Gelombang Panas Turunkan Produktivitas Industri di China
Gelombang panas membuat kelangkaan listrik yang menghantam sektor industri China.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
CHENGDU, SELASA — Gelombang panas yang melanda seantero China mengakibatkan danau dan sungai yang merupakan sumber-sumber listrik surut. Fenomena ini berimbas pada kelangkaan listrik yang membuat sektor industri dan pertanian harus mengurangi produksi.
Badan Meteorologi China mengeluarkan keterangan pers di laman resmi mereka pada Senin (22/8/2022) bahwa gelombang panas ini terjadi sejak 13 Juni. Artinya, hingga Selasa (23/8/2022), China telah 72 hari mengalami cuaca terik. Ini adalah gelombang panas terlama yang dialami negara tersebut sejak 1961. Rekor terakhir ialah pada tahun 2013 dengan jangka waktu 62 hari.
Menurut lembaga tersebut, kisaran suhu harian adalah 35-37 derajat celsius. Sempat ada hari-hari tertentu ketika suhu terpanas mencapai 40 derajat celsius. Terdapat sepuluh provinsi yang dilanda gelombang panas parah, di antaranya Sichuan, Xinjiang, Henan, Hebei, Jiangsu, dan Anhui.
Enam dari sepuluh provinsi itu merupakan penghasil 48 persen beras di China. Oleh sebab itu, ada kekhawatiran stok pangan menipis. Menteri Pertanian dan Urusan Perdesaan China Tang Renjian di laman resmi lembaganya mengatakan bahwa pemerintah pusat telah memerintahkan pemerintah daerah untuk membuat hujan buatan.
”Tanaman-tanaman produksi juga hendaknya disemprot dengan zat pelapis yang bisa mengurangi kadar penguapan air sampai musim panas berlalu,” tuturnya.
Dilansir dari media CCTV, Sungai Yangtze yang merupakan penghasil listrik terbesar di China menyusut airnya sebanyak 40 persen. Akibatnya, terjadi kelangkaan listrik, padahal masyarakat membutuhkannya untuk menyalakan kipas angin ataupun pendingin ruangan.
Demi menghemat listrik, di Provinsi Sichuan, pemerintah daerah mengeluarkan aturan agar pabrik-pabrik mengurangi produksi. Kota Chengdu, misalnya, merupakan rumah bagi pabrik otomotif Toyota, Tesla, dan Volkswagen (VW). Terdapat pula pabrik batere litium, perusahaan teknologi Foxconn, dan Siemens.
Harian Wall Street Journal menerima keterangan-keterangan pers dari pabrik VW dan Toyota di Chengdu. Kedua rilis itu mengatakan bahwa mereka mengurangi jumlah produksi, tetapi keduanya tidak menyebut jumlah pasti pengurangan tersebut. Humas VW mengatakan, setelah aliran listrik kembali normal, VW akan menambah kapasitas produksi guna menutupi kekurangan sekarang.
Selain industri, sektor ritel juga terdampak. Masih di Sichuan, yakni di kota Chongqing, pemerintah setempat mengeluarkan aturan menutup mal ataupun pusat perbelanjaan selama enam hari. Mal hanya dibuka setiap Senin pukul 16.00-21.00 demi menghemat listrik.
Direktur firma kajian risiko bisnis Everstream Analytics, Mirko Woitzik, memperkirakan, pukulan terhadap rantai pasok akibat gelombang panas ini bisa lebih serius dibandingkan dengan awal pandemi Covid-19.
”Ketika pandemi, banyak pabrik tetap bisa berproduksi maksimal karena mereka menciptakan gelembung karantina. Kalau fenomena alam seperti gelombang panas ini menghantam semuanya karena hampir seluruh provinsi industri di China tergantung dari sumber listrik yang sama,” ujarnya kepada majalah Fortune.