Eksperimen AS dengan Aturan Baru Ekonomi dan Ambisinya di Asia Pasifik
IPEF adalah cara AS meletakkan komitmennya untuk tetap jadi kekuatan utama di Asia-Pasifik dan cara Washington menulis aturan baru ekonomi abad ke-21. Namun, banyak tanda tanya dan kegelisahan.
Oleh
ROBERTUS BENNY DWI KOESTANTO
·5 menit baca
Presiden Amerika Serikat Joe Biden sejatinya tengah menghadapi dilema terkait perdagangan di Asia. Dia tidak bisa begitu saja bergabung kembali dengan Kemitraan Trans-Pasifik di mana AS sudah menarik diri lewat keputusan pendahulunya, Donald Trump, pada tahun 2017. Banyak kesepakatan perdagangan juga dirasa telah menjadi racun politik bagi warga AS. Kebanyakan mereka menghubungkan kesepakatan-kesepakatan itu dengan risiko kehilangan pekerjaan. Di saat yang sama, AS khawatir pengaruh China makin besar di Asia Pasifik.
Dalam dinamika seperti itu, Biden meluncurkan Kerangka Ekonomi Indo-Pasifik (IPEF). Terdapat 12 negara lain yang bergabung dengan inisiatif AS itu, yakni Australia, Brunei Darussalam, Filipina, India, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Selandia Baru, Singapura, Thailand, dan Vietnam.
IPEF diluncurkan Biden dalam kunjungannya ke Tokyo, Senin (23/5/2022) pekan lalu. Peluncuran itu menandai dimulainya perundingan di kalangan negara-negara yang bergabung. Mereka akan memutuskan apa yang pada akhirnya akan masuk dalam kerangka kerja itu.
Dalam arti luas, IPEF adalah cara AS meletakkan penanda komitmennya untuk tetap menjadi kekuatan utama di Asia Pasifik. ”Kami sedang menulis aturan baru untuk ekonomi abad ke-21. Aturan itu akan membantu semua ekonomi negara kita tumbuh lebih cepat dan lebih adil. Kami akan melakukannya dengan menghadapi beberapa tantangan paling akut yang menghambat pertumbuhan,” kata Biden.
Menurut Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan, IPEF ”berfokus pada integrasi lebih lanjut ekonomi Indo-Pasifik, penetapan standar dan aturan, terutama di bidang baru seperti ekonomi digital, dan juga berusaha memastikan bahwa ada rantai pasokan yang aman dan tangguh”.
Gedung Putih, seperti dikutip kantor berita Associated Press, menyebut IPEF akan menjadi platform terbuka. Merespons peluncuran IPEF, Pemerintah China menyatakan keberatan mereka terkait pembentukan IPEF. Beijing menganggap inisiatif itu justru akan mengganggu kestabilan kawasan Asia Pasifik. ”Secantik dan semenarik apa pun AS mengemas IPEF ini tidak akan bisa berfungsi dengan baik," tutur Wang Yi, Menlu China, seperti dikutip oleh kantor berita Xinhua.
Wang memaparkan bahwa budaya, visi, dan misi negara-negara Asia Pasifik ialah meningkatkan kesejahteraan masing-masing. Caranya, melalui kerja sama ekonomi dan pembangunan. Dalam hal ini, kuncinya ialah perdagangan bebas, bukan proteksionisme. Pendekatan politik luar negeri AS di kawasan Asia Pasifik ialah dengan cara membentuk kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari negara-negara yang mereka anggap pro AS.
Perilaku itu, lanjut Wang, akan menimbulkan rasa saling curiga dan rawan terhadap politik adu domba antara sesama anggota kawasan. ”Sejak awal, inisiatif ini tidak menghargai individualitas, kemampuan, dan kepentingan negara-negara Asia Pasifik,” katanya.
