Negara-negara di Asia Tenggara tak menjadi prioritas saat Donald Trump berkuasa di Gedung Putih. ASEAN, organisasi di kawasan itu, merasa ditinggalkan. Kini di bawah Presiden Joe Biden, AS mencoba cara baru berinteraksi.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·6 menit baca
Di hadapan Presiden Joe Biden dan koleganya, sesama pemimpin negara-negara anggota Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN), saat Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN-AS di Washington DC, AS, Kamis (12/5/2022), Perdana Menteri Malaysia Ismail Sabri Yaakob berbicara blak-blakan.
Dia mengatakan bahwa ada rasa frustrasi di kalangan para pemimpin negara-negara ASEAN ketika di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump, AS keluar dari pakta perdagangan regional tahun 2017. AS adalah mitra penting bisnis ASEAN, sebagai investor asing terbesar maupun mitra dagang terbesar kedua. Nilai perdagangan dua mitra itu tercatat sebesar 308,9 miliar dollar AS pada tahun 2020.
Tak sekadar keluar dari pakta perdagangan, AS juga membuat para pemimpin ASEAN merasa diabaikan ketika Trump memilih bersinggungan dengan Korea Utara dibanding menghadiri pertemuan langsung dengan para pemimpin ASEAN. Sampai akhir masa jabatannya, Trump tidak pernah bertemu dengan para pemimpin ASEAN.
Untuk ASEAN, Trump sebatas mengutus direktur jenderal atau pejabat setingkat menteri untuk bertemu dengan para pemimpin ASEAN. Bukan itu saja, sejumlah posisi penting di kawasan, yang bisa membantu membangun relasi antara AS-ASEAN, juga dibiarkan kosong.
Ismail Sabri secara terang-terangan mengatakan, AS di bawah Presiden Biden harus bersikap berbeda. PM di ”Negeri Jiran” itu mendorong AS untuk mengadopsi agenda perdagangan dan investasi yang jauh lebih aktif dengan ASEAN. ASEAN, demikian Ismail Sabri, berusaha meyakinkan, akan menguntungkan AS secara ekonomi dan sebagai mitra strategis.
Biden menjawabnya sehari kemudian, Jumat (13/5/2022). Dia mengatakan, di bawah kepemimpinannya, hubungan AS-ASEAN memasuki era baru dengan pernyataan berisi 28 poin tentang visi bersama antara kedua pihak. AS dan ASEAN berencana untuk meningkatkan hubungan, dari kemitraan strategis menjadi kemitraan strategis komprehensif, November mendatang.
”Sejarah baru hubungan AS-ASEAN akan tertulis sepanjang 50 tahun ke depan. Hubungan kami dengan Anda adalah masa depan. Kita memasuki era baru dalam hubungan AS-ASEAN,” kata Biden.
Pergeseran sikap
Sejak Biden berkuasa di Gedung Putih, 20 Februari 2021, diakui ada perubahan sikap Washington terhadap ASEAN. Kehadiran berbagai pejabat tinggi, mulai dari Presiden AS Joe Biden hingga Wakil Presiden Kamala Harris serta sejumlah pejabat tinggi AS lainnya ke kawasan Asia Tenggara, dinilai sebagai pergeseran sikap yang sangat signifikan dari Gedung Putih terhadap Asia Tenggara. Pernyataan Biden, yang akan meluncurkan berbagai inisiatif ekonomi pada kawasan, juga menjadi hal yang dinanti.
Joanne Lin Weiling, peneliti pada Pusat Studi ASEAN-ISEAS Yusof Ishak Institute Singapura, saat berbicara pada webinar mengenai hubungan AS-ASEAN pasca-KTT ASEAN-AS yang diadakan The Habibie Center, Selasa (31/5/ 2022), mengatakan, ada beberapa hal yang konstan dalam kebijakan AS ke ASEAN, yaitu pentingnya posisi kawasan Indo-Pasifik, terutama terkait rivalitasnya dengan China, dan upaya mempromosikan pelaksanaan hak asasi manusia.
Adapun pergeseran sikap Biden, menurut Joanne, yang bisa dilihat hingga saat ini adalah nuansa pendekatan ekonomi yang lebih kental dibandingkan Trump, yaitu melalui Kerangka Ekonomi Indo-Pasifik (Indo-Pacific Economic Framework atau IPEF).
Walau demikian, menurut dia, pendekatannya itu pun tidak murni ekonomi. Joanne menilai, ekonomi hanya menjadi bungkus dari pendekatan baru Biden ke kawasan karena di dalamnya ada unsur keamanan yang sangat kental.
