WTO terus membahas proposal TRIPS Waiver tentang kesetaraan dan keadilan akses vaksin dan obat-obatan lain untuk penanganan Covid-19. Pemerintah Indonesia diminta menjadi ”co-sponsor” untuk memperjuangkan proposal itu.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
AFP/MANJUNATH KIRAN
Krematorium terbuka untuk korban Covid-19 di Bengaluru, India, Sabtu (1/5/2021).
Di tengah meledaknya kembali kasus Covid-19 di India dan sejumlah negara tahun ini, kinerja Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di bawah kepemimpinan Okonjo-Iwaela diuji. WTO harus menjembatani negara-negara anggotanya yang mengusung proposol pengabaian sementara TRIPS dengan negara-negara yang ingin mempertahankan ketentuan TRIPS.
Perjanjian Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) merupakan perjanjian yang menetapkan standar minimal untuk regulasi hak kekayaan intelektual (HKI) di negara-negara anggota WTO. Perjanjian yang awalnya diusulkan Amerika Serikat (AS) pada 1994 dan ditentang India ini mulai berlaku sejak 1995. Perjanjian ini mengikat bagi semua anggota WTO.
Di tengah situasi darurat Covid-19 dan mendesaknya akses vaksin dan obat-obatan untuk penanganan penyakit yang disebabkan virus korona baru itu, India bersama Afrika Selatan mengusulkan proposal TRIPS Waiver bernomor IP/C/W/669.Add.3 pada Oktober 2020. Proposal bertajuk ”Waiver from Certain Provisions of the TRIPS Agreement for the Prevention, Containment, dan Treatment of Covid-19” ini mendapatkan dukungan dari negara-negara berkembang.
Proposal tersebut menekankan permintaan pengabaian ketentuan tertentu, seperti HKI atau paten, rahasia dagang, dan desain industri yang sebelumnya diatur dalam Perjanjian TRIPS. Tujuannya adalah mempercepat penanganan, pencegahan, dan pengobatan Covid-19.
Dalam pertemuan Dewan Umum (GS) WTO pada 5-6 Mei 2021, TRIPS Waiver menjadi salah satu agenda pembahasannya. Direktur Jenderal WTO Ngozi Okonjo-Iweala kembali menekankan pentingnya mengatasi akses yang tidak merata atau adil terhadap vaksin Covid-19. Ia menyebut ketidakadilan akses ini sebagai ”masalah moral dan ekonomi di zaman kita”.
”Cara WTO menangani masalah ini sangat penting. Kebijakan vaksin adalah kebijakan ekonomi karena pemulihan ekonomi global tidak dapat dipertahankan kecuali kita menemukan cara untuk mendapatkan akses yang adil terhadap vaksin, terapi, dan diagnostik,” ujarnya melalui keterangan resmi di laman WTO.
Merujuk data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), distribusi vaksin Covid-19 sangat timpang. Dari 700 juta dosis yang sudah diberikan sampai April 2021, tidak sampai 1 juta dosis diberikan ke negara miskin. Hampir 500 juta dosis disuntikkan untuk warga di AS dan China. Sisanya terbagi ke beberapa negara lain di Asia, Eropa, dan Amerika.
Kebijakan vaksin adalah kebijakan ekonomi karena pemulihan ekonomi global tidak dapat dipertahankan kecuali kita menemukan cara untuk mendapatkan akses yang adil terhadap vaksin, terapi, dan diagnostik.
Ngozi Okonjo-Iweala saat menyusun pidato seusai terpilih menjadi Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di rumahnya di Potomac, Maryland, dekat Washington DC, Senin (15/2/2021).
Dalam rapat GS WTO itu, delegasi WTO dari Amerika Latin dan Karibia (Kolombia, Kosta Rika, Republik Dominika, Ekuador, Panama, dan Paraguay) meminta penghapusan segera semua hambatan ekspor dan pembatasan yang memblokir akses yang sama terhadap vaksin Covid-19. Mereka juga meminta membuka debat tentang langkah-langkah fasilitasi perdagangan terkait akses vaksin, termasuk bea cukai dan logistik, pemberitahuan yang tepat, keseragaman standar, dan pergerakan profesional kesehatan yang lebih mudah.
