Topik penangguhan vaksin Covid-19 dan perikanan menjadi pembahasan alot di WTO. Perdebatan ini membelah dua kepentingan besar, yakni negara maju dan negara miskin-berkembang.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
GENEVA, JUMAT — Sidang Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO di Geneva, Swiss, berlangsung alot. Sejumlah kesepakatan menyangkut perjanjian perdagangan yang lebih komprehensif sudah tercapai. Namun, urusan penangguhan paten vaksin Covid-19 masih alot. Demikian juga dengan sektor perikanan.
Untuk itu, menteri perdagangan dari 164 negara masih akan melanjutkan sidang untuk membahas topik penangguhan paten vaksin Covid-19 dan perikanan. Ini berarti sidang para menteri perdagangan WTO pertama selama empat tahun terakhir ini akan melewati tenggat pertemuan WTO tahun ini yang telah dijadwalkan.
Direktur Jenderal WTO Ngozi Okonjo-Iweala sampai tiga kali menunda tenggat pengumuman kesepakatan tiga kali saking panasnya debat yang terjadi di ruang sidang. Pada Jumat (17/6/2022), akhirnya ia mengumumkan hasil sidang, yaitu perjanjian perdagangan multilateral yang mencakup komitmen negara-negara anggota WTO untuk memenuhi aspek ketahanan pangan global dan pemerataan akses kesehatan.
”Ini pertama kali dalam sejarah perjanjian perdagangan yang mencakup berbagai faktor di luar ekonomi. Faktor-faktor ini sejatinya turut berkontribusi dalam pembangunan ekonomi suatu negara dan kawasan,” kata Okonjo-Iweala. Sehari sebelumnya, para anggota WTO sepakat untuk memperpanjang moratorium tarif e-dagang.
Pembahasan mengenai ketahanan pangan membuahkan hasil ketika negara-negara berkembang mengatakan mereka tidak akan mengurangi sumbangan makanan ke Program Pangan Dunia (WFP). Sumbangan untuk WFP dialokasikan secara khusus oleh setiap negara.
WFP kemudian membagi-bagikan pangan tersebut kepada negara-negara yang dilanda peperangan, bencana alam, ataupun kemiskinan. Di luar jatah khusus untuk WFP, negara berkembang berhak menurunkan, bahkan menghentikan ekspor, apabila kondisi pangan dalam negeri kritis.
Namun, untuk urusan mengenai penangguhan paten vaksin Covid-19, WTO belum mencapai kesepakatan. Selama dua tahun terakhir, perusahaan-perusahaan farmasi pembuat vaksin menolak berbagi ramuan dengan perusahaan lain dengan alasan hak cipta. Padahal, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menekankan bahwa penanganan pandemi membutuhkan kerja sama global.
Afrika Selatan (Afsel) dan India merupakan dua negara yang aktif melobi agar perusahaan-perusahaan farmasi di Eropa dan Amerika Serikat mau bekerja sama dengan perusahaan lokal guna membuat vaksin Covid-19. Ini jauh lebih murah dibandingkan mengimpor dari negara-negara Barat. Sejauh ini, Johnson and Johnson sudah bekerja sama dengan Aspen Pharmaceuticals di Afsel. Di India, AstraZeneca bekerja sama dengan Serum Institute India.
PBB mengeluarkan laporan pada akhir Maret 2022. Terungkap bahwa sudah 10 miliar dosis vaksin Covid-19 disuntikkan di dunia. Akan tetapi, hanya 1 persen disuntikkan di negara-negara miskin. Artinya, ada 2,8 miliar penduduk bumi yang belum memperoleh vaksin Covid-19 dosis pertama.
Negara-negara Afrika di Sub-Sahara baru memvaksin kurang dari 1 persen warganya. Di Haiti dan Yaman, baru 2 persen. Padahal, analisis PBB menghitung, apabila pada akhir 2021 negara-negara miskin bisa mencapai vaksinasi 54 persen, pendapatan domestik bruto mereka bisa meningkat hingga 16,27 miliar dollar AS karena perekonomian mulai bisa menggeliat.
Dalam sidang WTO, Inggris membuat kejutan. Duta Besar Inggris untuk WTO Simon Manley mengumumkan bahwa negaranya bersedia untuk mengikuti konsensus WTO terkait penangguhan paten vaksin Covid-19. ”Kami menyadari ini demi kemanusiaan dan pemulihan ekonomi global,” ujarnya.
Urusan di sektor perikanan juga masih alot pembahasannya. Salah satunya soal penghentian subsidi perikanan. Usulan yang ditawarkan ke WTO ialah agar tidak ada subsidi lagi di bahan bakar dan pembelian alat tangkap ikan. Hal ini guna mengurangi praktik pemancingan yang masif dan mengakibatkan kerusakan alam bahari.
Hal itu ditolak oleh negara-negara berkembang. India merupakan negara yang paling keras menolak. Menteri Perdagangan dan Industri India Piyush Goyal mengatakan kepada media MoneyControl bahwa tidak adil jika aturan itu turut dibebankan kepada negara-negara miskin dan berkembang. Mayoritas nelayan memancing untuk kebutuhan sendiri. Kalaupun untuk dijual, hasilnya tidak banyak.
”Negara-negara maju itu yang mempunyai kapal-kapal besar dan canggih. Mereka memancing hingga ke wilayah laut lepas dan ikan yang ditangkap berjumlah masif. Mereka yang merusak kelestarian laut. Semestinya, aturan itu dilimpahkan kepada mereka terlebih dulu,” tutur Goyal.
Topik penangguhan vaksin Covid-19 dan sektor perikanan masih harus dirapatkan. Oleh sebab itu, WTO menambah satu hari lagi untuk bersidang. Topik-topik ini menghadapkan kepentingan negara-negara maju dan negara-negara miskin ataupun berkembang. (REUTERS/AFP)