Tahun 2021 Terpanas Sepanjang Tujuh Tahun Terakhir
Panas yang dirasakan di tahun 2021 ternyata bukan hanya perasaan. Ini adalah tahun terpanas sejak 2015.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
GENEVA, RABU – Periode tahun 2015 hingga 2021 adalah periode terpanas yang dialami Bumi. Perubahan iklim yang akan mengakibatkan krisis kemanusiaan sudah di ambang pintu dan mendesak untuk segera ditangani. Pelaksanaan dekarbonisasi harus segera dicicil baik di negara-negara maju maupun berkembang.
Laporan tersebut dikeluarkan oleh Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) yang merupakan salah satu lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa di Geneva, Swiss, Rabu (19/1/2022). Direktur WMO Petteri Talaas menjelaskan bahwa dari tujuh tahun itu, tahun 2021 merupakan yang terpanas.
“Fenomena hujan besar yang dibawa La Nina tetap tidak bisa menurunkan suhu Bumi,” tuturnya.
La Nina adalah kebalikan dari El Nino. Fenomena hujan La Nina normalnya berlangsung satu kali dalam kurun dua hingga tujuh tahun. Akan tetapi, di tahun 2020 saja terjadi hingga dua kali. Menurut Talaas ini adalah salah satu pertanda pemanasan global yang mengakibatkan penguapan air meningkat hingga memperbanyak curah hujan.
Perhitungan WMO dan enam lembaga kajian lingkungan lainnya menemukan bahwa suhu Bumi di tahun 2021 meningkat 1,1 derajat celcius dibandingkan dengan suhu pada tahun 1850-1900 yang merupakan masa setelah Revolusi Industri. Kesepakatan Paris tahun 2015 yang membahas mengenai isu perubahan iklim menetapkan bahwa batas maksimal kenaikan suhu Bumi dibandingkan dengan periode praindustrialisasi adalah 1,5 derajat celcius.
Apabila suhu naik di atas ambang batas tersebut, akan terjadi perubahan iklim yang tidak bisa diperbaiki. Gletser dan katup-katup es akan meleleh dan membanjiri daratan. Di saat yang sama, kenaikan suhu juga memicu kekeringan parah. Diperkirakan, 255 juta warga Bumi akan terdampak langsung dan menjadi migran akibat krisis iklim.
Sementara itu, Direktur Lembaga Layanan Perubahan Iklim Copernicus (C3), sebuah lembaga kajian iklim milik Uni Eropa, Carlo Buontempo mengatakan bahwa kadar karbondioksida (CO2) di atmosfer adalah 414,3 bagian per 1 juta. Pada tahun 2020, ketika pandemi Covid-19 berawal, emisi sempat menurun. Akan tetapi, di tahun 2021 meningkat sebesar 4,9 persen setelah ekonomi kembali menggeliat.
“Suhu di Eropa menjadi tidak bisa ditebak. Maret 2021 suhunya panas sekali, tapi bulan April justru dingin. Di beberapa wilayah seperti Perancis dan Hongaria terjadi gagal panen sejumlah komoditas pertanian,” kata Buontempo.
Wilayah Eropa Selatan atau Mediterania suhunya mencapai 48,8 derajat celcius pada periode Juli-Agustus 2021. Bahkan, di Kanada, ada wilayah yang mencapai 50 derajat celcius. Kebakaran hutan dan lahan melanda Mediterania dan Amerika Utara akibat gelombang panas. Sebaliknya, di Eropa Barat dan China justru diterjang banjir.
Krisis pangan
Infografik AFP Krisis Pangan di Wilayah Sahel Afrika
Di negara-negara miskin dan berkembang, perubahan iklim benar-benar langsung mengancam keberlangsungan hidup. Risiko tenggelam akibat naiknya permukaan air laut, banjir, dan kemarau berkepanjangan langsung berdampak pada kehidupan sehari-hari. Salah satunya ialah di Liberia, sebuah negara di bagian barat Benua Afrika.
“Penduduk negeri ini sudah mendekati situasi krisis pangan karena 80 persen warga Liberia adalah petani subsisten (bertani hanya demi memenuhi kebutuhan sehari-hari) dan 70 persen lapangan pekerjaan ada di sektor pertanian,” kata Jerome Nyenka, Guru Besar Pertanian dan Kehutanan Universitas Liberia kepada media Front Page Africa.
Ia menerangkan, musim hujan dan kemarau semakin tidak bisa diperkirakan jadwalnya. Akibatnya, petani tidak bisa menentukan masa tanam mereka. Kadar hujan dan panas yang tidak seimbang juga mengacaukan panen dan hal ini sudah terlihat akibatnya di industri pertanian kakao yang merupakan salah satu komoditas unggulan Liberia.
“Jangankan bisa dijual, hasil tani ini pun tidak cukup untuk memberi makan keluarga si petani,” tutur Nyenka.
Salah satu petani yang terdampak krisis iklim ialah Muso Sumo. Menurut dia, sinar matahari terlalu terik sehingga membunuh tanaman walaupun sudah rutin disiram. Padi, jagung, dan labu yang ia tanam semua gagal dipanen. (AFP/Reuters)