Dari sisi China, IPEF dinilai mengandung kepekaan tersendiri. Hal itu terutama dikaitkan dengan tidak diikutkannya Taiwan dalam kerangka kerja sama ekonomi itu. Pengecualian ini patut diperhatikan mengingat Taiwan adalah produsen cip komputer terkemuka, elemen kunci dari ekonomi digital yang akan menjadi bagian dari negosiasi IPEF. Sullivan mengatakan, setiap pembicaraan perdagangan dengan Taiwan akan dilakukan secara bilateral.
Rentang negosiasi
Begitu perundingan dimulai, negosiasi IPEF diperkirakan akan berlangsung 12-18 bulan. Rentang waktu itu akan menjadi ujian atas komitmen Washington di bidang perdagangan dengan Asia Pasifik. Dari sisi waktu, rentang waktu itu dinilai cukup ambisius untuk mencapai kesepakatan perdagangan global. Secara internal di AS, membangun konsensus dalam proses itu juga menentukan.
Dua peneliti di Center for American Progress, Tobias Harris dan Trevor Sutton, dalam analisisnya di Foreign Policy menilai, terdapat kegelisahan tentang IPEF, termasuk di kalangan negara-negara di Asia Pasifik. Negara-negara ini cenderung lebih suka jika AS bergabung kembali dengan Perjanjian Komprehensif dan Progresif untuk Kemitraan Trans-Pasifik (CPTPP), perjanjian perdagangan pascakeluarnya AS dari TPP. Negara-negara itu juga menilai, sesuatu yang tidak salah jika para pemerintah di Asia memiliki perasaan campur aduk tentang IPEF.
Hal itu karena para pejabat perdagangan AS mengindikasikan, mereka pun tidak siap untuk menawarkan akses ke pasar AS, apalagi mengejar perjanjian perdagangan bebas seperti TPP. Perwakilan perdagangan AS telah menggambarkan perjanjian konvensional sebagai sarana perdagangan pada abad ke-20. Ini mencakup perjanjian yang memberikan akses pasar yang luas sebagai imbalan atas janji untuk meningkatkan standar tenaga kerja dan lingkungan.
Menurut para kritikus, hal itu kemungkinan akan memiliki sedikit dampak praktis pada kondisi dunia nyata. Dari sisi AS, Washington ingin mengejar kebijakan ekonomi internasional yang produktif bagi pekerja dan kelas menengah AS.
Terpikat model lama
Sejumlah negara di Asia, yang baru-baru ini memberlakukan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) dan sedang bersiap untuk bergabung dengan CPTPP, memandang akses pasar sebagai permata dalam kerja sama ekonomi internasional. Mereka masih terpikat dengan perjanjian perdagangan bebas gaya lama dan tidak akan mudah diyakinkan untuk menganut model baru. Mereka juga tidak percaya bahwa IPEF dapat menggantikan CPTPP sebagai organisasi pembentuk standar dalam sebuah pakta kerja sama dagang.
Keberatan-keberatan ini memang tidak menghalangi Jepang dan negara-negara Asia lainnya untuk bergabung dalam IPEF. Mereka masih lebih memilih adanya keterlibatan AS dibandingkan sebaliknya sama sekali. Namun, keberatan sejumlah negara itu seharusnya meredam beberapa retorika pemerintahan Biden tentang apa yang ditunjukkan oleh IPEF. IPEF bukanlah arsitektur regional baru atau pengganti ikatan ekonomi negara-negara Asia itu dengan China.
Muncul juga pertanyaan penting tentang substansi empat pilar: perdagangan yang adil dan tangguh, ketahanan rantai pasokan, infrastruktur dan dekarbonisasi, serta pajak dan antikorupsi, juga masih mengemuka. Ada perbedaan besar dalam cara menyempurnakan masing-masing pilar itu. Rantai pasokan dan pilar dekarbonisasi infrastruktur, misalnya, akan dibangun di atas pekerjaan dalam pengaturan bilateral dan multilateral.
Pilar perdagangan akan mencakup, antara lain, ekonomi digital, fasilitasi perdagangan serta standar tenaga kerja dan lingkungan. Adapun pilar pajak dan anti-korupsi membawa prioritas kebijakan luar negeri Pemerintahan Biden secara global ke dalam konteks Indo-Pasifik.