Di sisi lain, sejumlah delegasi anggota WTO, seperti Jepang, Kanada, Inggris, dan beberapa negara Uni Eropa, tetap tidak yakin tentang perlunya pengabaian sementara TRIPS di tingkat internasional karena paten bukanlah penghalang utama untuk meningkatkan produksi vaksin. Beberapa di antaranya berpendapat, pengabaian tersebut dapat merusak upaya kolaboratif dan inovasi yang sedang berlangsung.
Menanggapi hal itu, Okonjo-Iweala akan menggelar pertemuan terbuka bagi semua anggota untuk membahasnya dalam forum Dewan TRIPS WTO pada awal Juni 2021. Sembari itu, WTO tengah menunggu revisi proposal TRIPS Waiver yang akan dilakukan India dan Afrika Selatan pada paruh kedua Mei 2021.
Melalui juru bicaranya, Keith Rockwell, Okonjo-Iweala juga menyambut hangat perubahan sikap AS yang kini mendukung pengabaian sementara TRIPS. Hal itu menyusul pernyataan Duta Besar Perwakilan Perdagangan AS (USTR) Katherine Tai yang menyebutkan pemerintahan Presiden Joe Biden mendukung pengabaian paten vaksin Covid-19 untuk sementara waktu demi mengakhiri pandemi.
Sejumlah kalangan di Indonesia juga menyambut baik keputusan Amerika Serikat yang akhirnya mendukung pengabaian hak paten sementara vaksin Covid-19. Mereka meminta Indonesia menjadi co-sponsor proposal akses kesetaraan vaksin dan turut mengawal secara ketat proses negosiasi di WTO.
Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti mengatakan, dukungan AS menjadi sinyal positif atas perjuangan masyarakat global terhadap Proposal TRIPS Waiver untuk mengatasi ketimpangan akses vaksin dan obat-obatan lain yang dibutuhkan selama penanganan pandemi Covid-19. Dukungan ini diharapkan juga diikuti oleh negara-negara anggota WTO lain yang menolak proposal itu.
Dukungan AS ini juga dibarengi dengan revisi proposal tersebut oleh India dan Afrika Selatan untuk disampaikan dalam pertemuan lanjutan WTO. Dalam proses negosiasi selanjutnya, AS dan negara-negara pendukung proposal itu diharapkan dapat mempertahankan teks perundingan yang benar-benar mencerminkan tujuan utamanya, yaitu menangani pandemi Covid-19 sesegera mungkin.
Dalam perundingan nanti, lanjut Rachmi, perlu dicermati klausul-klausul yang bisa menghambat efektivitas TRIPS Waiver, terutama yang mencakup pengabaian. Perundingan juga diharapkan tidak lama atau berkepanjangan agar proposal itu bisa segera dilaksanakan.
”Perlu diingat, the devils is in details dan tukar guling kepentingan akan kental mewarnai keberhasilan proses negosiasi. Lobi lebih kuat dari industri farmasi pasti akan terjadi,” katanya.
Dalam perundingan nanti, perlu dicermati klausul-klausul yang bisa menghambat efektivitas TRIPS Waiver, terutama yang mencakup pengabaian. Perundingan juga diharapkan tidak lama atau berkepanjangan agar proposal itu bisa segera dilaksanakan.
Peneliti Third World Network, Lutfiyah Hanim, sependapat agar proses negosiasi dikawal ketat. Pemerintah Indonesia juga harus berperan lebih aktif lagi dalam negosiasi itu dengan menjadi co-sponsor Proposal TRIPS Waiver bukan hanya sekadar mendukung.
”Kami berharap Indonesia bisa bekerja sama dengan negara-negara pengusul proposal untuk bersama-sama bekerja cepat menelurkan dokumen pengabaian TRIPS. Poin penting pengabaian itu mencakup paten serta rahasia dagang dan HKI lain vaksin, obat-obatan perawatan, diagnostik, dan produk medis yang dibutuhkan dalam penanganan Covid-19,” ujarnya. (AFP)