Parodi Arab dan Redupnya Washington
Belum lama ini, jaringan televisi Pemerintah Arab Saudi berani membuat dan menyiarkan video parodi Presiden Amerika Serikat Joe Biden. Ini hanya lelucon belaka atau sesuatu yang lebih serius sedang terjadi?

President Amerika Serikat (AS) Joe Biden dan Wakil Presiden AS Kamala Harris menghadiri acara tentang Undang-Undang Perawatan Terjangkau dan Medicaid di Ruang Timur Gedung Putih di Washington DC, AS, 5 April 2022. (Photo by MANDEL NGAN / AFP)
Belum lama ini, jaringan televisi Pemerintah Arab Saudi memproduksi dan menyiarkan video parodi Presiden Amerika Serikat Joe Biden. Di tengah arus transisi dunia unipolar ke multipolar, kejadian ini menandai fenomena semakin banyaknya negara yang berani mengambil jarak dengan Washington. Perang Rusia-Ukraina jadi etalasenya.
Studio 22, jaringan stasiun televisi Pemerintah Arab Saudi, menyiarkan komedi sketsa atau parodi tentang Presiden Amerika Serikat Joe Biden. Konten video berdurasi 1 menit 8 detik yang diunggah per 11 April di Youtube dan Twitter itu sontak menjadi viral dan membuat heboh jagat internet, terutama masyarakat Amerika Serikat.
Video pendek itu menampilkan dua karakter, Joe Biden dan Wakil Presiden Amerika Serikat (AS) Kamala Harris. Keduanya digambarkan tengah memberikan keterangan pers di salah satu ruangan di Gedung Putih, Washington DC, AS.
Sampai dengan Jumat (6/5/2022), video yang diunggah di akun MBC 1 pada Youtube itu telah dilihat lebih dari 764.000 kali. Video ini juga diamplifikasi berbagai media di sejumlah negara.
Kedua karakter dimainkan oleh dua pemeran laki-laki. Dalam video, Biden digambarkan sebagai sosok pelupa dan beberapa kali tertidur di tengah-tengah konferensi pers. ”Biden” juga beberapa kali salah ucap. ”Harris” yang berdiri di sampingnya, beberapa kali membangunkan, mengingatkan, atau membisikkan koreksi kepada Biden.
Parodi itu tak lepas dari pemberitaan sejumlah media massa di AS yang sejak April makin intens mempertanyakan kemampuan fisik Biden yang berusia 79 tahun dalam memimpin AS. Ini berangkat dari beberapa kejadian di mana politisi dari Partai Demokrat itu dianggap salah ucap, lupa, atau kehilangan orientasi. Ini terutama dilakukan media-media yang berafiliasi dengan kelompok-kelompok opisisi di AS.
Sampai dengan Jumat (6/5/2022), video yang diunggah di akun MBC 1 pada Youtube itu telah dilihat lebih dari 764.000 kali. Video ini juga diamplifikasi berbagai media di sejumlah negara. Sebut saja misalnya AFP, Hindustan Times, dan Sky News Australia. Unggahan konten oleh setiap saluran pada akun Youtube juga sudah disaksikan ratusan ribu kali. Sejumlah media juga menurunkan artikel soal parodi itu, seperti Daily Mail dan Arab News.
Sejumlah saluran media di AS juga tak ketinggalan menyiarkan ulang komedi sketsa tersebut sekaligus mengulasnya dalam beberapa perspektif. Fox News, misalnya. Saluran media kelompok konservatif itu mengulas sekaligus menayangkan ulang video parodi Biden pada 13 April. Program ini juga diunggah pada akun Fox News di Youtube. Sampai dengan Jumat, konten tersebut sudah dilihat lebih dari 1,99 juta kali.
Berbagai komentar sarkastik dan lucu dari warganet pun bermunculan. Akun atas nama Godfred Sumabe, misalnya, mengatakan, ”Sandiwara ini sangat berharga. Jika ini ditayangkan Netflix, pasti akan jadi blockbuster.”
Sandiwara ini sangat berharga. Jika ini ditayangkan Netflix, pasti akan jadi blockbuster.
Sementara akun atas nama Based Kaiser mengatakan, ”Kita hidup di era ketika parodi buatan Arab lebih lucu ketimbang seluruh parodi yang dibuat SNL selama 10 tahun terakhir. Dunia macam apa ini.”
SNL adalah kependekan dari Satudary Night Live, program televisi di AS yang menyuguhkan komedi sketsa atau parodi tentang berbagai tema dengan karakter para pesohor AS dan dunia. Pemeran utamanya biasanya artis Hollywood. Biden termasuk karakter yang pernah beberapa kali diparodikan dalam program itu. Demikian pula dengan Donald Trump, Barrack Obama, dan Vladimir Putin.

