Jelang Musim Dingin, Para Pemimpin Eropa Berguguran
Menjelang musim dingin, satu per satu pemimpin Eropa berguguran. Tanpa solusi atas krisis energi berikut komplikasinya, cerita tumbangnya Boris Johnson dan Mario Draghi bukannya tidak mungkin akan memiliki efek domino.
Satu per satu pemimpin Eropa tumbang. Setelah Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, kini giliran Perdana Menteri Italia Mario Draghi yang mundur. Sementara di Kremlin, Presiden Rusia Vladimir Putin belum tergoyahkan.
Draghi mundur sebagai perdana menteri Italia pada Kamis (21/7/2022). Langkah politik ini dilakukan sehari setelah tiga partai politik dari koalisi pemerintah memboikot pengajuan mosi percaya pada pemerintahan Draghi. Ketiga partai itu adalah Partai Liga pimpinan Matteo Salvini, Partai Forza Italia milik Silvio Berlusconi, dan Partai Gerakan Bintang Lima pimpinan Giuseppe Conte.
Sepekan sebelumnya, Draghi telah mengajukan surat permohonan pengunduran diri kepada Presiden Italia Sergio Mattarella. Namun saat itu, permohonan ditolak Mattarella. Baru pada kesempatan kedua, permohonan dikabulkan.
Mundurnya Draghi kemungkinan akan memengaruhi kebijakan luar negeri Italia pada perang Rusia-Ukraina.
Pengunduran diri Draghi terjadi saat tekanan ekonomi melanda Italia. Merujuk Financial Times, inflasi pada Juni mencapai 8 persen, tertinggi sejak 1986. Imbal hasil surat utang negara juga melompat 0,27 basis poin menjadi 3,7 persen.
Mundurnya Draghi kemungkinan akan memengaruhi kebijakan luar negeri Italia pada perang Rusia-Ukraina. Masih mengutip Financial Times, Draghi konsisten bersikap keras dan tak mengenal kompromsi terhadap Moskwa selama menjadi perdana menteri. Dia juga menjadi salah satu arsitek sanksi-sanksi keras terhadap Rusia.
Sementara Berlusconi, mantan perdana menteri Italia, disebut-sebut memiliki hubungan personal yang dekat dengan Putin. Adapun Salvini dikenal sebagai pengagum Putin.
Sekitar dua pekan sebelumnya, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson sudah lebih dulu tumbang. Ia mengumumkan pengunduran dirinya pada Kamis (7/7/2022).
Langkah ini Johnson lakukan setelah sejumlah menteri mundur dan sekitar 50 anggota senior parlemen menarik dukungan. Ia juga menyatakan mundur sebagai Ketua Partai Konservatif tetapi akan tetap menjabat sebagai perdana menteri hingga pemimpin baru terpilih.
Baca juga : PM Inggris Boris Johnson Mundur
Adalah kasus skandal etik di seputar kepemimpinan yang selama ini merongrong Johnson. Di antaranya adalah skandal pesta ulang tahun di kantor perdana menteri Inggris di Downing Street Nomor 10, London, Mei 2020. Skandal yang sering disebut sebagai Partygate itu berupa pelanggaran protokol kesehatan di masa pandemi Covid-19. Penyidikan kepolisian telah mengonfirmasi pelanggaran tersebut.
Sebagaimana Draghi di Italia, pengunduran diri Johnson sebagai perdana menteri Inggris pun terjadi saat ekonomi Inggris mengalami tekanan. Inflasi Juni mencapai 9,4 persen setelah Mei mencatatkan 9,1 persen. Seperti negara-negara Eropa lainnya, Inggris juga mengalami kenaikan harga minyak.
Presiden Amerika Serikat Joe Biden saat kunjungannya ke Polandia, Maret 2022, sempat menyebutkan bahwa Putin tidak boleh terus berada di kekuasaan. Pernyataan terbuka yang dipersepsikan bahwa Washington ingin merubah rezim di Rusia tersebut menjadi topik hangat di berbagai media. Salah satunya penyebabnya adalah karena secara etika diplomasi antarnegara, pernyataan itu dianggap tidak pas.
Beberapa hari kemudian, Biden menolak anggapan itu. Saat ditanya wartawan apakah yang dimaksud Biden adalah merubah rezim di Rusia, ia hanya menjawab singkat, ”tidak”. Sejumlah pejabat di pemerintahan Biden pun juga memberikan klarifikasi.
Baca juga : Parodi Arab dan Redupnya Washington
Namun diakui atau tidak, mimpi para pemimpin Barat agar Putin segera lengser sulit ditepis. Salah satu alasan adalah bahwa ”tidak mudah berurusan” dengan Putin.
Sebagaimana dideskripsikan pakar Hubungan Internasional dari Universitas Chicago, John Mearsheimer, Putin adalah ahli strategi yang ulung. Hal ini didukung pula dengan penguasaan mendalam pria yang 16 tahun berkarir di dinas intelijen Uni Soviet itu terhadap berbagai isu strategis.
Dalam banyak forum dan dialog selama ini, pernyataan Putin menunjukkan penguasaan berbagai isu strategis secara komprehensif. Tidak hanya meyangkut aspek mikro maupun makro, tetapi juga menyangkut kondisi teknis di lapangan dan aspek sejarahnya pula.