Dalam KTT ASEAN-AS, Biden menjanjikan kucuran dana sekitar 150 juta dollar AS atau sekitar RP 2,191 triliun untuk kawasan ini. Komitmen keuangan baru tersebut mencakup investasi senilai 40 juta dollar AS dalam infrastruktur, terutama untuk membantu dekarbonisasi pasokan listrik di kawasan (transisi energi baru terbarukan), 60 juta dollar AS untuk keamanan maritim, dan sekitar 15 juta dollar AS untuk pendanaan kesehatan, khususnya deteksi dini Covid-19 serta pandemi lainnya. Pendanaan tambahan akan membantu negara-negara mengembangkan ekonomi digital dan undang-undang kecerdasan buatan.
Walau demikian, lanjut Joanne, pendekatannya itu pun tidak murni ekonomi. Ia menilai, ekonomi hanya menjadi bungkus dari pendekatan baru Biden ke kawasan karena di dalamnya ada unsur keamanan yang sangat kental.
Dalam KTT ASEAN-AS, Biden menjanjikan kucuran dana sekitar 150 juta dollar AS atau sekitar Rp 2,191 triliun untuk kawasan ini. Komitmen keuangan baru tersebut mencakup investasi senilai 40 juta dollar AS dalam infrastruktur, terutama untuk membantu dekarbonisasi pasokan listrik di kawasan (transisi energi baru terbarukan), 60 juta dollar AS untuk keamanan maritim, dan sekitar 15 juta dollar AS untuk pendanaan kesehatan, khususnya deteksi dini Covid-19 serta pandemi lain. Pendanaan tambahan akan membantu negara- negara ASEAN mengembangkan ekonomi digital dan undang-undang kecerdasan buatan.
Tak hanya itu, Pemerintah AS juga menjanjikan pengerahan kapal-kapal Penjaga Pantai (US Coast Guard) ke perairan di kawasan untuk menghalau kapal-kapal China yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal. ”Semua prioritas yang ada dalam inisiatif AS menunjuk pada satu hal, yaitu untuk menangkis posisi maritim China di Laut China Selatan dan juga Prakarsa Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative atau BRI). Inisiatif ini adalah cara Washington meningkatkan keterlibatannya dalam permainan di kawasan Asia Tenggara,” kata Joanne.
Kawasan Indo-Pasifik, khususnya Asia Tenggara, telah menjadi kawasan yang memiliki potensi konflik besar, antara AS dan China. AS, yang kini tengah mencoba mengikat dirinya lagi dengan kawasan ini, telah menjalin setidaknya dua pakta keamanan, yaitu Quad— dengan Jepang, Australia dan India— serta AUKUS—dengan Inggris dan Australia. Pakta keamanan AUKUS, yang secara geografis paling dekat dengan Asia Tenggara, dinilai telah meningkatkan kemungkinan terjadinya perlombaan senjata di kawasan, terutama ketika Australia mempersenjatai militernya dengan kapal selam nuklir.
Perlu hati-hati
Upaya AS untuk mendekatkan diri ke ASEAN, menurut Joanne, harus disikapi dengan hati-hati, terutama karena perairan kawasan ini akan lebih sering didatangi oleh kapal-kapal milik AS maupun sekutunya di kawasan, seperti Australia dan Inggris, terutama di Laut China Selatan. Apalagi, sejumlah negara-negara ASEAN juga memiliki masalah perbatasan laut dengan China, seperti Vietnam dan Filipina.
Profesor Dewi Fortuna Anwar, peneliti senior pada Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Ketua Dewan Direktur The Habibie Center, mengatakan, walau pergeseran sikap pemerintahan Biden menjadi sinyalemen bagus untuk kawasan, masih banyak hal yang harus dijelaskan oleh Washington jika ingin terlibat serius dengan ASEAN.
Menurut Dewi, konsistensi kebijakan AS secara global dipertanyakan karena kebijakan antara satu pemerintahan dan pemerintahan yang menggantikannya sering kali berbeda. Perjanjian yang telah diteken oleh satu pemerintahan dan kemudian ditinggalkan begitu saja oleh pemerintahan baru di Gedung Putih sering kali mengecewakan banyak pihak.
Selain itu, meski di satu sisi senang berada kembali dalam radar Washington, ASEAN juga khawatir bahwa kawasan mereka hanya akan menjadi bagian dari kebijakannya di tempat lain, seperti konflik di Ukraina, konflik Vietnam di masa lalu, dan juga Timur Tengah. ”Saya harus mengingatkan, AS sebagai kekuatan tidak hanya di Atlantik, tetapi juga di Pasifik. Jangan hanya datang ketika ada preseden (persaingan dengan China),” kata Dewi. (REUTERS)