Pemberlakuan larangan impor minyak bumi dari Rusia oleh Uni Eropa berpotensi berimbas negatif bagi kedua belah pihak. Penurunan permintaan produk minyak dan gas bumi dari Rusia memiliki efek kejut bagi ketahanan energi di kawasan Eropa.
Berdasarkan data dari resourcetrade.earthpada 2015-2020, kebutuhan impor minyak bumi di Uni Eropa yang berasal dari sejumlah negara rata-rata berkisar 990 juta ton oil equivalen (toe) per tahun. Dari seluruh produk minyak impor itu sekitar 236 juta toe atau 24 persennya didatangkan dari Rusia. Impor minyak bumi oleh Uni Eropa ini setiap tahunnya membutuhkan dana sekitar 431 juta dollar AS. Ini artinya, ada sekitar 93 juta dollar AS yang dibayarkan Uni Eropa kepada Rusia setiap tahun sebagai imbal jasa atas transaksi komoditas minyaknya.
Demikian pula dengan gas bumi. Setiap tahun Uni Eropa mendatangkan produk impor energi fosil jenis ini sekitar 453 juta toe dari sejumlah negara di dunia. Salah satunya berasal juga dari Rusia yang mengirimkan 68 juta toe gas buminya ke kawasan Eropa.
Total nilai ekonomi yang harus dibayarkan Uni Eropa dari perdagangan impor gas bumi ini kepada Rusia rata-rata 19 miliar dollar AS per tahun. Besaran nilai impor ini setara 15 persen dari seluruh impor gas bumi Uni Eropa.
Apabila dikalkulasi secara total, ketergantungan Uni Eropa terhadap komoditas minyak dan gas dari Rusia rata-rata sebesar 20 persen dari kebutuhan per tahun. Transaksi komoditas migas tersebut tentu saja mendatangkan manfaat bagi kedua belah pihak.

Bagi Uni Eropa, suplai migas dari Rusia dan negara-negara lainnya dapat meningkatkan ketahanan energi di kawasan Eropa. Kebutuhan energi fosil berupa produk migas dapat tersedia sehingga dapat dikonsumsi oleh seluruh warga masyarakat. Dengan stok energi yang cukup, maka perekonomian nasional relatif dapat terkendali secara baik.
Di sisi lainnya, dengan ekspor migas ini, cadangan devisa yang diperoleh Rusia dari perdagangan migas dapat bertonasi surplus. Artinya, sumber daya migas yang berlimpah di Rusia memberikan manfaat yang dapat menambah kekayaan negara. Apalagi, Rusia sebagai salah satu negara yang masuk dalam kategori produsen minyak terbesar di dunia perlu untuk terus secara teratur memasok surplus migasnya ke sejumlah negara importir.
Hubungan Rusia dan Uni Eropa di sektor energi fosil tersebut sejatinya adalah simbiosis mutualisme. Kawasan Eropa menjadi terjaga ketahanan energinya karena selain mendapat pasokan energi fosil dari sejumlah negara juga mendapat pasokan dari Rusia. Ketersediaan energi fosil dari migas ini sangatlah penting karena kawasan Eropa memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap energi tersebut.
Berdasarkan data dari IEA, pada kurun 1990-2019, konsumsi energi secara total di kawasan Eropa sebagian besar masih berasal dari migas, rata-rata mencapai kisaran 63 persen setahun. Dari kedua jenis energi fosil ini, produk energi dari minyak bumi merupakan yang terbesar konsumsinya karena rata-rata mencapai kisaran 41 persen, sedangkan yang berasal dari gas alam sekitar 22 persen.
Tinggginya ketergantungan pada sumber energi fosil tersebut menyebabkan negara-negara produsen migas menjadi sangat dibutuhkan jalinan kerja samanya dengan kawasan Eropa. Rusia sebagai salah satu produsen migas terbesar di dunia juga sangat diuntungkan dengan permintaan yang sangat tinggi oleh negara-negara Uni Eropa.

