Kita melihat banyak negara berpesta pora dengan sumber energi fosil, seperti batubara. Ada kemalasan beralih ke energi terbarukan, dengan alasan akan membuat daya saing perekonomiannya menurun.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Jika Kompas menurunkan tulisan tentang gelombang panas, atau tahun terpanas, sesungguhnya itu hanya mengonfirmasi yang sudah disampaikan sejak awal abad ini.
Sebuah peringatan yang kita kenang adalah terbitnya buku dari mantan Wakil Presiden Amerika Serikat Al Gore, An Inconvenient Truth: The Planetary Emergency of Global Warming and What We Can Do about It (2006). Sebagian warga Bumi menyadari fenomena yang digemakan Al Gore, walau mungkin baru satu sisi saja, yaitu tentang memanasnya suhu permukaan Bumi. Suhu permukaan Bumi diperkirakan meningkat 1,5 sampai 1,6 derajat celsius sejak era Revolusi Industri. Kenaikan itu diperkirakan tercapai tahun 2040.
Namun, prakiraan terakhir mempercepat kenaikan itu 10 tahun lebih dini, pada 2030. Ada prakiraan yang lebih menyeramkan pula, suhu Bumi akan meningkat 3,2 derajat celsius tahun 2100. Pada kenaikan suhu setinggi itu, sekitar 4 miliar penduduk Bumi akan terpapar kondisi lingkungan yang sangat rentan (Kompas, 31/5/2022).
Jika prediksi itu terdengar seperti ”dibesar-besarkan”, atau waktunya ”masih jauh”, pakar lingkungan justru menegaskan bahwa ”waktu hampir habis”. Dalam berita di harian ini, Selasa (9/8/2022), dengan judul ”Gelombang Panas Akan Menjadi Normal Baru”, makna ”waktu hampir habis” seperti mendapat penekanan baru. Pemanasan global bukan isapan jempol.
Pelbagai gejala alam ekstrem bukan lagi ”sesuatu yang jauh”, tetapi kita sudah harus siap terima setiap saat. Jika kita mendengar kabar bahwa ”2021 adalah tahun terpanas dalam seabad terakhir”, maka kita niscaya akan mendengar berita serupa untuk tahun 2022 bersama ikutannya, seperti cuaca ekstrem, gelombang panas, cuaca tak menentu, dan berbuntut pada aneka bencana meteorologi dan/atau hidrometeorologi.
Mengenali fenomena perubahan cuaca yang cenderung menjadi lebih ekstrem merupakan faktor pertama dari buku Al Gore. Faktor kedua adalah ”apa yang bisa kita lakukan (untuk mencegahnya)”. Jika mengamati sekeliling kita, ada negara yang begitu peduli dengan soal ini, misalnya negara di kawasan Skandinavia. Pada ekstrem lain, kita melihat banyak negara berpesta pora dengan sumber energi fosil, seperti batubara. Ada kemalasan beralih ke energi terbarukan, dengan alasan akan membuat daya saing perekonomiannya menurun.
Kita tentu prihatin dengan hal ini. Panel Antar-pemerintah untuk Perubahan Iklim mencatat komitmen pemerintah di dunia untuk pemangkasan emisi karbon dan berbagai program untuk mengerem laju pemanasan global. Namun, melihat implementasi di lapangan, kita bisa mengatakan, yang dipraktikkan pemerintah di dunia ini ”terlalu sedikit, dan sangat terlambat” (too little, too late).
Seiring dengan hadirnya normal baru dalam suhu permukaan Bumi, yang antara lain ditandai dengan gelombang panas, kita juga menyaksikan kota-kota pesisir mulai sering dilanda rob dan berbagai bencana lain. Masih akankah kita menutup mata dan telinga saat peringatan ”waktu hampir habis” sudah dicanangkan oleh pakar lingkungan?