Presiden Perancis Emmanuel Macron (kiri) menyambut Perdana Menteri India Narendra Modi sebelum pertemuan bilateral kedua pemimpin di Istana Elysee di Paris, Perancis, 4 Mei 2022. Di tengah krisis Ukraina, India muncul sebagai salah satu pemain penting dalam politik internasional. (Photo by STEPHANE DE SAKUTIN / AFP)
Komedi sketsa Biden yang diproduksi Studio 22 hanya lelucon berdurasi 1 menit 8 detik. Namun barangkali hiburan itu bisa dibaca sebagai fenomena ketika semakin banyak negara mulai berani mengambil jarak terhadap dominasi AS.
Hari-hari ini, makin banyak negara berani menyatakan untuk tidak selalu sejalan dengan kebijakan Washington. Bahkan lebih dari itu, sejumlah negara terang-terangan mengambil posisi berseberangan dengan Washington.
Baca juga : Modi Safari Politik ke Eropa
Studio 22 merupakan jaringan Middle East Broadcasting Center (MBC), stasiun televisi milik Pemerintah Arab Saudi. Konten itu diluncurkan di tengah memburuknya relasi AS dan Arab Saudi, dua negara yang dulu dikenal berhubungan dekat.
Sebelum komedi sketsa itu diunggah, Pemerintah Kerajaan Arab Saudi menolak menambah kuota produksi minyak mentah sebagaimana permintaan Biden. Pada lain kesempatan, Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi Mohammed bin Salman bahkan terang-terangan menolak mengangkat telepon dari Biden.
Baca juga : Arab Saudi dan Uni Emirat Arab Berani Lawan AS
India punya posisi yang lebih kurang serupa. Selama perang Rusia-Ukraina, India lebih banyak tidak sejalan dengan AS. Berkaca dari pilihan pada sejumlah pemungutan resolusi PBB, India cenderung lebih dekat dengan Rusia ketimbang AS. India bahkan tetap konsisten melanjutkan pembelian minyak mentah dari Rusia di saat AS meminta negara-negara dunia mengisolasi Rusia.
Posisi Arab Saudi dan India juga terefleksi pada kebijakan luar negeri berbagai negara pada krisis Ukraina. Banyak negara menjadi lebih pragmatis dalam kebijakan luar negerinya. Krisis Ukraina menjadi etalase di mana banyak negara mengambil jarak tertentu dengan gradasinya masing-masing terhadap kebijakan AS.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan (kiri) dan Putera Mahkota Kerajaan Arab Saudi Mohammed bin Salman mengadakan pertemuan bilateral di Jeddah, Arab Saudi, 28 April 2022. Kunjungan Erdogan ke Arab Saudi itu untuk memperbaiki hubungan dua negara yang sempat panas menyusul kasus pembunuhan kolumnis Washington Post, Jamal Khashoggi. (Turkish Presidency via AP)
The Economist per 12 Maret 2022 menurunkan artikel berjudul, ”Why Russia Wins Some Sympathy in Africa and The Middle East”. Disebutkan bahwa banyak negara di Afrika dan Timur Tengah cenderung berpihak kepada Rusia ketimbang AS dengan alasannya masing-masing, mulai dari pragmatisme hingga relasi dengan Rusia di sejumlah bidang yang sudah terjalin selama bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun.
Foreign Policy per 30 Maret 2022 menurunkan laporan berjudul, ”The West is With Ukraine. The Rest, Not So Much”. Dalam laporan itu disebutkan, hanya Barat serta sekutu militer di Asia barat dan timur yang satu kubu dengan AS untuk mengisolasi Rusia. Sementara sebagian besar dunia tidak tertarik bergabung dengan kampanye AS.
Baca juga : Bob Dylan dan Jagat Anarki
Dalam laporan itu, sarjana senior di Institut Negara-negara Teluk Arab di Washington, Hussein Ibish, menyatakan, pemerintahan negara-negara Timur Tengah secara bertahap sampai pada kesimpulan bahwa ”era AS” yang berlangsung dalam beberapa dekade terakhir sudah berakhir. Transisi yang cepat ke dunia multipolar sedang berlangsung dan tidak bisa dibalikkan lagi.
Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov kepada CGTN di Beijing pada pertengahan April, menyatakan, sebuah realitas baru mulai terbentuk, yakni dunia unipolar sedang surut ke masa lalu dan dunia multipolar sedang lahir. Ini adalah proses obyektif yang tidak bisa dihentikan.
Baca juga : Takhta Hegemoni Setelah Pandemi
Lavrov berpendapat, tidak akan ada satu penguasa tunggal dalam realitas baru ini. Semua negara kunci, dengan pengaruh yang menentukan pada ekonomi dan politik dunia, harus berdamai.
”Menyadari status khusus negara-negara kunci, mereka akan memastikan kepatuhan terhadap prinsip dasar Piagam PBB, termasuk yang utama adalah persamaan kedaulatan negara. Tak seorang pun di bumi akan dianggap sebagai pemain kelas dua. Semua bangsa adalah sama dan berdaulat,” kata Lavrov.

