premier Stabbed to Death by Korean Fanatic.
Korban berikutnya yaitu PM Hamaguchi Osachi (1870-1931) yang ditembak oleh Tomeo Sagoya, seorang pemuda anggota sayap kanan. Titik lokasi penembakan Osachi berdekatan dengan tempat Hara terbunuh sembilan tahun sebelumnya, yaitu di peron Stasiun Tokyo. Nyawa Osachi dapat diselamatkan setelah terkena tembakan, tetapi akhirnya meninggal sembilan bulan kemudian.
Pada masa jabatannya (1929-1931), beberapa kebijakan Osachi menyebabkan pergolakan ekonomi dan politik di dalam negeri. Saat itu, dunia sedang dilanda bencana depresi ekonomi (1929-1939). Sayangnya, langkah dan inisiatif Osachi untuk menyelamatkan ekonomi Jepang tidak berbuahkan hasil. Solusi penanganan yang tidak mujarab membuat sebagian kalangan merasa tidak puas dan pada puncaknya mengambil tindakan ekstrem.
Pada era sebelum dominasi militer di Jepang, posisi PM dapat diduduki oleh tokoh dari kalangan partai atau sipil dan juga militer. Semakin mendekati ambang era peperangan, manuver politik pihak militer semakin agresif. Hal ini menyebabkan terjadinya dua kali peristiwa kudeta yang disertai dengan pembunuhan terhadap seorang PM aktif pada zamannya dan dua mantan PM.
Kudeta militer
Peristiwa kudeta militer yang pertama terjadi pada 15 Mei 1932. Akibat peristiwa tersebut, PM Inukai Tsuyoshi (1855-1932) dibunuh oleh sebelas perwira yunior AL Jepang di rumah dinasnya. Dilihat dari latar belakang politiknya, Inukai berasal dari Partai Seiyukai dan dapat dibilang merupakan bagian dari politisi sipil. Menilik latar belakang PM sesudahnya, Inukai merupakan PM dari kalangan sipil yang terakhir sebelum Jepang secara total melancarkan invasi ke berbagai wilayah di China serta selanjutnya merambah ke Indochina.
Pengganti Inukai yaitu Shishaku Saito Makoto (1858-1936) yang menduduki jabatan sebagai PM pada periode 1932-1934. Makoto merupakan politikus yang berlatar belakang militer, tepatnya berasal dari Angkatan Laut Jepang. Walaupun berasal dari kalangan militer, Makoto tidak luput dari kudeta militer yang dilancarkan pada 26 Februari 1936.
Kudeta tahun 1936 diprakarsai oleh Angkatan Bersenjata Kekaisaran Jepang, yang kala itu berada di bawah naungan Kementerian Militer dan di bawah kendali kaisar sebagai pimpinan tertinggi. Kudeta dilakukan oleh oknum perwira dan menyasar negarawan serta beberapa tokoh politik.
Pada tahun 1936 Makoto sudah berstatus sebagai mantan PM, bersamaan dengan mantan PM Takahashi Korekiyo (1854-1936) meregang nyawa di malam yang sama di tangan anggota militer Jepang yang merangsek ke kediaman mereka berdua. Setelah pembunuhan terhadap Makoto dan Korekiyo, pemerintahan praktis dikuasai oleh kalangan militer.
Sejarah berdarah pemerintahan Jepang yang sudah berlalu lebih dari 80 tahun silam kini kembali terulang. Shinzo Abe sebagai negarawan yang ulung, mantan PM dengan masa jabatan terpanjang dalam sejarah pemerintahan Jepang ditembak mati di hadapan publik. Kejadian ini mirip dengan pembunuhan yang menimpa Inejiro Asanuma, tokoh Partai Sosialis Jepang pada tahun 1960. Asanuma ditusuk oleh Otoya Yamaguchi ketika sedang debat publik dan disiarkan melalui televisi.
Berulangnya pembunuhan tokoh politik di Jepang bukan hanya menimbulkan duka bagi keluarga dan masyarakat Jepang, melainkan juga bagi politik dunia. Abe ditembak menjelang digelarnya Pemilu Majelis Tinggi Jepang pada 10 Juli 2022.
Kematian Abe juga menambah daftar tokoh tokoh politik dunia yang juga mengalami hal serupa seperti Presiden AS John F Kennedy (1963), Presiden Mesir Anwar Sadat (1981), dan PM India Indira Gandhi (1984). Masih terus terjadinya kekerasan dalam politik hingga saat ini menjadi ujian bagi dunia untuk mewujudkan esensi tujuan politik itu sendiri, yaitu perdamaian dan kesejahteraan masyarakat.
Mengingat tujuan mulia itu, segala bentuk perbedaan pandangan politik selayaknya tidak diikuti dengan kekerasan atau teror, tetapi dengan perundingan dan dialog untuk mencari kesepakatan bersama. Bagaimanapun, kekerasan hanya akan meninggalkan catatan tragedi dan aksi balas dendam yang justru dapat mencederai politik perdamaian dunia. (LITBANG KOMPAS)