Dari seluruh komoditas migas Rusia yang diekspor ke luar negeri, serapan di kawasan Eropa mencapai 304 juta toe atau sekitar 61 persen. Permintaan yang tinggi dari Uni Eropa ini membuat kawasan ini sangat strategis sebagai mitra bisnis Rusia. Pasalnya, transaksi dagang dengan Eropa ini memberikan andil pendapatan 56 persen dari seluruh ekspor migas Rusia.
Merugikan
Namun, seiring ketegangan di Eropa akibat invasi Rusia ke Ukraina, simbiosis perdagangan tersebut sedikit merenggang. Pada akhir Mei 2022, para pemimpin Uni Eropa bersepakat untuk memberlakukan larangan impor minyak dari Rusia sebagai bentuk kebijakan untuk menghentikan serangan Rusia terhadap Ukraina. Para pemimpin negara-negara kawasan
Eropa itu sepakat untuk melarang pasokan 75 persen minyak bumi dari Rusia dan akan ditingkatkan hingga 90 persen pada akhir 2022.
Para pemimpin Uni Eropa beranggapan kebijakan ini akan lebih merugikan Rusia daripada Uni Eropa. Tujuannya agar Rusia segera mengakhiri invasinya ke Ukraina. Proyeksi demikian kemungkinan memang ada benarnya. Hanya saja, kebijakan ini juga memiliki dampak besar bagi Eropa. Uni Eropa perlu menggalang kerja sama dengan negara produsen migas lainnya agar tidak terjadi kelangkaan energi fosil di kawasan Eropa. Apabila hal ini tidak terwujud, maka embargo impor minyak yang diterapkan justru akan berimbas negatif bagi Uni Eropa. Selain itu, juga akan memberikan tekanan terhadap ekonomi global karena harga minyak akan terus merangkak naik dan sulit dikendalikan.

Baca juga: Energi, Kekuatan Politik Internasional Rusia
Kondisi global yang bergejolak akibat lonjakan harga minyak dunia justru akan memberi keuntungan bagi pihak Rusia untuk melakukan penawaran penjualan harga minyak dengan harga yang lebih murah. Hal ini akan sangat mungkin terjadi apabila permintaan minyak bumi Rusia menurun akibat embargo itu, sedangkan produksinya relatif stabil sehingga terjadi over supply.
Apabila kapasitas tangki penampungnya sudah terisi semua, maka Rusia kemungkinan besar akan melakukan diskon besar-besaran agar komoditas migasnya terserap pasar. Jika banyak negara tertarik untuk membeli minyak berharga murah dari Rusia itu, maka tujuan untuk meredam aksi invasi Rusia ke Ukraina menjadi kurang efektif.
Rusia tetap menemukan jalan keluar untuk menjual komoditas utama yang dibutuhkan oleh banyak negara lainnya. Artinya, Rusia tetap memiliki pemasukan untuk membiayai invasi militer tersebut.
Untuk mencapai tujuan embargo sebagai sarana menghentikan perang, Uni Eropa perlu bekerja sama dengan sejumlah negara produsen migas terbesar di dunia. Selain untuk menggalang simpati global untuk ”menekan” kebijakan Rusia atas invasinya ke Ukraina, kerja sama tersebut juga bertujuan untuk menambah jalur pasokan energi fosil di luar Rusia.
Strategi taktisnya, Uni Eropa harus segera mendapat kepastikan pasokan energi fosil dari negara-negara produsen dan eksportir migas terbesar di dunia seperti Amerika Serikat, Arab Saudi, dan negara-negara Timur Tengah lainnya. Dapat pula menjajaki peningkatan kerja sama energi dengan Kanada dan juga negara-negara di wilayah Afrika Barat.
Dengan mendapat pasokan migas dari negara-negara produsen tersebut, maka peluang gejolak ekonomi akibat pelarangan impor energi fosil dari Rusia dapat diminimalkan. Harga sektor energi dapat dikendalikan sehingga kondisi perekonomian global kondusif. Dengan situasi ini, harga energi global akan cenderung stabil.
Stabilitas harga energi ini dapat menjadi semacam sarana untuk ”melunakkan” Rusia yang memiliki soft power di bidang energi fosil. Kekayaan alam berupa minyak dan gas bumi yang sebelumnya digunakan sebagai sarana kekuatan geopolitik dalam menginvasi Ukraina menjadi kurang bertaji lagi.
Dunia terus menanti berakhirnya konflik Rusia-Ukraina dan sejumlah konflik lainnya di belahan dunia. Perang tidak hanya meninggalkan derita bagi korban dan para pengungsi, tetapi juga gejolak harga komoditas dunia. Pulihnya perekonomian dunia akibat dampak pandemi Covid-19 membutuhkan fondasi stabilitas politik dunia.
Kebijakan Uni Eropa untuk meredam invasi Rusia dengan jalan menerapkan embargo impor migas menjadi salah satu cara mengakhiri konflik. Namun, kepastian perdamaian itu juga masih memerlukan dukungan berbagai eleman bangsa di seluruh dunia beserta organisasi multinasional.
Selain dukungan untuk menjaga stabilitas pasokan dan harga minyak dunia, kontribusi lain untuk menyuplai persenjataan dan juga finansial bagi militer Ukraina sebaiknya ditinjau ulang. Dukungan senjata akan membuat Rusia semakin agresif menginvasi Ukraina. Semakin lama tempo peperangan akan sangat merugikan bagi masyarakat Ukraina itu sendiri. Banyak korban jiwa berjatuhan dan infrastruktur yang hancur sehingga membutuhkan waktu dan modal besar untuk kembali membangkitkan kemajuan perekonomian. (LITBANG KOMPAS)