Foto yang diambil pada 11 September 2001 ini menunjukkan asap mengepul setelah salah satu Menara World Trade Center runtuh di New York City. Hampir 3.000 orang yang terbunuh dan lebih dari 6.000 terluka dalam runtuhnya dua menara WTC, New York City. Penyintas dan warga di sekitar lokasi menderita kanker dan penyakit serius lainnya karena mengirup asap beracun selama berminggu-minggu setelah kejadian
Pasca-kolapsnya Uni Soviet pada 1991 yang menandai berakhirnya Perang Dingin (1945-1991), dunia bergeser dari bipolar ke unipolar. Memiliki kekuatan ekonomi dan militer terbesar di dunia serta dominasi terhadap sistem keuangan global, AS tampil menjadi satu-satunya adidaya global.
Sebagai pilot dunia unipolar, AS terus berusaha mempertahankan dan meningkatkan hegemoninya secara global. Ini antara lain dilakukan dengan membabat kekuatan-kekuatan yang berpotensi mengganggu atau muncul sebagai pesaing di kawasan. Berbagai cara ditempuh melalui kekuatan militer, sanksi ekonomi, dan intervensi lainnya.
Kekuatan baru
Serangan terhadap Menara Kembar World Trade Center (WTO) di New York, 11 September 2001, disebut-sebut sebagai awal goyahnya takhta unipolar. AS lantas melancarkan perang melawan terorisme global. Ini antara lain membawa Paman Sam ke perang Afghanistan dan Irak yang menyedot militer dan berbagai sumber daya AS ke Asia Selatan dan Timur Tengah.
Senior analis di Institut Newsline untuk Strategi dan Kebijakan, Eugene Chausovsky, dalam artikelnya di laman Al Jazeera, menyebut, periode itu menjadi jendela bagi potensi kekuatan global baru untuk tumbuh, yakni China dan Rusia. Kedua negara fokus pada kepentingan strategis domestik. China terus mencatatkan pertumbuhan ekonomi impresif selama periode ini. Masuknya China ke dalam WTO pada 2001 menjadi salah satu tonggak penting.
Krisis keuangan global pada 2008 menunjukkan kekuatan ekonomi China sekaligus membuka jalan bagi Beijing untuk tumbuh sebagai pemain utama dalam perdagangan dan investasi global. Puncaknya adalah peluncuran Inisiatif Sabuk dan Jalan pada 2013.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F12%2F02%2FAP21335490852192_1638455933_jpg.jpg)
Presiden Rusia Vladimir Putin berpidato pada upacara penerimaan kredensial dari duta besar asing di Kremlin, Moskwa, Rusia, Rabu 1 Desember 2021. (Grigory Sysoev, Sputnik, Kremlin Pool Photo via AP)
Sementara Rusia bertahap pulih dari kekacauan pascakeruntuhan Uni Soviet. Di bawah konsolidasi politik Presiden Vladimir Putin, pemulihan ekonomi berbasis ekspor energi berlangsung. Invasi Rusia ke Georgia pada Agustus 2008 menjadi pernyataan kembalinya Rusia sebagai kekuatan regional. Langkah ini dilakukan setelah NATO pada 3 April 2008 mengumumkan bahwa Georgia dan Ukraina akan menjadi anggota NATO.
Kedua perkembangan itu, menurut Chausovsky, adalah produk dari kebijakan geopolitik Rusia dan China untuk meningkatkan pengaruh regional dan global mereka. Dinamika itu menantang dominasi AS sekaligus menandai transisi ke dunia yang semakin multipolar selama dekade terakhir.
Konflik Rusia-Ukraina pada 2022 harus dilihat dalam konteks ini. Konflik tersebut tidak memulai transisi ke dunia multipolar, tetapi mempercepat proses yang telah lama berlangsung.
”Dengan demikian, konflik Rusia-Ukraina pada 2022 harus dilihat dalam konteks ini. Konflik tersebut tidak memulai transisi ke dunia multipolar, tetapi mempercepat proses yang telah lama berlangsung. Namun, apa yang baru dan berbeda adalah cara Rusia, China, dan negara-negara lain dalam mengubah dunia unipolar ke multipolar agar menguntungkan mereka,” katanya.
Dalam krisis Ukraina, muncul pula pemain kunci lainnya. Sebut saja, misalnya India, Turki, dan Arab Saudi. Ketiganya punya irisan hubungan dengan Rusia ataupun AS. Namun kebijakan luar negeri ketiga negara tersebut, sejauh ini, berani mengambil jarak dengan AS dan mengedepankan pendekatan pragmatis untuk kepentingan nasionalnya.
Konflik Rusia-Ukraina menjadi etalase bertambahnya jumlah pemain penting dalam membentuk sistem global. Masing-masing berikhtiar lewat caranya yang beragam dan kompleks. Washington tentu ingin kembali menjadi pilot unipolar sehingga konsolidasi dilakukan. Namun dunia multipolar tak terbendung lagi.