Sanksi ekonomi terhadap Rusia, langsung atau tidak langsung, sejatinya diharapkan bisa melengserkan Putin. Secara normatif, Barat menempatkan sanksi ekonomi terhadap Rusia sebagai instrumen yang akan menekan Kremlin untuk menghentikan serangan ke Ukraina. Ini bisa terjadi melalui dua jalur.
Pertama, sanksi efektif menggembosi kekuatan ekonomi Rusia untuk membiayai perang. Harapannya, Rusia pada satu titik akan terpaksa menghentikan ”operasi militer khususnya” di Ukraina.
Baca juga : Sanksi untuk Rusia : Dari Kucing Sampai Tchaikovsky
Kedua, sanski akan menekan ekonomi Rusia sehingga rakyat akhirnya berunjuk-rasa menuntut Putin lengser. Perubahan rezim diharapkan membawa kebijakan baru, yakni menghentikan serangan ke Ukraina.
Saat ini, Rusia menjadi negara dengan sanksi terbanyak di dunia. Sampai denmgan Maret saja, akumulasi sanksi terhadap Rusia telah menyasar 5.532 target. Sejak Maret hingga akhir Juli ini, Barat telah membombardir Rusia dengan sejumlah sanksi baru lagi.
Namun logika Barat itu ternyata tidak jalan, setidaknya sampai dengan akhir Juli ini. Sanksi ternyata tidak menggembosi daya Rusia dalam menjalankan ”operasi militer khusus” di Ukraina, baik lewat jalur 1 atau 2.
Benar bahwa sanksi Barat telah menggoyahkan ekonomi Rusia. Sejumlah investor asing misalnya, telah hengkang dari Rusia. Berbagai akses ekonomi dan keuangan Rusia yang diputus dari jejaring global juga berdampak besar bagi ekonomi negara itu.
Akan tetapi, Rusia melakukan sejumlah langkah untuk menyerap tekanan sanksi Barat tersebut. Rusia juga memukul balik Barat dengan strategi energinya. Dan ini tampaknya justru memukul lebih telak ekonomi negara-negara Barat.
Baca juga : Pemandangan Kontras Eropa dan Rusia di Tengah Cekikan Krisis Energi
Perusahaan gas Rusia, Gazprom, mengurangi pengiriman gas ke Eropa hingga 60 persen pada Juni. Dampaknya sangat masif karena Eropa mengimpor 40 persen gas alam dari Rusia atau setara dengan 55 miliar kubik per tahun melalui pipa Nord Stream 1.
Langkah ini memicu krisis energi di Benua Biru yang berkomplikasi ke berbagai kegiatan ekonomi. Dalam jangka pendek, negara-negara di Eropa menghadapi ketidakpastian stok bahan bakar untuk musim dingin. Pasokan terbesar gas yang menggerakkan listrik Eropa berasal dari Rusia.
Harga bahan pangan pun meningkat. Sementara nilai tukar mata uang euro terdepresiasi dalam. Untuk pertama kalinya, nilai tukar euro lebih rendah ketimbang dollar AS.
Krisis energi sudah pasti akan berkomplikasi pada krisis ekonomi. Tanpa solusi dalam beberapa bulan ke depan, Eropa rawan menghadapi gejolak sosial. Situasi ini bisa memicu perubahan rezim politik di negara-negara Eropa maupun AS.
Sementara Putin justru semakin mantap dalam politik domestiknya. Mengutip Statista, tingkat penerimaan masyarakat Rusia terhadap Putin mencapai 80 persen pada Juni 2022 alias sangat tinggi. Perang Rusia-Ukraina justru semakin menggiring rakyat Rusia berdiri di belakang Putin.
Baca juga : Embargo Minyak Rusia Mengancam Ketahanan Energi Eropa
Bandingkan dengan tingkat penerimaan Biden. Radio nasional AS, NPR, melaporkan, tingkat penerimaan Biden pada Juli 2022 menyentuh level terendah sejak polisi Demokrat itu menjadi penghuni Gedung Putih pada awal 2021.
Berdasarkan jajak pendapat yang digelar atas Kerjasama NPR, PBS NewsHour, dan Marist, tingkat penerimaan Biden per Juli hanya 36 persen. Dibanding Juni, levelnya merosot 4 basis poin. Pada Januari 2021 saat baru saja dilantik menjadi presiden AS, levelnya 57 persen dan terus merosot sejak saat itu.
Apakah Putin akan tetap berjaya dan para pemimpin Barat akan berjatuhan? Atau pada saatnya nanti angin akan berbalik arah sehingga Putin tumbang dan para pemimpin Barat yang berjaya.
Hal yang pasti, para pemimpin politik akan datang dan pergi. Semua ada masanya. Namun kerusakan jejaring ekonomi Eropa akibat perang ekonomi-politik antara Barat dan Rusia diperkirakan berlangsung lama.
Para pemimpin politik akan datang dan pergi. Semua ada masanya.
Butuh waktu bertahun-tahun atau bahkan berpuluh-puluh tahun bagi Eropa untuk memulihkan diri, termasuk memeluk Rusia sebagai bagian yang integral dari Benua Biru. Kini, Benua Biru sedang menuju musim dingin.