Hapus Stigma Pro-China, Kuomintang Dekati Amerika Serikat
Partai politik tertua di Taiwan, Kuomintang, yang kini menjadi oposisi pemerintah mendekat ke Amerika Serikat demi menghilangkan citra pro-Beijing.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
WASHINGTON, SELASA — Partai politik oposisi Pemerintah Taiwan, Kuomintang, menegaskan kepada Amerika Serikat bahwa mereka sama sekali tidak pro kepada China. Sejak awal partai ini berdiri tahun 1912, Kuomintang selalu dekat dengan AS karena berlandaskan asas demokrasi dan pemenuhan hak asasi manusia.
Pernyataan itu disampaikan oleh Ketua Kuomintang (KMT) Eric Chu ketika berbicara di hadapan para peneliti Institute Brookings dan sejumlah politisi di Washington, AS, Senin (6/6/2022) malam waktu setempat atau Selasa (7/6/2022) pagi waktu Indonesia.
”Tuduhan bahwa KMT pro-Beijing itu adalah fitnah. Nilai-nilai dasar KMT adalah demokrasi. Ini pula yang menjadi alasan para pendahulu kami di KMT pindah ke Taiwan pada 1949 ketika China dikuasai oleh Partai Komunis,” ujar Chu.
Chu memimpin delegasi untuk melakukan tur 11 hari di empat kota di AS. Mereka membuka kembali kantor perwakilan KMT di AS serta melakukan promosi visi dan misi partai tersebut kepada publik AS, terutama politisi dan akademisi. Menurut dia, KMT tetap menginginkan Taiwan sebagai wilayah yang demokratis dan bisa menjadi teladan bagi masyarakat China bahwa sejatinya demokrasi adalah sistem yang paling mengutamakan rakyat.
Kantor perwakilan KMT di Washington pertama dibuka pada 2004. Sebelumnya, KMT memiliki kedekatan hubungan dengan Pemerintah AS. Partai ini mewujudkan China dari kerajaan dan negara boneka Manchuria menjadi republik. Akan tetapi, mereka kalah dalam pemilihan umum 1949 oleh Partai Komunis yang berkuasa hingga saat ini.
KMT dipimpin oleh Chiang Kai-shek kemudian pindah ke Taiwan dan mendirikan pemerintahan demokratis di sana. Hubungan erat dengan AS terus dibina karena negara ini banyak membantu Taiwan dalam sektor ekonomi, pertahanan, dan keamanan.
Tahun 2008, Presiden Taiwan Ma Ying-jeou dari KMT memenangi pemilu. Ia memutuskan untuk menutup kantor perwakilan tersebut selama KMT berkuasa hingga 2016. Di pemilu 2016, Chu berlaga melawan Tsai Ing-wen dari Partai Politik Demokratis (DPP) dan kalah.
Pendekatan yang diambil oleh Tsai terkait isu hubungan dengan China lebih frontal. Hal ini membuat suasana di Selat Taiwan memanas. China semakin sering melakukan intrusi di perairan dan wilayah pertahanan udara Taiwan. Pada saat yang sama, Tsai mengajak AS untuk melakukan latihan militer bersama dan Taiwan juga membeli lebih banyak persenjataan dari AS.
Muncul berbagai dugaan bahwa KMT sebenarnya mendukung China karena mereka kerap mengkritisi pemerintahan petahana yang dipegang oleh DPP. Apalagi, sebanyak dua pertiga dari pemerintah daerah Taiwan dipegang oleh kepala daerah dari KMT sehingga memunculkan gesekan antara pusat dengan daerah terkait berbagai kebijakan yang berhubungan dengan China.
Kepala Kantor Perwakilan KMT di Washington, Alexander Huang, kepada South China Morning Post menjelaskan bahwa KMT memang mengambil pendekatan yang berbeda dari DPP. Apabila DPP cenderung konfrontatif dengan Beijing, KMT justru berupaya meredam suasana. Mereka mengusahakan agar tidak ada gesekan, apalagi konflik di Selat Taiwan. Sikap pemerintah di bawah KMT terhadap investor dari China juga lebih ramah.
”Sangat disayangkan apabila pendekatan yang lebih damai ini disalahartikan menjadi KMT pro-Beijing. Oleh sebab itu, penting bagi delegasi partai untuk bertemu dengan pihak-pihak terkait di AS untuk menjelaskan duduk perkaranya,” tutur Huang.
Ia mengungkapkan, Chu dan timnya akan berkunjung ke empat kota, terutama Washington dan San Francisco untuk bertemu dengan diaspora Taiwan di AS. Kepada harian Taipei Times, dijelaskan bahwa delegasi juga akan berkunjung ke Kementerian Luar Negeri AS, Pentagon, Dewan Keamanan Nasional, dan juga sejumlah pakar di Gedung Putih.
Mereka tertarik mendengar visi KMT untuk wilayah Indo-Pasifik. Adapun Chu dikabarkan hendak berlaga di pemilu presiden Taiwan tahun 2024. Meskipun demikian, ia menolak berkomentar lebih lanjut.
Dilansir dari kantor berita nasional Taiwan, Central News Agency, Presiden Tsai Ing-wen menghadiri acara peringatan 33 tahun tragedi Tiananmen di Taipei. Otoritas Hong Kong yang pro-Beijing membubarkan peringatan serupa di Hong Kong. ”Di masa-masa sulit seperti ini, demokrasi menjadi semakin penting karena merupakan senjata melawan otoriterianisme,” ujarnya ketika berpidato.
Persaingan politik KMT dan DPP sangat runcing karena merupakan partai dominan di Taiwan. Namun, di saat yang sama, tidak salah pula publik menduga KMT semakin dekat dengan Beijing. Contoh terakhir ialah pada peringatan tragedi Tiananmen. Mantan Presiden Ma Ying-jeou mengunggah di akun media sosial Facebook miliknya agar China mau membuka sejarah Tiananmen yang sejujurnya. Hal itu akan menaikkan reputasi China di dunia.
Ma juga memuji kepemimpinan Presiden China Xi Jinping yang juga adalah Sekretaris Jenderal Partai Komunis China. ”Publik kita patut memahami bahwa bentuk demokrasi di Taiwan dan negara-negara lain berbeda dengan yang diterapkan di China. Kita harus menghargai perbedaan ini,” tulisnya.
Peneliti politik Universitas Nasional Taiwan, Liou Je-wei, dalam harian Taipei Times menjelaskan bahwa demokrasi di China pada dasarnya bukan demokrasi. Hal ini karena Pemimpin Komunis Mao Zedong pada 1949 telah mendefinisikan wujudnya berupa demokrasi kediktatoran rakyat. Tujuannya ialah menghilangkan kelas-kelas sosial tertentu dan menghalalkan penindasan. Ini bertentangan dengan demokrasi yang menjunjung tinggi hak setiap individu.
”Tampaknya KMT harus bisa melepaskan diri dari citra Ma karena bagaimanapun ia adalah tokoh berpengaruh di partai. Pandangan pribadi dia yang dekat dengan Beijing ditafsirkan rakyat sebagai sikap KMT secara umum,” ujar Liou. (REUTERS)