Cerita Korban TPPO di Kamboja: Saya Dipaksa Jadi Operator Penipuan Daring Menarget WNI
Menlu Retno LP Marsudi bertemu dengan 62 korban TPPO di Kamboja. Mereka mengungkapkan liku-liku penipuan yang dialami. Penegakan hukum di Kamboja dan di dalam negeri terhadap semua anggota sindikat harus dijalankan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR, DARI PHNOM PENH, KAMBOJA
·5 menit baca
PHNOM PENH, KOMPAS — Sebanyak 62 warga negara Indonesia korban tindak pidana perdagangan orang atau TPPO di Kamboja mulai mengikuti proses wawancara dan penanganan kasus mereka. Pemerintah Indonesia juga terus berkoordinasi dengan Pemerintah Kamboja guna memastikan penegakan hukum berjalan.
Keseluruhan dari 62 WNI itu saat ini berada dalam fasilitas penampungan milik Kedutaan Besar RI di Phnom Penh. Pada Selasa (2/8/2022) turut masuk 27 kasus aduan TPPO baru yang masih diproses oleh KBRI dan Kementerian Luar Negeri.
”Saya akan bertemu dengan menteri dalam negeri Kamboja karena keimigrasian merupakan wewenang mereka,” kata Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi setelah bertemu dengan para korban TPPO.
Retno didampingi Direktur Perlindungan WNI Kemenlu Judha Nugraha, Duta Besar RI untuk Kamboja Sudirman Haseng, dan Kepala Badan Pemelihara Keamanan Polri Komisaris Jenderal Polisi Arief Sulistyanto. Mereka mendengarkan pengakuan para korban, mulai dari modus yang dipakai untuk merekrut mereka di Tanah Air hingga perlakuan terhadap mereka ketika dipaksa bekerja di Kamboja.
Kepada mereka, salah seorang korban TPPO itu mengungkapkan, dirinya dipaksa bekerja dari pukul 08.00 hingga 01.00 dini hari. Bukannya menjadi perancang sistem komputer perusahaan, seperti yang dijanjikan, melainkan menjadi operator skema penipuan daring dengan target WNI di Tanah Air.
”Mohon agar semua barang bukti, seperti percakapan di media sosial, foto, dan video, diserahkan kepada kami agar polisi bisa menindak di Indonesia ataupun di Kamboja,” kata Arief.
Dalam audiensi tersebut, mayoritas korban TPPO yang hadir adalah mereka yang diselamatkan dari sebuah perusahaan penipuan daring di Sihanoukville, kota sejauh 4 jam perjalanan dengan mobil dari Phnom Penh. Selain itu, juga ada korban TPPO yang berhasil melarikan diri antara lain dari kota Bavet dan Phnom Penh. Berhubung masih dalam proses pembuatan berita acara, identitas mereka tidak boleh disebarluaskan.
Retno menjelaskan, Kemenlu tengah merunut ulang setiap kasus yang diadukan oleh para korban. Dari sana, akan dilihat unsur-unsur yang memenuhi indikator TPPO. Apabila bukti-bukti telah lengkap, Kemenlu menyerahkannya kepada Polri yang bekerja sama dengan kepolisian nasional Kamboja. Selasa kemarin, Retno juga bertemu dengan Kepala Kepolisian Nasional Kamboja Jenderal Neth Savouen, di Phnom Penh.
Cerita korban
Para korban ini berusia 20-an tahun hingga 30-an tahun. Mayoritas mereka tamat SMA, dan sisanya tamat sarjana perguruan tinggi, termasuk dari beberapa perguruan tinggi negeri. Mereka memiliki kecakapan teknologi. Misalnya, ada yang memiliki latar belakang sarjana ilmu komputer, sarjana teknik industri, dan sarjana ekonomi.
Mereka diiming-imingi pekerjaan, antara lain, berupa staf keuangan, staf administrasi perkantoran, pakar teknologi perusahaan, dan penyelia layanan konsumen. Berkat pesatnya investasi dan industrialisasi di Kamboja, sejumlah perusahaan e-dagang dan investasi daring bermunculan. Gaji yang ditawarkan berkisar 1.000 dollar AS hingga 1.500 dollar AS per bulan dengan janji gaya hidup dan bekerja laksana kaum nomaden digital.
Korban A dari Jakarta, misalnya, memiliki pengalaman kerja sebagai kepala cabang layanan perbaikan salah satu merek komputer terkemuka. Ia tertarik bekerja di Kamboja dengan iming-iming gaji 1.500 dollar AS per bulan. ”Saya terbayang bisa bekerja dengan modal laptop di Kamboja sebagai digital nomad. Lalu, nanti sambil bekerja juga sambil lihat-lihat potensi lain yang bisa dikembangkan di sini,” ujarnya.
A melihat mengenai lowongan pekerjaan itu di sebuah grup di Facebook. Ia pun mengontak individu yang mengaku sebagai petugas sumber daya manusia untuk perusahaan tersebut. Hanya butuh dua pekan bagi A untuk mengurus paspor dan tiket keberangkatan. Beberapa orang yang berangkat bersama dengannya umumnya hanya butuh tiga hari untuk mengurus segala jenis berkas.
”Saya sempat meminta kontrak kerja dan surat undangan dari perusahaan di Kamboja, tetapi staf SDM ini bilang ’Enggak usah khawatir, Bro’. Nanti semua diurus kalau sudah tiba di sana’,” kata A mengingat pembicaraan dia dengan perekrutnya.
Ia masih optimistis karena perusahaan membayar seluruh biaya perjalanannya ke Kamboja. Menurut dia, tidak mungkin perusahaan abal-abal mau mengeluarkan jutaan rupiah. Apalagi, A sama sekali tidak diminta untuk membayar biaya apa pun. Bahkan, setiba di bandara Phnom Penh, ia dan teman-teman tidak dibawa melewati gerbang imigrasi. Mereka langsung diminta naik mobil dan keluar melalui pintu yang berbeda dari penumpang lain.
’
A baru menyadari ada yang tidak beres ketika tiba di Sihanoukville pada malam harinya. Perusahaan itu terdiri atas beberapa gedung bertingkat di dalam satu kompleks berpagar. Di depan gerbang, agen perekrut itu turun dan melakukan transaksi bisnis dengan seseorang dari dalam perusahaan.
”Kami semua menyaksikan dari dalam mobil dan langsung berkomentar kok seperti ada jual beli yang terjadi. Setelah itu, kami langsung dibawa masuk gedung dan selama dua bulan tidak pernah keluar lagi,” kata A.
Ia menuturkan, mereka bekerja dari pukul 08.00 hingga 01.00 dini hari. Bukannya menjadi perancang sistem komputer perusahaan, A disuruh menjadi operator skema penipuan daring dengan target WNI di Tanah Air. Selain di bawah tekanan kekerasan fisik dan verbal, pekerja yang melawan ataupun tidak memenuhi target berisiko ”dijual” ke perusahaan lain. Ini berarti mereka dipindah ke perusahaan, bahkan di kota lain, secara mendadak dan tanpa persetujuan yang bersangkutan.
A menuturkan, di dalam perusahaan itu ada sekitar 100 WNI. A dan divisinya kompak berusaha mengontak KBRI, keluarga di Indonesia, dan memviralkan situasi mereka di media sosial. Pekan lalu, akhirnya kepolisian Kamboja datang menjemput mereka. Hingga kini, baru satu divisi yang bisa dievakuasi. Menurut A, masih ada lima divisi lagi di perusahaan itu.